Lebih dari separuh tahanan Palestina yang meninggal di penjara Israel sejak dimulainya serangan militer di Gaza pada Oktober 2023, dilaporkan tewas akibat penyiksaan dan perlakuan buruk. Hal ini diungkapkan oleh Pusat Studi Tahanan Palestina (Palestine Center for Prisoners Studies) dalam laporannya pada Jumat (26/4/2025).
Menurut pusat tersebut, sejak 7 Oktober 2023, sebanyak 65 tahanan Palestina dilaporkan meninggal dunia, dengan 35 di antaranya tewas secara langsung akibat penyiksaan berat. Mayoritas korban berasal dari Jalur Gaza dan ditangkap selama ofensif militer yang sedang berlangsung.
Sejak meningkatnya jumlah penangkapan, khususnya terhadap warga Gaza, pihak Israel disebut membuka sejumlah fasilitas baru untuk penahanan dan interogasi, yang dikelola langsung oleh militer.
Laporan itu menyebut fasilitas-fasilitas tersebut menjadi lokasi “penyiksaan sistematis dan perlakuan tidak manusiawi”, yang melanggar hukum internasional dan hak asasi manusia.
Salah satu fasilitas yang paling disorot adalah pusat penahanan Sde Teiman di wilayah al-Naqab, yang dijuluki sebagai “Kamp Kematian” atau “Guantanamo Israel” karena laporan kekerasan ekstrem yang terjadi di dalamnya. Fasilitas lain termasuk kamp militer di Penjara Ofer, pusat interogasi Minshar di Tepi Barat bagian utara, dan kamp penahanan militer Naftali.
Pusat studi tersebut menyatakan bahwa fasilitas Sde Teiman beroperasi tanpa pengawasan, dengan aparat keamanan dan militer Israel memberikan kekebalan hukum penuh kepada para petugasnya.
Hal ini diduga membuka peluang terjadinya praktik penyiksaan brutal, termasuk kekerasan seksual, yang bertujuan untuk mengintimidasi, menghancurkan mental, bahkan menyebabkan kematian para tahanan.
Israel secara resmi mengakui 36 kematian di Sde Teiman sejak Oktober 2023, namun angka ini diyakini hanya sebagian kecil dari jumlah sebenarnya. Banyak tahanan asal Gaza dikabarkan mengalami penghilangan paksa dan ditahan dalam kondisi isolasi penuh, sehingga kematian tanpa jejak dan pertanggungjawaban bisa terjadi.
Selain penyiksaan, laporan juga mencatat 29 kematian yang disebabkan oleh kelalaian medis. Para tahanan kerap tidak diberikan akses ke perawatan dasar, ditahan dalam kondisi tak higienis, dan penanganan medis kerap ditunda hingga kondisi kritis.
Beberapa kasus paling menonjol antara lain:
- Walid Daqqa, wafat setelah 38 tahun dipenjara meskipun masa hukumannya berakhir di tahun ke-37. Ia menderita gangguan darah serius dan tidak mendapat perawatan layak.
- Asif Al-Rifa’i, penderita kanker yang meninggal di Rumah Sakit Assaf Harofeh dalam status tahanan administratif tanpa dakwaan.
- Walid Ahmed, remaja 17 tahun asal Silwad, meninggal di Penjara Megiddo akibat kelaparan. Kebijakan ini dilaporkan diterapkan oleh Menteri Keamanan Nasional sayap kanan, Itamar Ben Gvir.
Menurut lembaga tersebut, angka kematian 65 tahanan dalam periode kurang dari tujuh bulan menjadi yang tertinggi dalam sejarah gerakan tahanan Palestina.
Namun, jumlah sebenarnya diperkirakan lebih tinggi, mengingat banyaknya tahanan—terutama dari Gaza—yang belum teridentifikasi dan jenazah mereka belum dikembalikan atau dilaporkan.
Pusat Studi Tahanan Palestina menyampaikan keprihatinan mendalam atas terus berlanjutnya praktik penyiksaan, kelalaian medis, kelaparan, dan penyiksaan psikologis.
Mereka menuduh pemerintah Israel, khususnya elemen sayap kanan dalam kabinet, bertanggung jawab atas kondisi ini serta upaya untuk melindungi pelakunya dari proses hukum.