Tuesday, August 12, 2025
HomeBeritaMedia Inggris: Suriah jadi ajang persaingan baru Amerika, Rusia, dan Cina

Media Inggris: Suriah jadi ajang persaingan baru Amerika, Rusia, dan Cina

Setelah 14 tahun dilanda perang saudara yang brutal, Suriah kini berada di jantung persaingan baru.

Bukan lagi pertempuran antar-faksi domestik, melainkan tarik-menarik pengaruh antara tiga kekuatan besar dunia: Amerika Serikat (AS), Rusia, dan Cina.

Ketiganya berlomba menancapkan pijakan di negara yang tengah bangkit perlahan dari kehancuran panjang.

Pemerintahan baru di Damaskus, yang terbentuk setelah berakhirnya perang saudara, berusaha menyatukan kembali negeri yang tercerai-berai.

Namun, posisinya kini terhimpit di tengah konfrontasi Timur–Barat. Demikian menurut analisis di harian Inggris i Paper.

Giorgio Cafiero, CEO firma analisis risiko geopolitik Gulf State Analytics di Washington DC, menilai jatuhnya rezim Bashar al-Assad pada Desember 2024 menutup sebuah era panjang.

Pergantian ini sekaligus membuka peluang langka bagi kekuatan internasional yang selama puluhan tahun berada di pinggiran pengaruh langsung di Suriah.

Kekosongan kekuasaan itu memicu Washington, Moskow, dan Beijing untuk menetapkan “aturan main” baru di Suriah pasca-Assad, yang kini dipimpin Ahmad al-Sharaa, mantan pimpinan kelompok Hay’at Tahrir al-Sham (HTS).

Peluang emas bagi Washington

Selama beberapa dekade, AS gagal menarik Suriah ke lingkar pengaruhnya. Kini, perubahan kepemimpinan di Damaskus membuka celah besar.

Pemerintah baru secara terbuka menyatakan keterbukaan pada Barat dan memutus hubungan dengan poros Iran–Rusia.

Menurut Cafiero, langkah ini mereduksi tajam pengaruh Moskow dan Beijing di Suriah pasca-Assad, peluang yang langsung dimanfaatkan Barat untuk mempererat hubungan dengan Damaskus.

Kunjungan Presiden AS Donald Trump ke Arab Saudi untuk bertemu al-Sharaa, serta langkah Washington dan beberapa negara Eropa mencabut sebagian besar sanksi atas Suriah, dinilai bukan sekadar simbol.

Langkah itu menjadi sinyal terbentuknya hubungan baru yang berlandaskan kepentingan bersama—meski tidak seimbang.

Damaskus yang tengah membangun kembali ekonominya menyadari dukungan Washington bisa menentukan keberlangsungan negara. Namun, pemerintahan al-Sharaa juga ingin menghindari ketergantungan penuh.

Satu-satunya pilihan stabilitas

Bagi Marina Calculli, pengajar hubungan internasional di Universitas Leiden, pilihan al-Sharaa untuk “masuk ke orbit AS” adalah langkah pragmatis.

“Ia melihat itu sebagai satu-satunya cara mempertahankan kekuasaan sekaligus menstabilkan negara,” ujarnya kepada i Paper.

Konsekuensinya, Suriah harus menyingkirkan sisa-sisa pengaruh Rusia dan mencegah masuknya dominasi Cina.

Moskow bertahan di tengah kemunduran

Kehilangan Assad bukan berarti hilangnya jejak Rusia sepenuhnya, tetapi menjadi pukulan strategis besar.

Keberadaan militer Moskow, khususnya di Pangkalan Laut Tartus, menjadi basis manuvernya di Mediterania Timur dan Afrika Utara.

Kini, Moskow berupaya mempertahankan sisa pengaruh melalui jalur diplomasi. Pertemuan Menlu Suriah Asaad al-Shibani dengan Menlu Rusia Sergey Lavrov di Moskow mengirim pesan ganda.

Yaitu, Damaskus masih menghargai Moskow, sementara Rusia tetap ingin menjaga hubungan, meski sebatas simbol atau kerja sama terbatas.

Cina membidik rekonstruksi

Dukungan Beijing bagi rezim lama bersifat non-militer, namun tetap bisa menyulitkan hubungan dengan pemerintahan baru.

Meski begitu, Suriah yang memerlukan ratusan miliar dolar untuk rekonstruksi tentu sulit menolak pendanaan dari negara berkantong tebal seperti Cina.

Keterlibatan Beijing di Suriah pasca-Ba’ath mungkin belum sejelas AS atau Rusia. Namun, potensi investasinya tidak kalah ambisius.

Peluang besar di sektor pembangunan menjadi insentif utama bagi Cina, yang juga ingin memasukkan Suriah ke dalam inisiatif Belt and Road.

Keseriusan Beijing tercermin dari dua pertemuan tingkat tinggi antara pejabat Cina dan Suriah pada 21 Februari dan 26 Maret lalu di Damaskus.

Meniti jalur netralitas

Meski menjadi medan persaingan kekuatan besar, pemerintahan baru di Damaskus tampak enggan terjebak dalam blok-blok tetap atau permusuhan terbuka.

Seperti dikemukakan mantan Duta Besar Lebanon untuk Kanada, Massoud Maalouf, Suriah akan tetap terbuka pada semua pihak yang bersedia membantu pembangunan kembali.

Asalkan, lanjutnya, tidak menuntut konsesi yang menggerus kedaulatan.

Bagi Cafiero, langkah Suriah pasca-Assad bukanlah deklarasi loyalitas, melainkan strategi bertahan hidup.

Pemerintahan baru berusaha menjaga “kedaulatan rapuh” di tengah kompetisi sengit antara Washington, Moskow, dan Beijing.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular