Saturday, November 22, 2025
HomeBeritaMedia Internasional: Rencana Trump abaikan nasib Tepi Barat

Media Internasional: Rencana Trump abaikan nasib Tepi Barat

Sejumlah surat kabar dan situs berita internasional menyoroti dinamika terbaru di kawasan Timur Tengah dan Afrika.

Mulai dari rencana Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump mengenai Gaza, meningkatnya kekerasan pemukim di Tepi Barat, hingga ancaman bencana kemanusiaan yang kian nyata di Kota Al-Fashir, Darfur, Sudan Barat.

Harian The Independent menulis bahwa Presiden Trump meraih kemenangan diplomatik setelah Dewan Keamanan PBB menyetujui rencana 20 poin yang diajukannya mengenai Gaza.

Namun demikian, sebagaimana ditulis surat kabar itu, tantangan utama justru terletak pada upaya mewujudkan kesepakatan yang adil dan dapat dijalankan.

Tulisan The Independent menilai bahwa rancangan itu tetap meninggalkan sejumlah pertanyaan mendasar yang selama puluhan tahun tak pernah terjawab.

Yaitu, masa depan rakyat Palestina, status pendudukan Israel, pertanggungjawaban atas pelanggaran hukum internasional, serta bagaimana memutus siklus kekerasan yang terus berulang.

Dari berbagai kekurangan yang ada, salah satu yang paling menonjol adalah absennya pembahasan mengenai nasib Tepi Barat yang tetap berada di bawah pendudukan.

Sementara itu, Haaretz dalam analisisnya menilai bahwa rencana tersebut, beserta resolusi PBB yang mengikutinya, menempatkan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam tekanan internasional yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk menjelaskan posisinya mengenai negara Palestina.

Menurut harian Israel itu, rencana tersebut menghambat manuver Netanyahu untuk melanjutkan perang, sekaligus menegaskan bahwa komunitas internasional tidak lagi dapat mengabaikan inti konflik tersebut.

Mengutip sejumlah pakar, Haaretz menyebut keterlibatan internasional dalam isu Palestina–Israel kali ini sebagai yang terbesar sejak berdirinya Israel.

Situasi ini, menurut mereka, dapat membuka peluang menuju penyelesaian jangka panjang.

Meski Netanyahu menyambut rencana Trump, ia tetap menghindari penyebutan eksplisit terkait pendirian negara Palestina.

Sikap ini menempatkannya pada persimpangan antara dukungan global terhadap rencana tersebut dan penolakan kuat dari dalam negeri.

Dari Amerika Serikat, The New York Times mempublikasikan laporan investigatif mengenai Pusat Koordinasi Sipil-Militer yang dibentuk AS di Israel selatan.

Setelah hampir satu bulan beroperasi, pusat tersebut dinilai tidak menunjukkan kemajuan berarti.

Menurut sejumlah pejabat yang dikutip, proses kerja di pusat itu terkesan kacau sejak awal, antara lain karena tidak adanya perwakilan Palestina di dalam struktur organisasi itu.

Laporan itu juga menggambarkan suasana yang mengingatkan pada kegagalan AS dalam membangun kembali Irak dan Afghanistan.

Sebagian personel yang ditempatkan di pusat itu disebut tidak memiliki pengalaman memadai, hingga pelatihan dasar—termasuk pengenalan tentang siapa sebenarnya Hamas—harus diberikan terlebih dahulu.

Kekerasan pemukim di Tepi Barat

Surat kabar The Guardian menyoroti lonjakan kekerasan pemukim Israel terhadap warga Palestina di Tepi Barat sejak gencatan senjata di Gaza diberlakukan.

Dalam satu bulan terakhir, tercatat lebih dari 260 serangan—angka tertinggi sejak 2006.

Aksi-aksi itu mencakup pemukulan, perusakan properti, penghalangan akses petani ke lahan mereka, hingga pembakaran pohon zaitun.

Kekerasan oleh aparat Israel juga meningkat. Dalam tempo dua pekan, tujuh warga Palestina tewas ditembak.

Sejak Oktober 2023, lebih dari seribu warga Palestina telah terbunuh, dan seperlimanya adalah anak-anak.

The Guardian menilai bahwa maraknya kekerasan ini tidak terlepas dari pembiaran pemerintah Israel, di tengah terus berlangsungnya aktivitas permukiman.

Di Afrika, situs Orient XXI menyoroti memburuknya situasi di Kota Al-Fashir, Darfur Barat, yang selama 18 bulan terakhir dikepung oleh Pasukan Dukungan Cepat (RSF).

Menurut laporan itu, bencana kemanusiaan yang dikhawatirkan sejak awal konflik akhirnya terjadi.

Pertempuran yang cepat menyebar dari Khartoum ke kota-kota Darfur menjadikan Al-Fashir—sebuah kota besar dan salah satu basis utama RSF—sebagai titik krisis yang hampir tak tersentuh perhatian dunia.

Selama berbulan-bulan, lembaga kemanusiaan telah mengingatkan bahwa Al-Fashir berubah menjadi “neraka yang tak tertahankan”.

Namun, tidak satu pun inisiatif internasional yang serius muncul untuk mendesak penghentian pengepungan.

Akibatnya, risiko kelaparan massal disertai pembantaian dalam skala besar kini membayangi kota tersebut.

Sebuah skenario terburuk yang sudah lama diperingatkan organisasi kemanusiaan, tetapi tak pernah benar-benar dicegah.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler