Sebuah laporan panjang yang diterbitkan harian ekonomi Israel, Kalkalist, pada Minggu (24/8/2025), menyebut bahwa perang berkepanjangan di Gaza beserta krisis kemanusiaan yang menyertainya telah mendorong Israel masuk ke dalam isolasi internasional.
Situasi ini digambarkan para pakar sebagai bentuk “blokade sunyi”—sebuah tekanan yang tidak diumumkan secara resmi, tetapi nyata terasa dampaknya.
Blokade ini, menurut Kalkalist, hadir dalam bentuk penundaan kontrak, pembekuan investasi, boikot akademik, hingga penolakan kerja sama bisnis dengan perusahaan Israel.
Efeknya tidak ringan: mengganggu kinerja ekonomi nasional, melemahkan industri strategis, serta menghambat kesinambungan riset ilmiah dan jejaring akademik global.
Laporan tersebut mencatat bahwa berlanjutnya perang di Gaza, memburuknya kondisi kemanusiaan, serta persiapan operasi militer darat ke wilayah itu membuat sejumlah negara dan perusahaan secara tidak resmi menghindari keterlibatan dengan Israel.
Salah satu contoh konkret disebutkan: sebanyak 150 warga Israel dilarang masuk ke sebuah taman hiburan di Prancis, meskipun reservasi kunjungan telah dilakukan sebelumnya.
Alasan resmi yang dikemukakan adalah faktor keamanan, namun sumber internal menyebut keputusan itu lebih karena “prinsip pribadi” manajemen yang menolak kehadiran rombongan Israel.
Fenomena serupa, tulis Kalkalist, kini berulang dalam berbagai bidang: kontrak yang tertunda, surat-menyurat yang diabaikan, kunjungan bisnis yang dibatalkan, hingga penolakan pemberian kredit atau dukungan finansial.
Tidak ada pengumuman resmi ataupun alasan legal yang bisa digugat, justru menjadikannya lebih berbahaya ketimbang blokade formal yang dapat dilawan lewat jalur hukum atau politik.
Yenier Asoulin, CEO bersama perusahaan impor bahan industri Estel, mengatakan kepada Kalkalist bahwa mitra-mitra Eropa, bahkan pemasok di Yordania dan Mesir, mulai menolak bertransaksi dengan Israel.
Ia mencontohkan kasus laboratorium pengujian Thomas Bell di Inggris yang sempat menolak mengakui sertifikat mutu Israel karena sebuah memo internal bernuansa politik.
Kesepakatan baru bisa diperbarui setelah ada intervensi langsung ke level manajemen di Dubai.
“Sebagian besar perusahaan Israel tidak bisa menghadapi situasi ini sendirian. Kami harus memahami realitas baru ini dan beradaptasi. Kenaikan harga di pasar domestik sangat berkaitan dengan berkurangnya variasi pemasok dan kian sulitnya kompetisi,” kata Asoulin.
Karena tekanan tersebut, Estel bahkan membuka cabang di Inggris sejak 18 bulan lalu untuk menghindari stigma keterkaitan langsung dengan Israel.
Dua pemasok asing—masing-masing dari Swedia dan Mesir—secara gamblang menyampaikan bahwa dewan direksi mereka menolak bekerja sama dengan Israel, baik sekarang maupun di masa mendatang.
Kalkalist juga menyoroti meningkatnya sikap keras Turki. Ankara disebut mulai menerapkan larangan baru dalam perdagangan laut, termasuk menolak kapal Israel berlabuh di pelabuhan Turki serta menghentikan transit barang Israel secara tidak langsung.
Menurut kamar dagang, kebijakan itu turut berdampak pada distribusi kargo menuju Yordania dan Otoritas Palestina.
Di tingkat industri, sejumlah pemasok Turki juga menutup pintu. Perusahaan Vestel, salah satu raksasa manufaktur elektronik dan peralatan rumah tangga Turki, menolak mengadakan pertemuan bisnis dengan mitra Israel.
Pertemuan itu dalam ajang pameran elektronik internasional di Berlin yang dijadwalkan dua pekan mendatang.
“Setiap tahun kami selalu bertemu dengan perwakilan Vestel. Kantornya biasanya penuh dengan tamu. Kali ini, saat kami mencoba menjadwalkan pertemuan, mereka menghindar. Padahal, ketika krisis baru mulai, Vestel masih berupaya mencari solusi agar kerja sama tetap berjalan,” ungkap seorang importir Israel.
Ia menambahkan bahwa bukan hanya Vestel yang mengambil sikap demikian.
“Hampir tidak ada pabrikan Turki yang mau memproduksi barang untuk Israel,” katanya.
Kalkalist menegaskan bahwa perubahan sikap Turki ini sangat signifikan, mengingat sebelumnya hubungan dagang masih berjalan meskipun hubungan politik kerap dilanda ketegangan.
Dampak politik “penggambaran kelaparan”
Menurut laporan Kalkalist, para eksportir dan produsen Israel kini menghadapi kesulitan besar untuk mengembalikan kepercayaan pelanggan internasional.
Hal ini diperburuk oleh pernyataan sejumlah pejabat Israel sendiri yang terang-terangan mendorong pembatasan masuknya bahan kebutuhan pokok ke Gaza.
Sikap resmi semacam itu, tulis Kalkalist, memberi dampak langsung pada citra Israel di mata publik dunia.
Banyak perusahaan asing akhirnya membuat keputusan individual untuk tidak lagi menjalin hubungan bisnis dengan Israel.
Mantan Ketua Asosiasi Industri Israel, Ron Tomer, mengakui kepada Kalkalist bahwa strategi komunikasi Israel gagal total.
“Kami dipaksa menjelaskan situasi kompleks di Gaza. Namun, dari sepuluh percakapan, paling-paling satu yang bisa kami yakinkan. Ketika seorang menteri seperti Bezalel Smotrich berkata ‘tak sebutir gandum pun boleh masuk ke Gaza’, lalu dunia melihat gambar anak-anak kelaparan, maka mereka yang bertanggung jawab adalah para menteri itu,” ujar Tomer.
Ia menambahkan, dampak buruk itu meluas hampir ke semua sektor industri.
“Orang yang merasa muak setelah melihat tayangan CNN lalu memutuskan berhenti membeli produk Israel. Keputusan personal itu menyebar, lalu menciptakan efek bola salju. Sangat sedikit produk Israel yang tidak memiliki alternatif. Kalau mereka tidak membeli dari kita, mereka akan membeli dari pihak lain,” tambahnya.
Kalkalist juga menegaskan bahwa “blokade sunyi” tak hanya menghantam industri tradisional, tetapi mulai menekan sektor unggulan Israel, yakni bioteknologi dan ilmu hayati.
Sejumlah kesepakatan internasional dan investasi besar dilaporkan dibatalkan atau ditunda, bukan karena kualitas riset atau teknologi, melainkan murni alasan politik.
Seorang pejabat senior di bidang ini menilai kondisi tersebut sebagai “ancaman baru yang bukan bersifat ekonomi atau teknis, melainkan politik.”
Identitas nasional Israel, kata dia, justru menjadi penghalang serius dalam membangun perusahaan baru ataupun memperluas bisnis yang sudah ada.
“Banyak perusahaan kini mengurangi aliran dana ke Israel dan menghindari kunjungan eksekutif tingkat tinggi ke sana. Israel mungkin tetap unggul di bidang keamanan dan teknologi militer, tetapi sektor lain akan tergerus. Di mata dunia usaha, Israel makin dianggap sebagai pihak yang tidak diinginkan. Hanya ketika tak ada pilihan lain, barulah mereka bersedia bekerja sama,” kata pejabat itu.
Tekanan pada dunia akademik dan riset
Kalkalist mencatat bahwa “blokade sunyi” kini merambah ke dunia akademik dan penelitian.
Ada ancaman penghentian, atau setidaknya penangguhan sebagian, partisipasi Israel dalam program riset besar Uni Eropa Horizon.
Berlanjutnya perang di Gaza serta memburuknya krisis kemanusiaan membuat posisi para pendukung Israel di Eropa semakin sulit dipertahankan, apalagi setelah dukungan dari Jerman dan Italia terlihat melemah.
Beberapa universitas Eropa, seperti Universitas Ghent di Belgia dan Universitas Valencia di Spanyol, bahkan secara terbuka mengumumkan pemboikotan proyek riset bersama yang melibatkan institusi Israel. Dampaknya terasa langsung pada jumlah publikasi ilmiah.
Menurut laporan itu, dalam dua tahun terakhir tingkat publikasi internasional yang melibatkan peneliti Israel turun 21 persen.
Sementara jumlah hibah Horizon untuk peneliti baru merosot tajam, dari 29 pada 2024 menjadi hanya 9 pada 2025—turun sekitar 70 persen.
Data Kementerian Sains Israel juga mengonfirmasi tren serupa: publikasi ilmiah Israel menurun dari 142 artikel per 1.000 pada 2022 menjadi 111 pada 2024. Angka itu tercatat sebagai yang terendah sejak 2017.
Para pakar menilai, salah satu penyebabnya adalah penolakan publikasi riset Israel oleh sejumlah jurnal ilmiah terkemuka, khususnya di bidang ilmu sosial dan kesejahteraan, karena para peneliti dianggap tidak bersikap kritis terhadap perang di Gaza.
Hal ini menegaskan betapa besar dampak reputasi politik terhadap kredibilitas ilmiah Israel.
Pada Juni lalu, keanggotaan Asosiasi Sosiologi Israel di International Sociological Association resmi ditangguhkan.
Penyebabnya: asosiasi itu tidak mengecam tindakan militer Israel di Gaza. Sejak 7 Oktober 2023 hingga Mei 2025, tercatat ada 700 kasus boikot terhadap akademisi Israel, dengan sedikitnya 20 universitas menyatakan secara resmi memutuskan hubungan.
Boikot tersebut diwujudkan dalam bentuk penolakan meninjau naskah ilmiah, menolak undangan konferensi, hingga menolak kehadiran dosen tamu dari Israel.
Kredit dan investasi terhambat
Selain akademik, tekanan juga terasa di sektor energi dan keuangan. Meski beberapa kontrak besar sempat ditandatangani, perusahaan energi Israel mengalami kesulitan memperbarui jalur kredit dari bank-bank Eropa.
Sejumlah proyek terhambat karena sejumlah bank enggan bekerja sama dengan Israel.
Ketika perusahaan mencoba meminta penjelasan, bank-bank hanya memberikan jawaban resmi singkat yang tidak menyentuh alasan sebenarnya.
Keterlambatan juga terjadi pada kedatangan tenaga ahli asing untuk pembangunan pembangkit listrik maupun pipa gas.
Secara formal, sebagian penundaan dikaitkan dengan situasi keamanan. Namun, muncul kekhawatiran bahwa alasan sesungguhnya adalah penolakan perusahaan asing untuk bekerja di Israel.