Oleh: Nadim Shaner
Dalam tulisan sebelumnya di Al Jazeera Net, saya menyoroti adanya irisan kepentingan antara Israel dan Turki dalam konteks konflik Suriah, serta sejumlah skenario buruk yang mungkin terjadi.
Saat itu, saya menulis:
“Israel tidak mengubah strateginya dalam menggunakan pengaruh terhadap pemerintahan AS, atau memanfaatkan cabang organisasi teroris PKK di Suriah sebagai alat untuk menjalankan kebijakan-kebijakannya. Berbagai aksi sabotase dan pembunuhan yang mungkin mereka lakukan demi mengganti pemerintahan Suriah di bawah Ahmad al-Shara, hingga provokasi dengan menggunakan PKK yang disebut-sebut akan segera membubarkan diri, bukanlah hal yang mengejutkan. Segalanya bisa berubah, kecuali Israel—yang kehadirannya dibangun di atas dasar pendudukan dan kekerasan—tidak pernah berubah.”
Saya tidak mengira prediksi itu akan terwujud secepat ini. Namun kenyataannya, tidak perlu menjadi seorang peramal untuk bisa menebak langkah-langkah Israel. Cukup dengan mengamatinya secara seksama, segalanya menjadi jelas.
Akhir pekan lalu, Israel kembali melakukan provokasi. Kabar pertama datang dari media Israel, tepatnya dari situs Ynet, yang mengungkap bahwa pejabat keamanan Amerika telah memberi tahu rekan-rekan mereka di Israel mengenai rencana AS untuk menarik pasukannya dari Suriah secara bertahap dalam waktu 2 bulan.
Meski Pemerintah Israel telah melakukan berbagai upaya diplomatik untuk mencegah keputusan itu, hasilnya nihil.
Menurut laporan yang sama, kalangan keamanan Israel masih terus melakukan tekanan terhadap pemerintahan di Washington.
Tak lama kemudian, The New York Times menerbitkan laporan yang mengonfirmasi bahwa AS memang telah memulai proses penarikan pasukan.
Dari sekitar 2.000 tentara, jumlahnya akan dikurangi menjadi 1.400. Tiga dari delapan pangkalan militer AS di Suriah dijadwalkan akan ditutup, dan penilaian ulang akan dilakukan untuk menentukan kemungkinan pengurangan lebih lanjut.
Kendati demikian, para pejabat Pentagon merekomendasikan agar paling tidak 500 tentara tetap ditempatkan di Suriah.
Di tengah dinamika ini, Kementerian Luar Negeri AS mengeluarkan pernyataan tak lazim pada 18 April lalu.
Mereka memperingatkan kemungkinan terjadinya serangan di Damaskus. Mengutip informasi intelijen yang kredibel, pemerintah AS menyebut bahwa serangan bisa terjadi kapan saja, bahkan di lokasi-lokasi yang sering dikunjungi wisatawan.
Kementerian memperkirakan bahwa potensi serangan bisa menyasar kegiatan publik, hotel, restoran, tempat ibadah, sekolah, taman, pusat perbelanjaan, sistem transportasi umum, serta tempat-tempat ramai lainnya—dan semuanya bisa terjadi tanpa peringatan.
Banyak pihak pun langsung mengaitkan ancaman tersebut dengan kemungkinan keterlibatan Israel.
Tampaknya, provokasi semacam ini menjadi bagian dari upaya Israel untuk menggagalkan penarikan pasukan AS dari Suriah.
Pesan-pesan yang disampaikan, meski diarahkan ke Damaskus, sejatinya juga ditujukan kepada Turki dan Presiden Donald Trump—yang sebelumnya menolak tuntutan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, saat kunjungannya ke Washington.
Netanyahu tampaknya melihat potensi serangan ini sebagai peluang untuk menarik Turki ke dalam konflik, yang dapat memicu pembatalan keputusan penarikan pasukan AS. Karenanya, provokasi ini diyakini telah dirancang dengan cermat.
Trump sendiri menunjukkan sikap yang mengejutkan Netanyahu dalam pernyataannya mengenai Suriah.
“Saya punya hubungan luar biasa dengan seseorang bernama Erdogan. Pernah dengar namanya? Saya menyukainya, dan dia menyukai saya. Saya tahu media akan marah dan bilang ‘Trump suka Erdogan!’ Tapi saya menyukainya, dan dia juga menyukai saya. Kami tidak pernah punya masalah. Banyak pengalaman kami bersama, tapi tidak pernah ada masalah,” katanya.
Trump bahkan mengisahkan percakapannya dengan Erdogan.
“Saya mengucapkan selamat kepadanya dan berkata bahwa dia telah melakukan hal yang tidak pernah dicapai siapa pun dalam dua ribu tahun. Saya bilang: ‘Kau telah mengambil Suriah’. Dia membalas: ‘Bukan saya.’ Saya bilang: ‘Tidak apa-apa, anggap saja itu kamu’. Dan dia menjawab: ‘Mungkin, dengan caraku sendiri’,” tuturnya.
Trump kemudian menambahkan:
“Lihatlah, dia orang yang keras, cerdas. Dia melakukan sesuatu yang tak bisa dilakukan orang lain, dan kita harus mengakuinya.”
Kepada Netanyahu, Trump pun berkata:
“Saya pikir saya bisa menyelesaikan persoalan antara kamu dan Turki, selama kamu bisa bersikap masuk akal. Kita semua harus bersikap masuk akal.”
Setelah pernyataan tersebut, media Israel ramai mengkritik ketidakmampuan Israel dalam memaksimalkan pengaruhnya terhadap Washington.
Namun, kekuatan Israel tak hanya terletak pada keberadaan militer AS di kawasan. Jaringan intelijen luas yang dijalankan oleh Mossad di seluruh Timur Tengah memberi mereka kapasitas besar untuk menciptakan kekacauan.
Kekuatan ini mencakup perekrutan agen, penggunaan teknik perang asimetris, pelaksanaan pembunuhan terarah, hingga kampanye propaganda.
Di sisi lain, keberadaan armada militer AS di Mediterania dan pangkalan militer di kawasan tetap siaga menghadapi segala ancaman terhadap Israel—memberi rasa aman yang memungkinkan negara itu melanjutkan provokasi, termasuk serangan terhadap Damaskus.
Selama ini, Israel terus menjalankan operasi militernya di Gaza, menduduki zona penyangga di sekitar Dataran Tinggi Golan, serta wilayah-wilayah di Lebanon dan Suriah.
Kendati demikian, Presiden Trump tetap bersikukuh pada keputusannya untuk menarik pasukan AS dari Suriah.
Pengumuman Kementerian Luar Negeri AS mengenai kemungkinan serangan terhadap Damaskus memperlihatkan dengan gamblang adanya ketegangan yang terus tumbuh antara Washington dan Tel Aviv.
Bersamaan dengan itu, pada hari yang sama, 18 April, Departemen Pertahanan AS juga merilis pernyataan resmi yang menunjukkan ketidaksediaan untuk tunduk pada tekanan Israel. Pentagon menegaskan rencana pengurangan pasukan AS di Suriah hingga di bawah 1.000 personel.
Dalam pernyataan tersebut, Pentagon menyebut:
“Dengan melihat keberhasilan yang telah dicapai dalam melawan ISIS, termasuk kehilangan kendali wilayah mereka selama masa pemerintahan Presiden Trump pada 2019, Menteri Pertahanan telah menginstruksikan pemusatan kembali pasukan dalam kerangka Operasi Inherent Resolve. Ini mencerminkan kemajuan signifikan dalam menekan kemampuan ISIS baik secara regional maupun global. Proses ini akan berlangsung secara bertahap dan berbasis kondisi di lapangan, dan diperkirakan akan mengurangi jumlah pasukan AS di Suriah menjadi sekitar 1.000 dalam beberapa bulan ke depan. Pada saat yang sama, Komando Pusat AS akan terus melakukan serangan udara terhadap sisa-sisa ISIS, serta memperkuat koordinasi dengan mitra-mitra koalisi yang bersedia dan mampu menekan ancaman terorisme yang baru.”
Akankah Trump berhasil menarik pasukannya dari Suriah?
Pada kenyataannya, Trump telah dua kali—pada 2018 dan 2019—mengumumkan rencana serupa.
Namun tidak pernah terealisasi. Bahkan pada 2020, James Jeffrey, yang kala itu menjabat sebagai utusan khusus AS untuk Suriah, secara terang-terangan mengakui bahwa pihaknya sengaja menyamarkan jumlah pasukan yang sebenarnya kepada Presiden.
“Kami selalu memainkan trik untuk menipu pimpinan Amerika soal jumlah tentara kami di sana. Faktanya, jumlah mereka jauh lebih besar daripada angka yang dijanjikan kepada Trump, yakni hanya 200 tentara,” ujar Jeffrey dalam wawancara dengan situs Defence One.
Ia menambahkan bahwa Trump cenderung ingin menarik pasukan setelah ISIS dikalahkan. Maka, setiap kali kami harus menyiapkan lima alasan baru yang lebih meyakinkan untuk tetap bertahan di sana. Dan kami berhasil dua kali. Itulah ceritanya.”
Pernyataan James Jeffrey seakan mempertegas pandangan bahwa di AS, seseorang memang bisa terpilih menjadi presiden, tetapi belum tentu benar-benar dapat memerintah.
Memiliki kekuasaan tidak selalu berarti bisa menggunakannya, dan kadang hanya sebatas merasa sedang menggunakannya.
Saat ini, Israel menjadi penghalang utama bagi keputusan Amerika untuk menarik diri dari Suriah, sementara Turki tampaknya menjadi satu-satunya kekuatan yang punya kapasitas untuk mewujudkan penarikan tersebut.
Sebagai bagian dari proyek besar yang telah digagas sejak lebih dari 150 tahun lalu demi menggapai impian “Tanah yang Dijanjikan”, Israel tidak akan mudah melepas pengaruhnya di Suriah.
Meskipun jumlah pasukan AS mungkin akan dikurangi, kehadiran militer Amerika tidak akan sepenuhnya diakhiri. Sebab, kehadiran itu membuka ruang bagi AS—dan pada gilirannya, bagi Israel—untuk tetap bisa campur tangan kapan pun diperlukan.
Fakta bahwa ribuan truk pengangkut senjata dan amunisi telah dikirim AS kepada milisi PKK, PYD, dan YPG sejak 2013 menunjukkan kelanjutan dukungan militer secara tidak langsung kepada kekuatan yang dituduh sebagai perpanjangan tangan kelompok teror di kawasan.
Selama Israel tetap konsisten dengan strategi pendudukan, maka tekanannya terhadap Amerika juga akan terus berlangsung.
Ini diperkuat oleh pengaruh mendalam Israel dalam struktur kekuasaan di AS—termasuk di bidang politik, intelijen (CIA), pertahanan (Pentagon), media, seni, dan bahkan organisasi masyarakat sipil.
Bukti konkret dari pengaruh tersebut muncul lewat bocoran rekaman dari konferensi tertutup AIPAC pada tahun 2025 yang diungkap oleh platform The Grayzone.
Dalam rekaman itu, Direktur Eksekutif AIPAC, Elliott Brandt, menyombongkan pengaruh lembaganya terhadap tokoh-tokoh penting seperti mantan Direktur CIA John Ratcliffe, Menteri Luar Negeri Marco Rubio, dan Penasihat Keamanan Nasional Mike Waltz.
Dalam pernyataannya, Brandt mengakui bahwa tokoh-tokoh tersebut selama ini menjadi pendukung setia kepentingan Israel.
AIPAC juga diakui telah mendanai kampanye politik mereka dan membantu mereka menempati posisi-posisi penting dalam pemerintahan AS, yang pada akhirnya memberi akses terhadap informasi strategis kelas tinggi.
Kesimpulannya, satu-satunya kekuatan yang saat ini mampu mendorong realisasi penarikan pasukan Amerika secara menyeluruh dari Suriah adalah Republik Turki—melalui keteguhan sikapnya dalam melawan terorisme.
Sejak 2016, Turki telah berhasil menciptakan zona aman di wilayah utara Suriah lewat operasi militer terhadap kelompok PKK.
Langkah ini tidak hanya memperkecil pengaruh kelompok tersebut, tapi juga menjadi dasar kerja sama antara Turki dan Pemerintah Suriah dalam menstabilkan kawasan.
Tentu saja, jalan ini bukanlah jalan yang mudah. Namun bukan pula sesuatu yang mustahil untuk dicapai.
*Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Hal Sayanjaḥ Trāmb Fī Saḥab Quwwātih Min Sūriyyā?”.