Dua perusahaan waralaba asal AS, Starbucks dan McDonald’s menyatakan perang Israel terhadap kelompok perlawanan Palestina di Gaza merugikan penjualan mereka pada akhir tahun lalu.
Demikian dilaporkan situs berita ekonomi AS, CNBC, pada Senin, (5/2).
Saham McDonald’s turun hampir 4 persen pada Senin. Perlambatan penjualan di Timur Tengah berkontribusi pada hilangnya pendapatan pada kuartal keempat. Saham Starbucks juga turun sekitar 2 persen sejak Selasa.
Kedua perusahaan itu bahkan mengakui, penjualan mereka di AS dalam tiga bulan terakhir juga menurun akibat perang.
CNBC menulis, kedua perusahaan itu masuk ke dalam daftar perusahaan-perusahaan raksasa AS yang terdampak perang di Timur Tengah. Bahkan, sepertinya penurunan pendapatan juga akan terjadi pada kuartal berikutnya.
CEO Starbucks Laxman Narasimhan mengatakan pada Selasa, penjualannya di Timur Tengah mengalami kesulitan. Bahkan, boikot juga merugikan kafe-kafenya di AS.
Sebenarnya penjualan Starbucks di AS naik 5% pada kuartal fiskal pertama yang berakhir pada 31 Desember, tetapi angka kunjungan mengalami penurunan.
Dikutip Al Jazeera, CEO McDonald’s Chris Kempczinski mengatakan pada Senin, dampak perang terasa menyesakkan bagi penjualan perusahaan. Terutama di negara-negara Timur Tengah dan negara-negara mayoritas Muslim seperti Indonesia dan Malaysia.
Kempczinski mengatakan, selama perang berlangsung pihaknya pesimis akan ada perkembangan signifikan.
“Ini tragedi kemanusian. Apa yang tengah berlangsung, Saya rasa membebani merk-merk seperti kami,” ujar Kempczinksi sepada Al Jazeera.
Pertumbuhan penjualan waralaba makanan cepat saji McDonald’s untuk Timur Tengah, Tiongkok, dan India selama Oktober-Desember hanya 0,7 persen. Jauh di bawah ekspektasi pasar sebesar 5,5 persen.
Kemerosotan ini terjadi menyusul seruan boikot terhadap McDonald’s, akibat dukungan waralaba McDonald’s di Israel yang menyumbang ribuan makanan gratis kepada tentara Israel.
Menanggapi aksi McDonald’s Israel, waralaba McDonald’s di Arab Saudi, Oman, Kuwait, Uni Emirat Arab, Yordania, Mesir, Bahrain, dan Turkiye menyatakan berlepas diri dengan aksi tersebut. Mereka bahkan menjanjikan bantuan bernilai jutaan dolar bagi warga Palestina di Gaza.