Menteri Israel sayap kanan kembali memicu ketegangan di Timur Tengah pada Rabu dengan menyerang pemerintah yang dipimpin oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Dia mengklaim Israel setuju gencatan senjata dengan Lebanon karena berada di bawah tekanan, selain karena gagal mengalahkan Hizbullah.
Dalam wawancaranya dengan surat kabar Israel, Maariv, Menteri Warisan Israel Amihai Eliyahu mengkritik ketentuan gencatan senjata dan ketergantungan Tel Aviv pada AS.
Eliyahu, anggota dari Partai Otzma Yehudit (Kekuatan Yahudi) sayap kanan yang dipimpin oleh Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir—yang merupakan satu-satunya anggota kabinet keamanan Israel yang menentang kesepakatan tersebut—menyebut kesepakatan dengan Lebanon sebagai “buruk.”
“Kesepakatan ini tidak mencakup banyak ketentuan yang kami bicarakan, seperti zona penyangga dan pelucutan senjata Hizbullah,” ujarnya.
Eliyahu menekankan, “Ini bukan kemenangan. Kemenangan berarti penaklukan, ini berarti tekanan.”
Mengenai peran AS dalam negosiasi, Eliyahu juga mengungkapkan kekecewaannya.
“Saya sadar ada tekanan dari pihak Amerika, saya berharap pemerintahan berikutnya (di bawah Donald Trump) akan lebih nyaman bagi kami untuk bertindak, dan saya sangat berharap jika ada pelanggaran, kami akan bisa bertindak.”
Dia juga mengkritik ketergantungan Israel pada dukungan AS, termasuk pasokan militer.
“Selama kami bergantung seperti ini dan amunisi kami datang dari sana, tangan dan kaki kami terikat,” ujarnya.
Kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Lebanon mulai berlaku beberapa jam setelah Presiden AS Joe Biden mengatakan proposal untuk mengakhiri konflik telah tercapai, dengan harapan gencatan senjata ini dapat menghentikan serangan udara Israel ke kota-kota Lebanon dan mengakhiri pertempuran lintas perbatasan yang telah berlangsung setahun.
Menurut ketentuan gencatan senjata, Israel akan menarik pasukannya ke selatan Garis Biru secara bertahap, sementara tentara Lebanon akan mengerahkan pasukannya di Lebanon selatan dalam waktu yang tidak melebihi 60 hari.
Pelaksanaan kesepakatan ini akan diawasi oleh AS dan Prancis. Namun, mekanisme penegakan kesepakatan masih belum jelas.
Lebih dari 3.800 orang tewas akibat serangan Israel di Lebanon dan lebih dari 1 juta orang mengungsi sejak Oktober lalu, menurut otoritas kesehatan Lebanon.