Thursday, June 26, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI - Akankah gencatan senjata yang rapuh antara Israel dan Iran bertahan?

OPINI – Akankah gencatan senjata yang rapuh antara Israel dan Iran bertahan?

Oleh: Mahmoud Sultan*

Hanya beberapa jam setelah serangan Iran terhadap Pangkalan Al-Udeid di Qatar, dunia dikejutkan oleh pengumuman dramatis dan tak terduga dari Donald Trump.

Presiden Amerika Serikat (AS) itu menyampaikan bahwa Israel dan Iran telah menyepakati penghentian perang dan bahwa gencatan senjata akan segera berlaku.

Dalam sebuah pernyataan emosional yang jarang terdengar darinya, Trump memanjatkan doa agar “Tuhan melindungi Tel Aviv dan Teheran”.

Iran meluncurkan 19 rudal ke arah Pangkalan Al-Udeid pada Senin malam, 23 Juni. Serangan ini disebut sebagai balasan atas aksi AS yang membombardir tiga fasilitas nuklir Iran pada Sabtu sebelumnya.

Langkah Washington ini terjadi setelah beberapa hari ketidakpastian mengenai apakah AS akan turut terlibat dalam aksi militer Israel terhadap Iran, yang dimulai pada 13 Juni.

Serangan terhadap pangkalan yang menjadi tulang punggung kehadiran militer Amerika di Teluk itu mendapat kecaman keras dari Qatar.

Pemerintah Doha menyesalkan eskalasi berbahaya ini dan menyuarakan keprihatinan yang luas dari dunia Arab dan internasional atas ancaman yang ditimbulkannya terhadap stabilitas kawasan.

Presiden Iran Masoud Pezeshkian kemudian melakukan pembicaraan via telepon dengan Emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad Al-Thani.

Ia menyampaikan penyesalannya atas serangan tersebut, dan menegaskan bahwa serangan itu tidak ditujukan kepada Qatar atau rakyatnya. Demikian menurut pernyataan dari Diwan Amiri.

Namun, Qatar tak melunak. Dalam percakapan itu, Emir Tamim kembali menegaskan bahwa serangan tersebut adalah pelanggaran terhadap kedaulatan dan wilayah udara negaranya, serta bertentangan dengan hukum internasional dan Piagam PBB.

Ia juga menyoroti bahwa tindakan Iran tidak selaras dengan prinsip bertetangga baik, apalagi mengingat hubungan historis yang dekat antara kedua negara.

Qatar pun mengingatkan bahwa mereka selama ini aktif mendorong dialog dan diplomasi dengan Iran.

Di tengah suasana yang mencekam dan penuh ketidakpastian, Trump tampil percaya diri. Ia menyampaikan selamat kepada kedua negara karena “memiliki keberanian, ketahanan, dan kecerdasan” untuk mengakhiri apa yang ia sebut sebagai “Perang 12 Hari”.

Dalam unggahannya di Truth Social, Trump seolah mengunci pintu konflik itu dan menyimpan kuncinya untuk dirinya sendiri.

Israel dan Iran menyatakan kesediaannya untuk menghormati gencatan senjata, meski keduanya tetap menegaskan bahwa mereka akan merespons keras jika perjanjian itu dilanggar.

Namun, apakah gencatan senjata ini akan bertahan lama atau hanya jeda sebelum babak baru pertikaian, masih menjadi pertanyaan besar.

Hingga kini, belum ada rincian resmi dari Washington, Teheran, maupun Tel Aviv mengenai isi kesepakatan tersebut.

Kendati demikian, kantor berita Associated Press mengutip sejumlah pejabat yang menyebut bahwa Israel akan menyambut baik jika Iran bersedia menghentikan pertempuran dan kembali ke meja perundingan dengan Amerika terkait program nuklirnya.

Meski begitu, Israel juga siap menghadapi alternatif lainnya: konflik berkepanjangan dengan intensitas rendah, atau masa “tenang dibalas tenang”, sembari terus memantau gerak-gerik Iran dan melakukan serangan balasan jika muncul ancaman baru.

Dengan kata lain, kesepakatan itu terjalin tanpa rincian mendalam, seolah menjadi jalan pintas bagi ketiga pihak untuk keluar dari krisis dengan tetap menjaga gengsi masing-masing.

Kini, mereka tampaknya ingin menutup bab perang dan membuka lembaran baru yang lebih damai.

Sebab, keduanya—baik Israel maupun Iran—telah menguras sumber daya dan menghadapi risiko keruntuhan jika perang berlanjut tanpa batas waktu.

Yang juga tak kalah penting, perang ini tidak memberikan kemenangan mutlak bagi Israel, dan Iran pun tidak mengalami kekalahan telak.

Dalam posisi yang relatif setara ini, Teheran yang terluka tampaknya tak merasa kehilangan muka jika memilih mengakhiri konflik. Inilah yang memberi ruang bagi gencatan senjata.

Namun, satu hal yang tetap menggantung: substansi utama dari perselisihan ini—yakni program nuklir Iran—tidak disentuh dalam kesepakatan gencatan senjata ini.

Tidak ada pembicaraan tentang langkah-langkah teknis, pengawasan, atau kesepakatan jangka panjang.

Padahal, sejumlah laporan intelijen menyebutkan bahwa Iran masih menyimpan cadangan uranium yang sangat diperkaya, memberi mereka kemampuan untuk memproduksi senjata nuklir kapan saja.

Bahkan, tak sedikit yang menduga senjata itu mungkin sudah dimiliki secara diam-diam, meski sebagian fasilitas nuklir Iran dilaporkan mengalami kerusakan akibat serangan terbaru.

Belum lama setelah gencatan senjata diumumkan, Menteri Pertahanan Israel menuding Iran telah kembali meluncurkan serangan roket.

Ia pun memerintahkan respons militer dari pihak Israel. Namun, pernyataan yang diunggah di kanal Telegram milik televisi resmi Iran membantah bahwa ada perintah peluncuran dari pemerintah Iran.

Perkembangan ini kian menguatkan pandangan umum para pengamat: bahwa kesepakatan gencatan senjata, betapapun dirayakan secara politik, tetaplah rapuh apabila tak dilandasi syarat-syarat yang telah dipelajari dalam studi-studi perang modern.

Dua syarat paling menentukan agar perdamaian bertahan adalah: kekalahan total salah satu pihak atau keberadaan sistem saling menahan (mutual deterrence) yang seimbang.

Dalam situasi di mana masing-masing pihak menyadari bahwa biaya serangan balasan akan jauh lebih besar daripada keuntungan dari agresi militer, kedamaian cenderung lebih bertahan lama. Demikian tulis Ali Al-Amouri dalam analisisnya di laman The Conversation.

Gencatan senjata yang stabil, tambahnya, biasanya memerlukan persiapan intensif dan koordinasi menyeluruh.

Semua pihak harus memahami skenario yang telah disepakati, terutama soal waktu dan tata cara pelaksanaannya. Tanpa persiapan seperti itu—atau bahkan meski dengan persiapan sekalipun—gencatan senjata mudah dilanggar.

Pelanggaran bisa terjadi karena salah paham, kurangnya kendali komando atas unit-unit militer di lapangan, informasi palsu, atau bahkan ulah pihak ketiga seperti milisi atau kelompok bersenjata non-negara.

Maka, pertanyaan krusial pun mengemuka: apakah pelanggaran ini sekadar insiden tak disengaja yang disesalkan semua pihak, ataukah justru tindakan yang disengaja, sistematis, dan dilakukan dengan perhitungan tertentu?

Apa pun penyebabnya, satu hal tetap berlaku: gencatan senjata memerlukan penguatan politik yang terus-menerus.

Harus ada kesepakatan yang jelas mengenai mekanisme pengawasan dan pemantauan, agar tak ada pihak yang bisa mencuri keuntungan strategis dengan memecah kesepakatan secara tiba-tiba.

Hal ini ditekankan oleh analis militer sekaligus dosen di King’s College London, Michael Clarke.

Dalam kerangka inilah, perang yang sempat berlangsung selama hampir dua pekan itu tampaknya telah mengubah cara pandang Iran dan Israel terhadap konsep pertahanan dan strategi penangkalan.

Bagi Iran, konflik ini menjadi pengingat brutal bahwa eksistensinya sedang dipertaruhkan.

Wacana penggulingan rezim yang muncul selama masa perang mendorong para pemimpinnya untuk semakin yakin bahwa penangkalan sejati harus ditopang oleh 2 pilar.

Yaitu kemampuan nyata untuk mengembangkan senjata nuklir dan penguatan aliansi strategis dengan kekuatan besar seperti China dan Rusia.

Konsekuensinya, Iran diperkirakan akan mempercepat pemulihan dan pengembangan program nuklirnya.

Bahkan, Teheran bisa saja mulai melangkah ke arah kepemilikan senjata nuklir secara faktual—langkah yang sebelumnya selalu dihindari secara resmi.

Sebagai bagian dari langkah ini pula, Iran diyakini akan meningkatkan kerja sama ekonomi dan militer dengan Beijing dan Moskow, guna mengantisipasi isolasi politik di kancah internasional.

Dalam kunjungannya ke Moskow pekan ini, Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi menegaskan kembali kedekatan strategis negaranya dengan Rusia, terutama dalam isu-isu yang menyangkut energi nuklir.

Di sisi lain, Israel menafsirkan konsep penangkalan sebagai kesiapsiagaan permanen dan ancaman serius terhadap musuhnya.

Tanpa terobosan diplomatik, Tel Aviv kemungkinan akan menerapkan kebijakan serangan pre-emptive terhadap fasilitas strategis Iran atau tokoh-tokoh penting, apabila ada tanda-tanda peningkatan eskalasi—terutama terkait program nuklir Iran.

Dengan demikian, penangkalan timbal balik mungkin bisa mencegah meletusnya perang terbuka dalam waktu dekat.

Namun, keseimbangan ini tetaplah rapuh, dan dapat runtuh sewaktu-waktu tanpa peringatan.

Seperti disimpulkan dalam laporan The Conversation, stabilitas saat ini lebih menyerupai jeda penuh ketegangan, ketimbang damai yang berjangka panjang.

*Mahmoud Sultan adalah seorang penulis dan jurnalis Mesir. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Hal Yashmud Waqf Iṭhlāq al-Nār al-Hassy Baina Isrāīl wa Īrān?”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular