Saturday, May 17, 2025
HomeBeritaMicrosoft akui sediakan layanan AI untuk militer Israel

Microsoft akui sediakan layanan AI untuk militer Israel

Perusahaan teknologi asal Amerika Serikat (AS), Microsoft, mengakui bahwa pihaknya telah menyediakan layanan kecerdasan buatan (AI) dan komputasi awan kepada militer Israel selama agresi militer ke Gaza.

Pengakuan tersebut disampaikan dalam sebuah unggahan blog resmi pada Kamis (16/5/2025), yang juga menyebut bahwa Microsoft terlibat dalam upaya pencarian dan penyelamatan sandera warga Israel.

Namun, perusahaan menegaskan belum menemukan bukti bahwa teknologi tersebut digunakan untuk menyerang atau melukai warga Palestina.

Pernyataan tersebut menandai pengakuan publik pertama dari Microsoft terkait keterlibatan mendalamnya dalam konflik yang dimulai sejak Oktober 2023, yang telah menewaskan puluhan ribu warga Palestina di Jalur Gaza.

Pernyataan itu dirilis hampir tiga bulan setelah laporan investigasi Associated Press (AP) mengungkap detail kemitraan erat Microsoft dengan Kementerian Pertahanan Israel.

Termasuk lonjakan penggunaan produk AI komersial oleh militer Israel hingga hampir 200 kali lipat pasca-7 Oktober 2023.

Dalam laporannya, AP menyebut militer Israel menggunakan platform cloud Azure untuk mentranskripsi, menerjemahkan, dan memproses intelijen hasil pengawasan massal.

Hasil itu kemudian dapat dikaitkan dengan sistem penargetan militer berbasis AI milik Israel.

Kemitraan tersebut mencerminkan tren global di mana perusahaan teknologi, termasuk di AS dan Eropa, semakin gencar memasarkan produk AI untuk kebutuhan militer.

Namun, berbagai organisasi hak asasi manusia menyampaikan kekhawatiran bahwa sistem AI yang rawan kesalahan ini digunakan dalam pengambilan keputusan terkait penargetan militer, yang berpotensi menyebabkan jatuhnya korban sipil.

Pertanyaan yang belum terjawab

Dalam pernyataannya, Microsoft menyebut kekhawatiran karyawan serta pemberitaan media telah mendorong perusahaan melakukan tinjauan internal dan menunjuk firma independen untuk melakukan “pengumpulan fakta tambahan.”

Namun, Microsoft tidak menyebutkan nama firma tersebut maupun membagikan isi laporan hasil investigasi.

Microsoft juga tidak menjawab sejumlah pertanyaan krusial mengenai bagaimana teknologi mereka digunakan oleh militer Israel.

Perusahaan bahkan menolak menjawab pertanyaan tertulis dari AP mengenai peran teknologi AI dalam menerjemahkan, memilah, dan menganalisis intelijen yang digunakan untuk menentukan sasaran serangan udara.

Disebutkan bahwa Microsoft memberikan perangkat lunak, layanan profesional, penyimpanan cloud Azure, serta layanan AI seperti penerjemahan bahasa kepada militer Israel.

Selain itu, perusahaan juga menyatakan telah memberi “akses khusus terhadap teknologi kami melebihi ketentuan kontrak komersial”.

Selain itu mereka juga memberikan “dukungan darurat terbatas” dalam rangka membantu penyelamatan lebih dari 250 sandera yang ditahan Hamas sejak 7 Oktober.

“Kami memberikan bantuan ini dengan pengawasan ketat dan secara terbatas, termasuk menyetujui beberapa permintaan serta menolak lainnya. Kami percaya perusahaan telah bertindak sesuai prinsip kami secara hati-hati dan mempertimbangkan, untuk menyelamatkan nyawa para sandera sambil tetap menghormati privasi serta hak-hak sipil warga Gaza,” tulis Microsoft.

Namun demikian, perusahaan tidak menjawab apakah mereka atau pihak independen yang ditunjuk telah berkomunikasi langsung dengan militer Israel dalam proses investigasi internal tersebut.

Mereka juga tidak menjelaskan lebih jauh mengenai bentuk bantuan khusus yang diberikan, maupun langkah-langkah konkret untuk melindungi privasi dan hak warga Palestina.

Microsoft juga mengakui bahwa mereka tidak memiliki visibilitas atas bagaimana pelanggan menggunakan perangkat lunaknya di server atau perangkat lain yang dikelola secara mandiri.

Selain itu, perusahaan juga tidak dapat memantau apabila teknologinya digunakan lewat penyedia cloud komersial lainnya.

Selain Microsoft, diketahui militer Israel juga memiliki kontrak layanan cloud dan AI dengan sejumlah raksasa teknologi lain seperti Google, Amazon, dan Palantir.

Dalam pernyataannya, Microsoft menegaskan bahwa militer Israel—seperti pelanggan lainnya—terikat pada Acceptable Use Policy dan AI Code of Conduct perusahaan, yang melarang penggunaan produk untuk tujuan yang melanggar hukum atau merugikan.

Microsoft menambahkan bahwa sejauh ini mereka tidak menemukan bukti pelanggaran oleh pihak Israel terhadap kebijakan tersebut.

Tekanan untuk publikasikan laporan lengkap

Kelompok No Azure for Apartheid, yang terdiri atas karyawan aktif maupun mantan karyawan Microsoft, menyerukan agar perusahaan mempublikasikan seluruh hasil laporan investigasi.

“Sangat jelas bahwa pernyataan ini bukan ditujukan untuk merespons kekhawatiran para pekerja, melainkan hanya sebagai langkah pencitraan demi memulihkan reputasi yang tercoreng akibat kerja sama dengan militer Israel,” ujar Hossam Nasr, mantan karyawan Microsoft yang dipecat pada Oktober lalu usai menginisiasi aksi mengenang korban warga Palestina di kantor pusat perusahaan.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Electronic Frontier Foundation, Cindy Cohn, menyambut baik langkah awal transparansi ini, namun menilai masih banyak pertanyaan yang belum terjawab.

“Saya senang ada sedikit transparansi,” ujarnya. “Namun sulit untuk menyelaraskan pernyataan ini dengan kenyataan di lapangan.”

Emelia Probasco, peneliti senior di Center for Security and Emerging Technology, Universitas Georgetown, mengatakan bahwa pernyataan Microsoft ini menunjukkan dinamika baru dalam relasi antara perusahaan dan negara.

“Ini seperti produsen tank yang memberi syarat kepada negara pembeli untuk hanya menggunakan tank-nya dalam konteks tertentu. Ini dunia yang baru,” ujarnya.

Dalam sejumlah operasi penyelamatan sandera yang digelar Israel, diketahui terjadi korban sipil dalam jumlah besar.

Operasi militer di Rafah pada Februari 2024 yang membebaskan dua sandera menewaskan sedikitnya 60 warga Palestina.

Sementara dalam penggerebekan di kamp pengungsi Nuseirat pada Juni 2024, empat sandera dibebaskan, namun setidaknya 274 warga Palestina tewas.

Secara keseluruhan, invasi darat dan kampanye pengeboman Israel di Gaza dan Lebanon sejak Oktober 2023 telah menewaskan lebih dari 50.000 orang, mayoritas perempuan dan anak-anak.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular