Friday, July 18, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI - Apa yang diinginkan Israel dari serangan ke Damaskus?

OPINI – Apa yang diinginkan Israel dari serangan ke Damaskus?

Oleh: Wael Alwan

Untuk pertama kalinya pada 16 Juli 2025, Israel melancarkan serangan udara yang langsung menghantam gedung Markas Besar Staf Angkatan Bersenjata Suriah di pusat ibu kota Damaskus.

Hal ini berbeda dari pola-pola serangan sebelumnya yang menyasar konvoi militer, gudang senjata, radar, hingga kendaraan lapis baja.

Serangan ini bukan hanya meninggalkan kerusakan fisik di bangunan yang menghadap Bundaran Umayyah dan Tugu Damaskus itu, melainkan juga mengirim pesan politik yang jauh lebih besar kepada pemerintah Suriah.

Gedung yang diserang memiliki nilai simbolis sebagai lambang kedaulatan Suriah. Karena itu, langkah militer Israel ini dinilai sebagai eskalasi serius dalam keterlibatannya di wilayah Suriah.

Selain menimbulkan puluhan korban jiwa dari kalangan tentara dan aparat keamanan, seperti dilaporkan televisi pemerintah.

Serangan tersebut dibaca oleh pemerintah Damaskus sebagai pelanggaran langsung terhadap kedaulatan negaranya.

Di saat yang sama, Damaskus juga menyadari keterbatasan kemampuannya untuk membalas atau menghadapinya secara terbuka.

Bagi pemerintah Suriah, situasi ini menciptakan dilema besar. Tindakan Israel yang semakin terang-terangan dianggap bisa berkembang menjadi intervensi yang lebih luas.

Di sisi lain, Suriah tidak bisa berharap banyak dari reaksi negara-negara sekutu yang kemungkinan besar akan bersikap pasif atau terbatas. Maka, jalan menuju deeskalasi menjadi satu-satunya pilihan realistis.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tampaknya tidak terpengaruh oleh kecaman regional maupun internasional atas serangan-serangannya ke Daraa dan Suweida.

Bahkan, serangan ke jantung ibu kota Suriah ini justru membuka peluang bagi Netanyahu untuk menekan sistem peradilan Israel agar menunda proses hukum terhadap dirinya.

Dari posisi itulah, Netanyahu tampak berperan langsung dalam perluasan serangan ke wilayah pusat Damaskus dan sekitar kompleks istana kepresidenan.

Isyarat terhadap pemerintahan baru di Suriah?

Serangan ke Damaskus mencerminkan sikap Israel terhadap pemerintahan baru di Suriah pasca-penguasa sebelumnya digulingkan.

Tel Aviv menilai bahwa Damaskus telah melewati batas yang ditetapkan Israel sebagai “zona larangan militer” di selatan Suriah.

Yakni wilayah yang harus bersih dari kehadiran militer dan hanya boleh diisi oleh polisi serta aparat sipil.

Dengan pelanggaran itu, Israel kali ini tak sekadar memberikan peringatan, melainkan langsung menjatuhkan hukuman militer terhadap Suriah.

Di sisi lain, Pemerintahan Netanyahu juga memanfaatkan momen ini untuk memperlemah citra pemerintah Suriah, baik di dalam negeri maupun di mata dunia.

Sebelumnya, tekanan Amerika Serikat (AS) mencegah Israel untuk mengambil langkah agresif semacam ini. Namun, setelah kerusuhan besar di Sweida, ruang manuver Israel terbuka lebih lebar.

Israel sejatinya tidak memiliki komitmen khusus untuk melindungi kelompok agama atau etnis tertentu di Suriah.

Yang diutamakan adalah bagaimana memanfaatkan kekacauan dan krisis yang terjadi guna memperoleh keuntungan jangka pendek dan posisi tawar yang lebih kuat dalam negosiasi jangka panjang.

Dalam konteks inilah, Israel menyambut baik seruan Sheikh Hikmat al-Hijri—tokoh spiritual dari kalangan Druze yang secara terbuka menolak legitimasi pemerintah Suriah dan menyerukan intervensi internasional.

Meski ada pembicaraan mengenai negosiasi Suriah-Israel dengan dukungan AS dan sejumlah pihak regional, termasuk kabar mengenai pertemuan tak langsung maupun langsung di Baku dan Oslo, posisi resmi Israel terhadap pemerintahan baru di Damaskus sejatinya sejalan dengan sikap yang diungkapkan oleh Sheikh al-Hijri.

Seruan sang tokoh yang menginginkan perlindungan internasional menjadi satu-satunya suara dari komunitas Druze yang digaungkan oleh Tel Aviv.

Sementara suara-suara lain seperti Sheikh Hammoud al-Hanawi, Sheikh Yusuf Jarbou’, maupun tokoh-tokoh revolusioner muda seperti Laith al-Balaous, Yahya al-Hajjar, dan Suleiman Abdulbaqi tak mendapat dukungan serupa.

Sikap Washington atas eskalasi serangan ke Damaskus

Banyak kalangan meyakini bahwa Israel tidak pernah bertindak sendiri tanpa koordinasi terlebih dahulu dengan pemerintahan AS.

Bahkan, keduanya dinilai mahir memainkan peran ganda: ketika Washington meminta agar serangan ke wilayah selatan Suriah dihentikan, Tel Aviv justru menanggapi dengan memperluas operasi militer hingga mencakup pusat ibu kota Damaskus.

Inilah yang paling dikhawatirkan pemerintah Suriah—yakni bila perkiraan mereka tentang sikap Amerika keliru.

Selama ini, Damaskus masih menggantungkan harapan pada perbedaan prinsip antara Washington dan Tel Aviv.

Pemerintah Suriah menilai bahwa pelanggaran Israel terhadap kedaulatan wilayahnya, serta eksploitasi kekacauan demi menggagalkan stabilisasi, hanya dapat dibendung melalui tekanan dari pihak Amerika.

Namun, bila perhitungan itu meleset, terlebih setelah keterlibatan Suriah dalam krisis Sweida, maka pemerintah Damaskus berada dalam masalah yang jauh lebih besar.

Ini mengharuskan mereka untuk melakukan evaluasi ulang atas pendekatan dan strategi regionalnya.

Di sisi lain, pemerintahan Presiden Donald Trump tampaknya akan tetap mengambil peran sebagai pihak penengah.

Ia mendorong seluruh aktor regional untuk kembali ke meja perundingan demi penyelesaian konflik melalui perjanjian Abraham.

Namun, hal ini tidak berarti bahwa Washington akan serta-merta menekan Israel agar menghentikan agresinya terhadap Suriah, selama tindakan tersebut dianggap tidak mengganggu prinsip stabilitas kawasan—khususnya Suriah dan Lebanon.

Bagi Gedung Putih, sedikit gempuran militer yang dilakukan Tel Aviv demi mencapai “ketertiban dan kepatuhan” justru sejalan dengan prinsip Trump: “peace through strength” atau perdamaian lewat kekuatan.

Pendekatan semacam ini sangat cocok dengan kepentingan Israel, yang justru tidak melihat kestabilan pemerintahan baru di Damaskus sebagai sesuatu yang strategis.

Sebaliknya, para sekutu AS di kawasan lebih memilih mendukung pemerintahan Presiden Ahmad al-Sharaa demi memperkuat stabilitas politik dan sosial di Suriah.

Meski demikian, Washington kemungkinan besar akan menghentikan langkah-langkah militer Israel bila eskalasi tersebut dinilai mengancam keberlangsungan pemerintahan Presiden al-Sharaa.

Pasalnya, stabilitas pemerintahan Suriah dianggap sebagai benteng penting untuk mencegah kembalinya pengaruh Iran, serta membuka jalan bagi reposisi Suriah dalam peta aliansi global—berpindah dari kubu Timur ke arah Barat.

Pemerintah yang kuat dan sah di Damaskus juga dipandang sebagai kunci untuk menghapus entitas-entitas non-negara, sekaligus menciptakan tatanan keamanan baru yang sejalan dengan kepentingan Barat di Timur Tengah.

Dampak strategis dan politik serangan ke markas militer Suriah

Lebih dari sekadar menghitung korban jiwa dan kerugian material, serangan Israel yang menyasar langsung gedung Markas Besar Staf Militer Suriah di Damaskus meninggalkan jejak politik yang serius.

Dalam konteks saat ini, ketika pemerintah Suriah tengah menghadapi tantangan besar di berbagai sektor—khususnya ekonomi—serangan semacam ini hanya menambah beban dan menghambat upaya pemulihan.

Israel bisa jadi akan menganggap misinya telah tercapai begitu tentara Suriah mundur kembali ke barak-baraknya, menjauhi wilayah selatan.

Namun, serangan ini sekaligus menunjukkan bentuk keterlibatan militer yang akan diambil Tel Aviv bila garis merah yang ditetapkan dilanggar kembali.

Apalagi, di bawah pemerintahan Netanyahu, Israel tampaknya berada dalam puncak kepercayaan diri dan kebanggaan atas kekuatan militer.

Terutama setelah mengklaim menghancurkan Gaza, melumpuhkan Hizbullah di Lebanon, serta menyatakan keberhasilan menggulingkan rezim lama di Suriah—semuanya dibingkai sebagai kemenangan strategis atas Iran.

Lebih dari itu, serangan terhadap markas militer dan kawasan sekitar istana presiden di jantung ibu kota suatu negara menjadi sinyal bahwa negara tersebut tidak lagi dianggap aman dan stabil.

Konsekuensinya, Suriah kian jauh dari harapan menarik investasi asing dan membangun kembali perekonomiannya.

Situasi ini bertolak belakang dengan tujuan utama pemerintah, yang berharap segera mengentaskan rakyat dari krisis sosial dan ekonomi yang kian dalam.

Pemerintah Suriah amat membutuhkan pencabutan sanksi ekonomi Amerika agar dampak pemulihan bisa dirasakan di sektor riil.

Namun hingga kini, berbagai janji dan kebijakan administratif dari Washington belum membuahkan hasil nyata di lapangan.

Krisis yang baru saja terjadi di Sweida, ditambah eskalasi militer Israel, dikhawatirkan akan mengganggu proses pelonggaran sanksi tersebut, bahkan bisa mengakibatkan penundaan atau pembatalan, tergantung pada persepsi dan sikap politik di Washington.

Tak hanya itu, serangan Israel ke Damaskus juga menurunkan nilai kemenangan militer pemerintah Suriah dalam menyelesaikan konflik di Sweida.

Bahkan, bisa membuka kembali celah ketegangan di wilayah tersebut, dan mempersulit proses rekonsiliasi nasional, khususnya di wilayah timur laut Suriah yang masih didominasi kelompok oposisi.

Dari sudut pandang Damaskus, perkembangan terbaru ini memperkuat kekhawatiran bahwa tekanan Israel bisa berimbas pada perubahan posisi Amerika terhadap pemerintah baru Suriah.

Bila Washington mengubah kalkulasinya, maka konsekuensinya juga akan dirasakan oleh negara-negara sahabat yang sejauh ini mendukung pemerintahan Presiden al-Sharaa, baik secara politik, diplomatik, maupun dalam proses rekonstruksi nasional.

*Wael Alwan adalah peneliti yang mengkhususkan diri dalam urusan Suriah. Ia juga penulis dan analis politik Suriah. Ia telah menjadi peneliti di Jusoor Center for Studies sejak Mei 2019 dan direktur unit informasi di pusat tersebut. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Mādzā Turīd Isrāīl Min Qhasfi Dimasyqi?”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular