Friday, May 30, 2025
HomeBeritaLebih 800 pengacara: Inggris gagal cegah genosida Gaza

Lebih 800 pengacara: Inggris gagal cegah genosida Gaza

Lebih dari 800 hakim, pengacara, dan akademisi hukum terkemuka di Inggris menyerukan pemerintah Perdana Menteri Keir Starmer untuk segera mengambil langkah hukum terkait konflik yang sedang berlangsung di Gaza. Dalam sebuah surat terbuka disertai memorandum hukum setebal 35 halaman, mereka menyatakan bahwa “genosida sedang dilakukan di Gaza atau, setidaknya, terdapat risiko serius akan terjadinya genosida.”

Surat yang ditandatangani oleh tokoh-tokoh hukum senior, termasuk mantan hakim tinggi, menuduh pemerintah Inggris gagal memenuhi kewajiban hukumnya berdasarkan hukum internasional untuk mencegah dan menghukum tindakan genosida. Mereka juga mendesak agar Inggris mempertimbangkan untuk menginisiasi proses penangguhan keanggotaan Israel dari Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Para penandatangan merujuk pada putusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) pada Juli 2024 yang menyatakan bahwa Israel telah melanggar norma hukum internasional yang bersifat mengikat, termasuk hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri dan larangan pencaplokan wilayah melalui kekerasan. Sejak saat itu, surat tersebut mencatat adanya pengusiran massal, perluasan permukiman ilegal, serta serangan militer yang menyasar warga sipil sebagai pelanggaran hukum internasional yang berat dan terus berlangsung.

Dalam surat tersebut, dijabarkan sejumlah tindakan Israel yang dinilai sebagai bukti kejahatan genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, serta pembersihan etnis. Termasuk di antaranya adalah blokade terhadap Gaza, serangan terhadap warga sipil, tenaga kemanusiaan, serta rumah sakit, dan pernyataan sejumlah pejabat tinggi Israel yang menyerukan untuk “membersihkan” wilayah Gaza.

“Langkah-langkah Inggris sejauh ini belum memenuhi standar hukum internasional,” demikian isi surat tersebut. Para ahli hukum memperingatkan bahwa kegagalan pemerintah Inggris dalam mengambil tindakan berpotensi merusak norma-norma hukum internasional dan melemahkan kredibilitas negara tersebut sebagai pembela supremasi hukum.

Surat tersebut menekankan perlunya penghentian kekerasan secara permanen di Gaza dan menyerukan segera dibukanya kembali akses bantuan kemanusiaan, termasuk pencabutan larangan terhadap Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), agar bantuan dapat disalurkan kepada warga yang menghadapi kelaparan dan blokade.

Selain itu, pemerintah Inggris diminta menjatuhkan sanksi keuangan dan pembatasan imigrasi terhadap para pejabat militer dan sipil Israel yang diduga terlibat dalam pelanggaran hukum. Surat tersebut juga meminta agar pemerintah menangguhkan Roadmap 2030 kerja sama Inggris-Israel dan menerapkan sanksi dagang sebagai respons atas pelanggaran hukum internasional yang terus berlangsung.

Lebih jauh, para penandatangan menyerukan agar Inggris bersikap tegas dalam menegakkan perintah penangkapan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) terkait kejahatan yang dilakukan di wilayah pendudukan Palestina. “Penghormatan terhadap lembaga hukum internasional adalah hal yang tidak dapat ditawar,” tulis mereka.

Sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB, Inggris diminta mempertimbangkan langkah hukum untuk menangguhkan keanggotaan Israel dari Majelis Umum PBB berdasarkan Pasal 5 Piagam PBB, dengan alasan pelanggaran berulang terhadap prinsip-prinsip dasar PBB.

Mengutip pernyataan bersama Inggris, Prancis, dan Kanada, surat itu menyebut tingkat penderitaan manusia di Gaza sebagai sesuatu yang “tidak tertahankan.” Oleh karena itu, para ahli hukum mendesak agar pemerintah Inggris segera bertindak selaras dengan komitmennya dalam menegakkan supremasi hukum.

“Kini saatnya untuk mengambil langkah yang tegas, prinsipil, dan tanpa penundaan,” tulis mereka, seraya memperingatkan bahwa kelambanan akan memperburuk krisis dan mencoreng posisi Inggris di panggung hukum internasional.

 

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Kandidat PhD bidang Hubungan Internasional Universitas Sains Malaysia. Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular