Wednesday, May 21, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI - 77 tahun Nakba: Palestina masih berdarah, dunia masih diam

OPINI – 77 tahun Nakba: Palestina masih berdarah, dunia masih diam

Oleh: Dr. Muhammad al-Hindi

Pada peringatan ke-77 Nakba—bencana kemanusiaan yang menandai pengusiran besar-besaran rakyat Palestina tahun 1948—Gaza hari ini telah menjelma menjadi tolok ukur sejati bagi nilai-nilai Arabisme, Islam, dan kemanusiaan universal.

Berbicara tentang konflik Palestina bukanlah semata-mata membahas perjuangan kemerdekaan sebuah bangsa yang terjajah.

Ini adalah konflik yang merefleksikan pertarungan peradaban antara Timur dan Barat, antara proyek penjajahan modern dan perjuangan mempertahankan identitas serta kedaulatan kawasan.

Israel, dalam kerangka ini, bukan hanya entitas politik, tetapi juga lengan panjang Barat sekaligus pangkalan strategisnya di jantung Timur Islam.

Sebaliknya, Palestina tak hanya simbol perjuangan rakyat yang kehilangan tanah, tetapi juga representasi peradaban Islam dan dunia Arab dalam pertarungannya mempertahankan eksistensi, sejarah, dan hak atas masa depan.

Jika kita amati relasi Israel dengan kelompok minoritas dan rezim otoriter di kawasan, serta peran lobi-lobinya di Barat yang menekan dan menggagalkan berbagai inisiatif kebangkitan dunia Arab dan Islam, maka menjadi jelas bahwa konflik ini bersifat sistemik dan saling terkait.

Palestina berada di garis depan perlawanan, namun “parit-parit” di belakang sering kali lebih menentukan dalam mendukung atau menghancurkan perlawanan itu.

Hubungan antara berbagai medan konflik ini bersifat dialektis. Keteguhan rakyat Palestina, setiap keberhasilan mereka melawan pendudukan Zionis, memberi harapan baru bagi dunia Arab dan Islam.

Sebaliknya, setiap kemajuan dan kemandirian yang diraih negara-negara Arab atau Muslim akan memperkuat posisi Palestina.

Hal itu yang terus-menerus menjadi sasaran upaya pelemahan oleh Israel, termasuk terhadap negara-negara yang telah menormalisasi hubungan dengannya.

Oleh karena itu, jika kita menginginkan kebangkitan dunia Arab dan kemerdekaan Palestina, maka kita harus membaca dengan cermat perubahan besar yang sedang melanda kawasan dan dunia.

Kita dihadapkan pada dinamika baru dan konflik berkepanjangan yang menuntut kesiapan structural, baik di tingkat negara maupun masyarakat sipil.

Tak lagi dapat diterima, setelah berbagai pengalaman pahit yang telah dilalui, bahwa rezim-rezim Arab masih tunduk sepenuhnya pada perintah kekuatan Barat, khususnya Amerika Serikat (AS).

Bila pada 1970-an sempat dikatakan bahwa 99 persen kartu permainan berada di tangan Amerika, maka bagaimana mungkin kini, setelah lebih dari setengah abad, negara-negara Arab justru menyerahkan seluruh kehendaknya kepada Washington?

Palestina memiliki posisi yang tak tergantikan—baik secara religius, historis, maupun geografis—di jantung dunia Arab, dan karenanya di pusat dunia Islam.

Wilayah ini telah lama menjadi panggung pertarungan terbuka antara dunia Timur dan kekuatan kolonial Barat.

Dalam sejarah modern, konflik ini mengambil bentuk nyata melalui berdirinya negara Israel: proyek kolonialisme Barat dalam rupa baru.

Hilangnya Palestina dan berdirinya negara Zionis pada tahun 1948 merupakan buah langsung dari runtuhnya Khilafah Utsmaniyah dan kehancuran sistem politik Islam pasca-Perang Dunia I. Tragedi itu sekaligus menjadi permulaan babak baru dominasi kolonial modern.

Konflik Palestina, dengan seluruh dimensi akidah, budaya, sejarah, politik, ekonomi, dan militernya, merupakan miniatur dari benturan besar antara umat Islam dan hegemoni peradaban Barat.

Ia menjadi cermin sekaligus ujian bagi semua pihak yang terlibat, dan membongkar kepalsuan narasi yang ingin memisahkan Palestina dari akar Arab dan Islamnya.

Nakba 1948 adalah titik balik yang membekas dalam sejarah umat. Israel berdiri di atas reruntuhan Palestina Arab.

Peristiwa-peristiwa berikutnya—perang, perundingan, gencatan senjata, hingga perjanjian damai seperti Camp David, Oslo, Wadi Araba, hingga Abraham Accords—tak lain adalah kelanjutan dari perang tersebut.

Memahami mengapa bencana 1948 bisa terjadi dan kenapa perlawanan Arab waktu itu gagal adalah langkah penting untuk memahami tantangan hari ini.

Secara formal, negara-negara Arab memperoleh kemerdekaan pasca-Perang Dunia II, tetapi dalam batas wilayah yang ditentukan penjajah, dan melalui skenario penuh kontradiksi yang disengaja untuk kepentingan kolonialisme.

Elit politik yang muncul pasca-kemerdekaan justru membawa kepentingan sektoral negara masing-masing, dan mengganti semangat Arabisme menjadi slogan kosong di panggung pidato, bukan sebagai gerakan kolektif untuk menantang status quo.

Ketika perang 1948 meletus, negara-negara Arab terjun dengan pertimbangan sempit. Tak ada strategi regional, tak ada koordinasi militer terpadu.

Total pasukan gabungan Arab bahkan tidak mencapai 15.000 orang—bandingkan dengan 75.000 tentara Zionis yang memiliki strategi, tujuan, kepemimpinan politik, dan dukungan internasional.

Dalam segala hal, negara-negara pascakolonial itu gagal: para pemimpinnya gagal membaca zaman, para intelektualnya kalah dalam pertarungan ide, dan umatnya kehilangan arah dalam menghadapi tantangan pasca-Perang Dunia I.

Kini, setelah 77 tahun sejak Nakba, apa yang disebut sistem Arab bahkan lebih lemah dan tak berdaya.

Mereka bahkan tak mampu mengirim setetes air atau sepotong roti untuk rakyat Gaza yang tengah dihantam bencana kemanusiaan baru yang dilakukan Israel, di depan mata dunia.

Pernyataan-pernyataan dari KTT Arab jauh lebih lemah daripada slogan-slogan lama tentang “umat yang satu” dan “pembebasan Palestina” yang pernah dilontarkan pasca-1948.

Penyerahan total kepada kebijakan AS, yang melindungi dan mempersenjatai Israel, mengingatkan kita pada nasib rakyat Palestina sebelum Nakba: diminta tenang dengan janji-janji manis “teman” dari London.

Hari ini, ketundukan kepada arahan Washington, ketakutan terhadap Israel, perlombaan sebagian negara untuk normalisasi, dan diamnya mereka terhadap genosida, pengusiran paksa, dan kelaparan di Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem, hanya mengabarkan kejatuhan memalukan para penguasa yang diam, membenarkan, atau bahkan mendukung kejahatan pendudukan. Seperti kejatuhan mereka yang pernah mengantarkan kita ke Nakba pertama.

Dan Allah Maha Berkuasa atas urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.

*Dr. Muhammad al-Hindi adalah wakil Sekretaris Jenderal Gerakan Jihad Islam. Tulisan ini diambil dari Aljazeera.net dengan judul “Fī Dzikra al-Nakbah, Gazah Miqyās al-Urūbat wa al-Islām wa al-Insāniyyah”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular