Sidang tingkat tinggi Majelis Umum PBB tahun 2025 menandai perubahan besar dalam cara dunia memandang perang di Gaza.
Untuk pertama kalinya, sebanyak 44 negara secara terbuka menyebut operasi militer Israel di Jalur Gaza sebagai genosida—sebuah peningkatan signifikan dibanding tahun sebelumnya.
Dalam forum yang diikuti lebih dari 190 pemimpin dunia itu, 151 pembicara menyebut Gaza dalam pidato mereka, menunjukkan betapa konflik ini telah menjadi pusat perhatian moral dan politik global.
Menurut laporan International Crisis Group, minat internasional terhadap perang di Ukraina mulai meredup, terutama di luar lingkaran Uni Eropa dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Sebaliknya, perhatian terhadap Gaza meningkat tajam seiring eskalasi kekerasan dan laporan pelanggaran berat hak asasi manusia di wilayah itu.
Laporan tersebut juga mencatat, meski Sudan masih dikategorikan sebagai krisis kemanusiaan terbesar di dunia, perhatian global terhadap negara itu tidak menunjukkan pola yang konsisten.
Di sisi lain, isu reformasi PBB mencuat sebagai tema dominan dalam pertemuan tahun ini, di tengah pembahasan tentang tantangan keuangan dan politik yang dihadapi lembaga dunia tersebut.
Gagasan “PBB 80”—sebuah inisiatif untuk menata ulang struktur dan efisiensi lembaga internasional itu menjelang ulang tahunnya yang ke-80—menjadi salah satu agenda utama.
Dalam wawancara dengan Al Jazeera Net, analis dan peneliti urusan PBB Maya Ungar menjelaskan bahwa penggunaan istilah “genosida” dalam konteks Gaza tidak datang tiba-tiba.
Menurutnya, istilah itu memperoleh legitimasi moral dan hukum setelah Komisi Penyelidikan Internasional Independen PBB mengenai wilayah pendudukan Palestina menyimpulkan bahwa Israel telah melakukan tindakan yang memenuhi unsur genosida di Gaza.
Para analis pidato pemimpin dunia di forum PBB menyoroti lima kecenderungan utama tahun ini:
- Meningkatnya jumlah negara yang secara terbuka menyebut serangan Israel di Gaza sebagai genosida.
- Menurunnya perhatian terhadap Ukraina di luar lingkup NATO dan Uni Eropa, meski perang masih berlanjut.
- Krisis Sudan tetap menjadi tragedi kemanusiaan terbesar, namun tanpa kepedulian global yang terarah.
- Isu reformasi PBB kian mendesak di tengah krisis legitimasi dan keuangan lembaga tersebut, dengan inisiatif “PBB 80” sebagai simbol perubahan struktural.
- Pidato para pemimpin di Majelis Umum kini dipandang sebagai cermin opini publik global dan arah kebijakan internasional di tahun-tahun mendatang.
Sidang Majelis Umum PBB yang digelar setiap September di New York memang kerap menjadi barometer utama dinamika politik dunia.
Namun, peningkatan jumlah negara yang kini menyebut Gaza sebagai lokasi “genosida” menandai babak baru dalam diplomasi global—sebuah sinyal bahwa dunia semakin sulit menutup mata terhadap penderitaan panjang rakyat Palestina.
Gaza di puncak perhatian dunia
Menurut laporan International Crisis Group, isu Palestina menempati posisi teratas dalam pembahasan Sidang Majelis Umum PBB tahun 2025. Sebanyak 151 pembicara menyebut Gaza atau Palestina, naik dari 146 pada tahun sebelumnya.
Namun, perubahan paling mencolok adalah meningkatnya jumlah negara yang secara terbuka menyebut apa yang terjadi di Gaza sebagai “genosida”.
Tahun ini, 44 negara menggunakan istilah itu—naik 18 negara dibanding 2024. Kecenderungan tersebut terutama muncul dari negara-negara di Asia, Afrika, Amerika Latin, dan kawasan Karibia, sementara sikap sebagian besar negara Barat tidak mengalami perubahan berarti.
Analis PBB Maya Ungar mengaitkan peningkatan tajam dalam retorika itu dengan berlanjutnya pertumpahan darah di Gaza serta laporan-laporan investigatif PBB yang secara tegas menyimpulkan bahwa Israel telah melakukan tindakan yang memenuhi unsur genosida.
Menurutnya, hal itu menjadikan isu Palestina kembali berada di garis depan perhatian politik global, dengan kenaikan tingkat sorotan mencapai 69 persen dibanding tahun lalu.
Selama dua tahun terakhir, Jalur Gaza mengalami agresi Israel yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Serangan itu menewaskan sekitar 70 ribu warga Palestina dan melukai lebih dari 170 ribu orang lainnya.
Sekitar 90 persen infrastruktur di wilayah itu hancur, sementara mayoritas dari 2,3 juta penduduk Gaza terpaksa mengungsi dari rumah mereka.
Perhatian terhadap Ukraina mulai meredup
Meskipun perang di Ukraina masih disebut dalam banyak pidato pemimpin dunia tahun ini, perhatian terhadap isu tersebut menurun tajam—sekitar 30 persen.
Hanya 106 negara yang menyinggung Ukraina pada 2025, turun dari 116 tahun lalu dan jauh di bawah 138 pada 2022.
Para analis dari International Crisis Group mencatat, 51 negara sengaja menghindari penyebutan Rusia secara langsung, sebuah sinyal meningkatnya kehati-hatian diplomatik.
Banyak negara kini memandang perang tersebut sebagai konflik yang terbatas pada kawasan Eropa, meskipun Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky terus menekankan dampak global dari perang itu.
Ungar menilai, meredupnya kekhawatiran terhadap dampak perang terhadap keamanan pangan dunia turut menjelaskan penurunan perhatian global.
Kini, isu Ukraina tetap menjadi fokus utama di lingkaran NATO dan Uni Eropa, namun mulai kehilangan daya tarik di luar kawasan itu.
Sementara itu, Sidang Majelis Umum yang pada 2022–2023 sempat menjadi arena utama dukungan politik untuk Kyiv—melalui serangkaian resolusi dan pemungutan suara melawan Rusia—kini tidak lagi menjadi forum strategis bagi Ukraina untuk mengubah opini dunia.
Jumlah resolusi terkait Ukraina berkurang drastis pada 2025, meskipun perang belum berakhir.
Sudan, krisis yang kian terlupakan
Berbeda dengan Gaza dan Ukraina, konflik di Sudan hampir tak mendapat sorotan berarti. Menurut laporan International Crisis Group, hanya 62 negara yang menyebut Sudan dalam pidato mereka tahun ini, turun dari 65 tahun sebelumnya.
Tidak ada pola geografis yang jelas: hanya 20 negara Afrika menyinggung konflik itu, dan bahkan di antara sesama anggota Uni Afrika pun, terdapat perbedaan besar dalam menanggapi isu Sudan antara tahun ini dan sebelumnya.
Ungar menilai Sudan kini diperlakukan sebagai “krisis yang terlupakan” di panggung internasional.
Berbeda dengan isu Gaza dan Ukraina yang disebut secara rutin dan terkoordinasi, kasus Sudan tidak memiliki prioritas jelas di tengah padatnya agenda global.
Padahal, PBB telah menempatkan Sudan sebagai krisis kemanusiaan terbesar di dunia pada 2025.
Jumlah pengungsi—baik internal maupun lintas batas—telah melampaui 10 juta orang, sementara respons internasional dan bantuan kemanusiaan terus menurun sejak tahun lalu.
Perang di Sudan meletus pada 15 April 2023 antara militer Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF).
Hingga kini, pertempuran masih berlangsung, menewaskan puluhan ribu orang dan memaksa jutaan lainnya mengungsi—menjadikannya salah satu bencana kemanusiaan terbesar dalam sejarah negara itu.
Reformasi PBB mengemuka di tengah krisis global
Isu reformasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencuat sebagai salah satu tema sentral dalam Sidang Majelis Umum tahun 2025.
Menurut laporan International Crisis Group, sebanyak 128 negara menyinggung perlunya reformasi PBB dalam pidato mereka—naik tajam dari 100 negara pada tahun 2024.
Fokus pembahasan reformasi itu terutama berkisar pada dua hal utama:
- Pertama, inisiatif Sekretaris Jenderal bertajuk “PBB 80”, yang menekankan langkah-langkah struktural untuk menekan pengeluaran dan menata ulang mandat kelembagaan organisasi internasional tersebut.
- Kedua, dorongan kuat untuk mereformasi Dewan Keamanan, termasuk meninjau kembali komposisi keanggotaan dan mekanisme pengambilan keputusan yang selama ini dianggap tidak lagi mencerminkan keseimbangan geopolitik dunia.
Analis urusan PBB Maya Ungar menjelaskan bahwa lonjakan perhatian ini mencerminkan peningkatan sebesar 28 persen dibanding tahun lalu di antara negara-negara yang menuntut reformasi.
Menurutnya, banyak negara kini menyadari bahwa inisiatif “PBB 80” tidak memiliki pilihan selain berhasil, karena kegagalannya bisa mengguncang eksistensi lembaga itu sendiri.
Ungar menambahkan, pembahasan di pekan tingkat tinggi sidang umum menegaskan bahwa krisis keuangan PBB kini menuntut perubahan mendasar.
Dalam pandangannya, setiap diskusi serius mengenai masa depan lembaga itu dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional harus mempertimbangkan kenyataan bahwa sistem lama tak lagi berfungsi secara efektif.
Secara historis, setiap periode krisis keuangan atau gejolak geopolitik besar memang menjadi pemicu lahirnya inisiatif reformasi di tubuh PBB.
Banyak pengamat menilai bahwa tahun 2025 bisa menjadi momentum terbesar untuk perubahan struktural organisasi itu sejak berdirinya pada 1945.
Analisis yang dirangkum International Crisis Group menunjukkan bahwa dinamika geopolitik dunia kini semakin jelas tercermin dalam pidato para pemimpin di Majelis Umum.
Gaza menempati posisi teratas dalam agenda perdamaian dan keamanan global, Ukraina kehilangan prioritas di luar lingkaran Barat, dan Sudan tetap menjadi krisis kemanusiaan tanpa gaung politik yang konsisten.
Sementara itu, isu reformasi PBB tampil sebagai poros utama yang menentukan arah masa depan lembaga internasional itu di tengah tekanan finansial dan politik yang terus meningkat.
Laporan tersebut menegaskan, masa depan efektivitas PBB kini bergantung pada kemauan politik negara-negara anggotanya—dan pada seberapa cepat opini publik dunia mendorong perubahan nyata.
Terutama menjelang pergantian kepemimpinan di tubuh organisasi yang dijadwalkan dalam waktu dekat.