Media-media Israel kembali menyoroti kebuntuan militer dan politik yang dihadapi negeri itu dalam perang di Jalur Gaza.
Mereka menilai pemerintah gagal menetapkan tujuan jelas, dan operasi militer yang telah berlangsung berbulan-bulan terbukti tak mampu menghadirkan kemenangan atas Hamas.
Para analis memperingatkan, kelanjutan operasi hanya akan membawa Israel kembali ke titik semula, dengan kehilangan lebih banyak tentara, tanpa solusi akhir selain negosiasi mengenai nasib para sandera yang ditahan Hamas.
Mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel, Dan Harel, mengatakan kepada Kanal 13 bahwa kepemimpinan politik telah menyeret militer ke “jalan buntu” di Gaza akibat “manajemen perang yang gagal.”
Ia menduga tujuan sesungguhnya dari perpanjangan konflik berkaitan dengan agenda politik domestik, termasuk pemilu mendatang, meski harus dibayar dengan jatuhnya korban lebih banyak.
Harel menambahkan, persoalan Gaza tak bisa dilepaskan dari dinamika internal. Saat para tentara dan keluarga sandera menanggung beban, pemerintah justru mendorong pengesahan undang-undang penghindaran wajib militer, sementara tidak ada visi jelas tentang langkah setelah operasi militer usai.
Pandangan serupa disampaikan mantan Kepala Unit Manajemen Krisis dan Negosiasi, Mayor Jenderal (Purn) Doron Harar.
Menurutnya, Israel hanya akan menemukan dirinya kembali pada kondisi saat ini beberapa bulan ke depan.
“Cepat atau lambat, Israel harus duduk bernegosiasi dengan Hamas terkait sandera. Lebih baik jalur itu ditempuh sejak sekarang,” ujarnya.
Harar menegaskan, mengandalkan operasi militer semata hanya akan melahirkan hasil berulang.
Pada akhirnya, penyelesaian bergantung pada kesepakatan politik, bukan operasi tanpa ujung yang menguras tenaga prajurit tanpa prospek strategis.
Sementara itu, perwira cadangan Eli Maibri kepada Kanal 12 menjelaskan, pertempuran di jantung Kota Gaza sangat berbeda dari bentrokan sebelumnya.
“Mengirim satu batalion penuh masuk ke gedung bertingkat bisa menjadi bencana. Bila bangunan itu runtuh atau gagal diamankan, seluruh pasukan bisa musnah,” katanya.
Ia menekankan, karakter Gaza yang padat penduduk dan bangunan membuat setiap langkah militer rawan.
Karena itu, operasi darat di sana menuntut keputusan lapangan yang cermat, bukan sekadar slogan politik atau janji penyelesaian cepat.
Jalan politik
Di sisi lain, peneliti di Institut Studi Keamanan Nasional Universitas Tel Aviv, Ofer Shelah, menilai Israel untuk pertama kalinya mengambil keputusan yang “mendekati kejahatan perang” secara terang-terangan oleh pemerintahnya sendiri.
Ia menilai, militer Israel yang kian terkuras tak mungkin meraih kemenangan.
“Tidak ada cara untuk mengalahkan Hamas secara militer. Hamas adalah kekuatan gerilya bersenjata. Mereka tidak bisa dilenyapkan dengan bom dan tank, kecuali ada alternatif politik yang kuat yang mampu mengakar di masyarakat Gaza. Sejak perang pecah Oktober 2023, Israel bahkan tak berusaha menciptakan alternatif itu,” jelas Shelah.
Ia mengingatkan, keyakinan awal Kepala Staf Eyal Zamir bahwa operasi militer bisa membuka jalan menuju kesepakatan pertukaran sandera atau melemahkan Hamas kini runtuh setelah lebih dari enam bulan perang.
“Militer tak mampu meraih kemenangan strategis,” katanya.
Shelah menambahkan, saat ini Zamir sekadar berusaha memenuhi keinginan elite politik dengan menahan pasukan di posisi bertahan.
Selain itu, juga menggelar operasi terbatas darat maupun udara hanya untuk menghambat Hamas membangun kembali kekuatannya—tanpa klaim bahwa mereka bisa benar-benar menghancurkannya.
Para analis sepakat, Israel kini terjerat dalam perang panjang berbasis saling menguras tenaga.
Dengan ketiadaan strategi alternatif di tingkat politik, jalur penyelesaian atau kembali ke meja perundingan tampak lebih realistis ketimbang mimpi akan “kemenangan militer” di lapangan.