Monday, March 31, 2025
HomeBeritaMengapa Netanyahu kembali tekan tombol pemusnahan Gaza?

Mengapa Netanyahu kembali tekan tombol pemusnahan Gaza?

Melarikan diri ke depan adalah salah satu pilihan para politisi dalam menghadapi tantangan yang sulit diatasi. Setelah 15 bulan agresi di Gaza, Netanyahu mendapati dirinya berada di titik yang mirip dengan awal perang.

Setelah menandatangani kesepakatan gencatan senjata dengan Hamas, menjadi jelas bagi semua bahwa tujuan perang yang diumumkan secara resmi oleh pemerintah Israel yakni menggunakan tekanan militer untuk membebaskan tahanan, adalah menghancurkan kemampuan militer perlawanan.

Selain itu, tujuannya juga membongkar kemampuan Hamas dalam mengelola pemerintahan di Gaza. Tujuan itu belum tercapai meskipun telah dilakukan pembantaian yang menyebabkan 50.000 orang gugur dan Gaza hancur lebur.

Pada titik ini, Netanyahu berada di persimpangan jalan. Ia mengakui kegagalan perang dengan melaksanakan tahap pertama dari kesepakatan gencatan senjata.

Kesepakatan itu mencakup penarikan dari poros Philadelphi, mengizinkan masuknya ribuan tenda dan rumah siap huni. Kesepakatan itu juga mencakup ratusan truk bantuan makanan dan bahan bakar setiap hari, memulai negosiasi tahap kedua yang akan mengakhiri perang.

Israel juga harus menarik diri sepenuhnya dari Gaza, dan memulai rekonstruksi. Pilihan lain, Israel melanggar kesepakatan dan kembali berperang serta melakukan pembantaian lagi demi mencapai sejumlah tujuan dalam negeri dan luar negeri.

Netanyahu memilih opsi kedua dengan melancarkan serangan udara besar pada malam 18 Maret lalu yang menyebabkan lebih dari 430 orang gugur dan ratusan lainnya terluka hanya dalam serangan pembuka.

Tujuan dalam negeri

Netanyahu adalah perdana menteri terlama dalam sejarah Israel, dengan total masa jabatan 18 tahun. Ia berhasil memimpin Partai Likud dan membawanya kembali ke tampuk kekuasaan setelah mantan PM Ariel Sharon memisahkan diri dan membentuk Partai Kadima.

Netanyahu juga berhasil melemahkan partai-partai kiri, terutama Partai Buruh. Partai Buruh kini menjadi bagian dari sejarah setelah bergabung dengan Partai Meretz dalam aliansi baru bernama Partai Demokrat pada tahun 2024.

Netanyahu mengalami guncangan besar pada pagi hari Operasi “Thaufan Al-Aqsha” yang hampir mengakhiri karier politiknya. Sebab, kegagalan keamanan terbesar dalam sejarah Israel sejak Perang Oktober 1973.

Namun “Bibi”—panggilan akrab Netanyahu—mengikuti nasihat Jared Kushner, penasihat utama Presiden Trump dan suami dari putrinya. Dalam memoarnya, Kushner mengungkapkan perkataan Netanyahu kepadanya.

“Dalam politik, momentum adalah segalanya. Setiap kali saya jatuh, saya mencari berita baik dan memperbesarnya. Kemenangan melahirkan kemenangan,” katanya.

Inilah yang coba dilakukan Netanyahu dalam perang ini—mencari ‘kemenangan’ untuk menutupi kegagalan besar pada hari Topan itu.

Pemerintah perang yang dibentuk Netanyahu bersama dua mantan jenderal, Gantz dan Eisenkot, segera runtuh. Netanyahu menyalahkan mereka karena membatasinya dalam menyerang Hizbullah di Lebanon.

Setelah mereka mundur dari pemerintahan, Netanyahu memindahkan fokus operasi ke front utara pada pertengahan September 2024.

Operasi menargetkan pengembalian pemukim ke rumah mereka di wilayah utara Palestina sebagai tujuan peran. Kurang dari sebulan sebelum peringatan satu tahun Operasi Topan Al-Aqsa. Ia mengincar ‘gambar kemenangan’ setelah setahun perang.

Israel melancarkan serangan elektronik, membunuh para komandan Hizbullah. Israel juga melancarkan operasi darat untuk menghancurkan infrastruktur militer Hizbullah di desa-desa dekat perbatasan selatan Sungai Litani.

Netanyahu mengklaim keberhasilan atas operasi ini, lalu memecat Menteri Pertahanan Gallant karena dianggap tidak percaya diri. Ia kemudian mendorong penggantinya, Katz, untuk memaksa Kepala Staf Halivi mundur, menggantikannya dengan Eyal Zamir, mantan sekretaris militer Netanyahu.

Kini, hanya kepala dinas intelijen dalam negeri (Shin Bet), Ronen Bar, yang menjadi penghalang terakhir.

Untuk menyingkirkan Ronen Bar, Netanyahu pertama-tama mencopotnya dari kepemimpinan tim negosiasi dan menunjuk Menteri Ron Dermer sebagai penggantinya.

Pada Maret ini, Netanyahu meminta Bar mengundurkan diri, namun Bar menolak secara resmi dan menyatakan tidak akan mundur hingga semua tawanan dibebaskan.

Penasihat hukum pemerintah, Gali Baharav-Miara, menolak pemecatan Bar di tengah penyelidikan Shin Bet terhadap beberapa staf Netanyahu atas dugaan membocorkan dokumen rahasia ke surat kabar Jerman Bild.

Hal itu guna mempengaruhi negosiasi terkait perang Gaza, serta menerima uang dari negara asing.

Perpanjangan perang memperkuat posisi Netanyahu terhadap kepala Shin Bet dan menutupi niatnya untuk memberhentikan penasihat hukum tersebut.

Jika berhasil, Netanyahu akan menguasai penuh militer dan dinas keamanan, dengan Menteri Pertahanan, Kepala Staf, dan Kepala Shin Bet semuanya loyal kepadanya.

Perang yang berlanjut juga memperkuat koalisi pemerintahan Netanyahu. Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir dan para menteri dari partai Zionisme Religius sebelumnya mundur sebagai protes atas gencatan senjata, dan mengkaitkan kembalinya ke pemerintahan dengan dimulainya kembali perang.

Menteri Keuangan Smotrich pun menunda dukungannya terhadap pemerintah jika bergabung dalam tahap kedua kesepakatan. Netanyahu berjanji padanya bahwa itu tidak akan terjadi.

Netanyahu memenuhi janjinya dengan melanggar kesepakatan. Langkah pertamanya setelah pecahnya perang kembali adalah mengembalikan Ben Gvir ke pemerintahan meskipun ditentang penasihat hukum.

Kembalinya Ben Gvir dan partainya ke koalisi memberikan Netanyahu mayoritas nyaman di Knesset. Ia meningkatkan peluang pemerintahan bertahan hingga pemilu 2026 tanpa harus menghadapi pemilu dini atau tekanan partai-partai kecil dalam koalisi. Terutama dalam pengesahan anggaran bulan ini dan isu wajib militer bagi komunitas Haredi.

Rencana penyelesaian perang

Selain tujuan-tujuan kebijakan dalam negeri, terdapat pula tujuan-tujuan lain yang berkaitan langsung dengan perang itu sendiri. Dalam konteks lampu hijau dari pemerintahan Amerika Serikat (AS) dan pernyataan Presiden Trump tentang pengusiran penduduk Gaza.

Serta, bocoran mengenai komunikasi antara Amerika dan pemerintah Sudan serta Somaliland untuk membahas kemungkinan menerima warga Gaza. Setelah Mesir dan Yordania menolak rencana pengusiran tersebu.

Maka, kembali melanjutkan perang menjadi pilihan paling praktis bagi Netanyahu untuk melaksanakan rencana Trump.

Sayap kanan religius Zionis dalam pemerintahan Netanyahu sejak awal perang telah menjadikan pengusiran penduduk Gaza dan pendirian kembali permukiman sebagai salah satu tujuannya.

Namun, tujuan-tujuan ini tidak mendapat dukungan dari pemerintahan Biden maupun negara-negara Eropa. Sehingga Netanyahu tidak mencantumkannya secara resmi dalam tujuan perang.

Namun kini, Netanyahu melihat adanya kesempatan bersejarah untuk berlindung di bawah dukungan Trump. Ia melaksanakan apa yang ia anggap sebagai “rencana penyelesaian akhir” dengan mengusir warga Palestina dari Gaza sebagai langkah pertam. Kemudian akan diikuti dengan pengusiran warga Palestina dari Tepi Barat.

Dengan demikian, menurut pandangannya, Israel akan mendapatkan kembali keamanan yang hilang dan menyelesaikan konflik yang dimulai sejak tahun 1948.

Netanyahu telah beberapa kali mencoba menghambat perjanjian gencatan senjata, hingga akhirnya ia memutuskan menutup seluruh perlintasan ke Gaza dan melarang masuknya bantuan kemanusiaan sejak 2 Maret lalu.

Hal ini dilakukan untuk menekan pihak perlawanan agar memperpanjang fase pertama perjanjian dalam kerangka pertukaran tahanan tanpa adanya pengumuman penghentian perang atau masuknya kebutuhan rekonstruksi.

Di sisi lain, pihak perlawanan mematuhi ketentuan perjanjian dan terlibat dalam negosiasi langsung bilateral dengan pemerintahan Trump melalui utusannya untuk urusan sandera, Adam Boehler.

Di titik ini, Netanyahu memilih untuk menggagalkan perjanjian tersebut dengan cara militer dan menghentikan jalur negosiasi antara Amerika dan Hamas. Maka tentara pendudukan pun kembali memulai perang dengan serangan udara besar-besaran yang menyasar puluhan pemimpin pemerintahan sipil dan komite darurat di Gaza beserta keluarga mereka. Serangan itu mengakibatkan sekitar 430 orang tewas hanya pada hari pertama.

Sasaran serangan Israel mengindikasikan keinginan untuk menciptakan kekacauan di Jalur Gaza dengan menyingkirkan orang-orang yang bertanggung jawab atas pengelolaan kehidupan sipil selama masa gencatan senjata.

Ini disertai dengan memperketat tekanan terhadap penduduk melalui pembantaian massal, kebijakan kelaparan, penutupan perlintasan, dan pelarangan masuknya segala bentuk bantuan.

Semua ini bertujuan menciptakan kondisi yang memungkinkan terjadinya skenario pengusiran. Serta menekan kepemimpinan perlawanan agar menerima kesepakatan pertukaran tahanan tanpa mengakhiri perang.

Netanyahu menyadari bahwa rencana pengusiran menghadapi berbagai tantangan besar. Terutama keteguhan rakyat Palestina terhadap tanah mereka, penolakan kawasan regional terhadap pengusiran, dan sifat Trump yang mudah berubah, yang bisa saja menarik dukungannya kapan saja.

Oleh karena itu, Netanyahu juga mempertaruhkan tercapainya tujuan lain yang lebih kecil jika rencana pengusiran gagal. Seperti melucuti senjata Gaza dan mengasingkan para pemimpin dan kader faksi-faksi perlawanan dari wilayah tersebut.

Hal ini pernah disampaikan Netanyahu saat berpidato di depan Kongres Amerika tahun lalu.

“Perang di Gaza akan langsung berakhir jika Hamas menyerah, meletakkan senjata, dan mengembalikan para sandera,” katanya.

Rekayasa ulang kawasan

Netanyahu telah berulang kali menyatakan sejak dimulainya operasi “Thaufan Al-Aqsha”. Ia akan mengubah wajah kawasan dan merekayasa ulang Timur Tengah, sesuatu yang tidak mungkin terlaksana kecuali melalui perang dan pembantaian.

Sayap kanan Zionis berpendapat bahwa mereka telah memberikan pukulan berat kepada musuh-musuh Israel. Namun belum berhasil melenyapkan mereka sepenuhnya, yang memungkinkan musuh-musuh tersebut untuk bangkit kembali setelah menyerap serangan.

Oleh karena itu, obsesi mereka adalah “mematahkan tulang” musuh agar dapat menyingkirkan mereka secara permanen.

Hizbullah di Lebanon telah kehilangan sebagian besar pemimpinnya, banyak anggotanya, serta persenjataan mereka, selain juga terputusnya jalur suplai setelah jatuhnya rezim Assad di Suriah.

Serangan dan serbuan udara Israel terhadap anggota Hizbullah dan gudang senjata mereka terus berlanjut bahkan di wilayah di luar selatan Litani seperti Baalbek dan Lembah Bekaa.

Sementara itu, perlawanan Palestina di Gaza juga mengalami serangan berat dengan terbunuhnya banyak pemimpin mereka dan gugurnya sejumlah besar kader. Di saat warga Gaza sedang mengalami salah satu pembantaian massal terbesar di abad ke-21.

Di Suriah, Israel telah bekerja untuk menghancurkan sisa-sisa senjata berat militer Suriah seperti pesawat, tank, dan kapal, selain juga menghancurkan gudang senjata strategis.

Israel menduduki zona penyangga dan seluruh wilayah Gunung Al-Sheikh, serta melaksanakan operasi penggerebekan dan penggeledahan di selatan Suriah.

Hal ini mencapai puncaknya dengan pernyataan Menteri Pertahanan Israel, Katz, yang melarang keberadaan senjata berat di wilayah yang membentang dari selatan Damaskus hingga perbatasan Dataran Tinggi Golan dengan kedalaman 65 kilometer.

Ini berarti ibu kota Damaskus dilucuti dari pertahanan efektif dan menjadi target serangan Israel kapan saja dengan dalih menjaga keamanan Israel.

Adapun gerakan Ansarullah (Houthi) di Yaman, urusannya ditangani oleh pemerintahan Trump yang kembali memasukkannya ke dalam daftar organisasi teroris Amerika.

Selanjutnya, pemerintahan ini melancarkan operasi militer ofensif terhadap kelompok ini dengan pendekatan yang berbeda dari pemerintahan Biden sebelumnya. Mereka hanya melaksanakan operasi pertahanan terbatas yang menargetkan peluncur rudal, gudang drone, dan radar.

Tentara Amerika menambahkan ke dalam daftar target mereka rumah-rumah para pemimpin Houthi dan markas-markas di kawasan pemukiman, yang menyebabkan puluhan korban jiwa.

Serangan-serangan Amerika ini dilakukan secara pre-emptive (pendahuluan) sebagai respons terhadap ancaman Houthi. Ancaman itu untuk mencegah kapal-kapal Israel berlayar di Laut Merah hingga bantuan masuk ke Gaza. Serta ancaman untuk kembali meluncurkan rudal dan drone ke arah Israel jika perang di Gaza dilanjutkan.

Hal ini benar-benar terjadi pada 18 Maret lalu dengan diluncurkannya rudal dari Yaman ke pangkalan udara Nevatim di Negev.

Netanyahu bertujuan untuk mengamankan Israel dengan menyerang musuh-musuhnya di wilayah mereka sendiri, serta melancarkan serangan pre-emptive guna melenyapkan ancaman sebelum terbentuk dan berubah menjadi bahaya nyata.

Namun, Netanyahu menilai bahwa upaya-upaya tersebut saja tidak cukup. Oleh karena itu, dia mencari peluang untuk menyerang fasilitas nuklir Iran. Ia menganggap sebagai “hadiah utama” yang gagal ia raih karena penolakan Amerika di masa pemerintahan sebelumnya.

Pemerintahan Trump saat ini menempatkan opsi militer terhadap Iran di atas meja. Trump telah mengirim pesan kepada Teheran yang menawarkan negosiasi berdasarkan syarat Amerika, atau menghadapi tindakan militer.

Hal ini dilakukan setelah dimulainya penerapan kebijakan tekanan maksimum yang bertujuan untuk membatasi dan mengurangi ekspor minyak Iran hingga nol.

Negosiasi yang dimaksud di sini adalah perundingan atas kesepakatan menyeluruh yang tidak hanya terbatas pada program nuklir. Tetapi, juga mencakup program rudal Iran serta hubungan Iran dengan kelompok-kelompok sekutunya di kawasan.

Ini berarti negosiasi tentang porsi pengaruh regional Iran dan pelucutan alat-alat pertahanan utamanya, yang secara hakikat merupakan tawaran “penyerahan diri” guna menghindari perang.

Hal ini sangat sulit diterima oleh Teheran yang khawatir bahwa setelah kehilangan pengaruh dan alat kekuatannya, langkah selanjutnya adalah upaya untuk mengganti rezim pemerintahannya.

Apakah rencana Netanyahu akan berhasil?

Netanyahu tampak seperti seseorang yang berjalan di atas mata pedang, mengambil risiko besar yang dapat memicu ledakan di seluruh kawasan.

Memaksakan solusi eksistensial mendorong terjadinya reaksi keras dan tajam, dan Operasi “Thaufan Al-Aqsha” sendiri merupakan respons terhadap kebijakan Israel yang berupaya mencekik perjuangan Palestina. Hal ini bertepatan dengan gelombang normalisasi (hubungan diplomatik) yang dengan cepat berbenturan dengan kenyataan di lapangan.

Netanyahu bertempur di lebih dari satu front. Ia berupaya membentuk versi baru dari negara Israel, Versi yang menyingkirkan kelompok kiri dari lingkaran kekuasaan dan pengaruh, bahkan mencabut mereka dari benteng terakhir mereka di jajaran pimpinan militer, badan keamanan, dan peradilan.

Ia juga berusaha mengubah realitas di Gaza, Lebanon, dan selatan Suriah, pada saat yang sama mendapatkan perlindungan politik dan militer dari pemerintahan Trump.

Bahkan Amerika juga menangani langsung pihak-pihak yang jauh secara geografis seperti Houthi di Yaman, sementara eskalasi terhadap Iran mulai dilakukan secara bertahap.

Namun, semakin besar tekanan dan pelanggaran terhadap garis-garis merah, sering kali berujung pada reaksi sebaliknya yang justru membahayakan stabilitas internal dan sosial Israel.

Apalagi dengan adanya seruan untuk demonstrasi dalam beberapa hari mendatang menentang langkah pemecatan yang dilakukan Netanyahu.

Selain itu, Israel bisa terjebak dalam pusaran konflik dengan lingkungan Arab dan Islamnya yang akan menguras sumber dayanya dan membuatnya kehilangan rasa aman yang selama ini dicari.

Pada akhirnya, Israel akan berbenturan dengan elemen-elemen kokoh di Kawasan. Baik di Palestina, Lebanon, maupun Suriah, di tengah memburuknya hubungannya dengan Mesir dan Yordania. Kebijakan ini juga akan mendorong musuh-musuh Israel untuk bersatu melawannya.

Dukungan terbuka dari AS untuk menyelesaikan konflik ini bisa memicu pecahnya konflik yang lebih dahsyat, sesuatu yang tidak ingin dilibatkan langsung oleh Washington.

Pengalaman dari 2 perang besar di Irak dan Afghanistan telah membuktikan bahwa Amerika mampu meraih kemenangan militer di awal perang. Namun kemudian terjerumus ke dalam lumpur perang-perang yang menguras tenaga tanpa akhir.

Hal ini disampaikan dengan jelas oleh Paula Broadwell dalam bukunya tentang biografi Jenderal Petraeus, mantan kepala Komando Pusat AS, yang mengutip surat dari seorang tentara Amerika di Afghanistan kepada seorang anggota Kongres pada tahun 2010.

“Tidak ada bedanya apakah kita tetap di sini selama empat tahun atau 40 tahun, hasilnya akan tetap sama. Kita akan terus mengirim lebih banyak tentara Amerika menuju kematian, sementara rakyat Afghanistan bertempur tanpa menunggu kapan perang ini akan berakhir,” katanya.

Apa yang terjadi di Afghanistan adalah cerminan dari apa yang terus terjadi di Palestina sejak tahun 1948 hingga hari ini.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular