Di tengah bencana kelaparan yang melanda Jalur Gaza, satu-satunya harapan sebagian warga untuk mendapatkan makanan justru menempatkan mereka dalam risiko tertembak atau terbunuh.
Warga yang putus asa harus menempuh jalan berbahaya menuju titik distribusi bantuan yang dikendalikan oleh Gaza Humanitarian Foundation (GHF)—lembaga yang dibentuk Israel dengan dukungan Amerika Serikat (AS)—yang oleh banyak pihak disebut sebagai “zona kematian”.
Analisis citra satelit yang dilakukan oleh Sanad, unit investigasi Al Jazeera, terhadap lokasi distribusi bantuan GHF di daerah Shakoush, Rafah, pada 13 Juli lalu, menunjukkan betapa ekstremnya bahaya yang harus dilalui warga untuk sekadar mendapatkan sebungkus makanan.
Perjalanan penuh risiko
Bertolak belakang dengan istilah “titik bantuan”, proses menuju lokasi tidak semudah yang dibayangkan. Warga hanya diizinkan membawa kendaraan atau gerobak hingga titik tertentu yang berjarak sekitar 1,5 kilometer dari pusat distribusi.
Sisanya harus ditempuh dengan berjalan kaki, sambil menanggung beban berat bantuan—jika mereka berhasil mendapatkannya.
Karena tidak ingin kehilangan kesempatan, banyak warga datang berjam-jam bahkan berhari-hari sebelumnya.
Mereka memilih bertahan di sekitar lokasi, tidur di tempat terbuka atau di balik gundukan pasir, untuk menjaga antrean yang mereka rebut dengan susah payah.
Bertahan di “al-Joura”
Setelah melewati barikade militer Israel, mereka akan mencapai “al-Joura”—sebuah cekungan pasir di antara bukit pasir yang kini menjadi tempat pelindung darurat bagi warga.
Di sinilah mereka menunggu, dalam suhu ekstrem, tanpa kepastian waktu, berharap akan ada sinyal dari militer Israel yang mengizinkan mereka mendekat ke pusat bantuan.
Namun “sinyal izin” yang biasanya datang dari drone hanya menjanjikan harapan palsu. Saksi mata mengatakan tembakan bisa saja dilepaskan bahkan setelah sinyal tersebut diberikan.
Video yang dirilis oleh aktivis Palestina pada 14 Juli menunjukkan penembakan oleh pasukan Israel ke arah kerumunan warga di al-Joura sesaat sebelum mereka bergerak menuju gerbang distribusi.
Dua hari sebelumnya, pada 12 Juli, sedikitnya 34 warga Palestina terbunuh saat menunggu bantuan di lokasi yang sama.
Di depan gerbang bantuan pun tak aman
Meski berhasil mencapai pusat distribusi, keselamatan tidak serta-merta terjamin. Laporan yang beredar menunjukkan bahwa tentara Israel tidak hanya menindas warga secara verbal, tetapi juga menyemprotkan gas merica kepada mereka yang sudah berada di ambang pintu bantuan.
Situasi di dalam pun tak kalah kacau. Jurnalis Muhannad Qeshta, warga Rafah yang turut mengungsi, menggambarkan kondisi di pusat bantuan sebagai kekacauan total.
Tidak ada jadwal distribusi yang jelas, tidak ada sistem antrean yang tertata, dan meja-meja yang dipenuhi paket bantuan menjadi ajang berebutan massal.
Sebagian besar warga akhirnya pulang dengan tangan kosong, setelah harus bersaing dengan ribuan orang lain dalam ruang sempit dan panas.
Mereka yang mendapat bantuan pun masih harus berjalan pulang menembus kerumunan yang terus bertambah, sambil mempertahankan makanan yang bisa direbut kapan saja oleh yang lebih putus asa.
Korban bantuan
Kementerian Kesehatan Palestina pada Minggu (21/7) melaporkan bahwa dalam 24 jam terakhir, 31 orang meninggal dunia dan 107 luka-luka saat mencoba mengakses bantuan dan dibawa ke rumah sakit.
Total korban dalam kategori “korban bantuan hidup” kini mencapai 922 orang meninggal dan 5.861 orang terluka.
Sebelumnya, pada 16 Juli, setidaknya 21 orang tewas akibat terinjak-injak dalam kerumunan saat mencoba mendapatkan jatah makanan.
Berdasarkan laporan yang didukung PBB pada Mei lalu, satu dari lima warga Gaza kini menghadapi ancaman kelaparan ekstrem.
Sementara 93 persen populasi mengalami kekurangan pangan akut akibat blokade Israel terhadap pasokan makanan dan bantuan.
Mengapa GHF dianggap kontroversial?
GHF dibentuk oleh Israel sebagai respons terhadap tekanan internasional agar bantuan masuk ke Gaza.
Namun, upaya ini juga dilihat sebagai cara untuk melemahkan lembaga-lembaga bantuan internasional dan PBB yang telah lama bekerja di wilayah tersebut.
Israel beralasan bahwa bantuan harus dikendalikan sendiri agar tidak “jatuh ke tangan Hamas”.
Namun hingga kini belum pernah disertai bukti adanya penyalahgunaan bantuan secara sistemik oleh kelompok bersenjata.
PBB dan berbagai organisasi kemanusiaan menyebut GHF melanggar prinsip-prinsip dasar kemanusiaan.
Kepala kemanusiaan PBB, Tom Fletcher, menyampaikan dalam sidang Dewan Keamanan bahwa GHF “hanya menyalurkan bantuan ke sebagian wilayah Gaza, meninggalkan wilayah lain dalam penderitaan” dan menjadikan kelaparan sebagai alat tawar politik.
Sebelas organisasi kemanusiaan dan hak asasi menandatangani pernyataan yang mengecam GHF sebagai “proyek yang digerakkan oleh tokoh-tokoh militer dan keamanan Barat dengan koordinasi langsung bersama pemerintah Israel”.