Thursday, May 8, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI - Bagaimana masa depan Suriah usai serangan Israel?

OPINI – Bagaimana masa depan Suriah usai serangan Israel?

Oleh: Omar Kush

Serangan Israel terhadap Suriah kali ini benar-benar menunjukkan peningkatan eskalasi yang mencolok, bahkan lebih jauh lagi. Ketika pesawat-pesawat tempur Israel membombardir area sekitar istana kepresidenan di Damaskus.

Dalam sebuah pernyataan bersama dengan Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menilai serangan tersebut sebagai pesan yang jelas kepada rezim Suriah.

“Kami tidak akan membiarkan pasukan Suriah ditempatkan di selatan Damaskus atau adanya ancaman terhadap komunitas Druze,” katanya.

Namun, tindakan Israel tidak berhenti pada level ini saja. Eskalasi yang terus berlanjut mengarah pada serangan lebih besar.

Pesawat tempur Israel membombardir tujuh situs militer di tiga provinsi Suriah, yang menjadi serangan terbesar sejak awal bulan April.

Pertanyaan yang muncul kini adalah: Sampai kapan serangan-serangan Israel terhadap Suriah ini akan berlanjut? Apa pesan yang ingin disampaikan Israel? Dan yang lebih penting, langkah apa yang bisa diambil oleh Presiden Suriah Ahmad Al-Sharaa menghadapi serangan-serangan berulang ini?

Sejak jatuhnya rezim Assad, Israel telah menargetkan aset militer dari tentara Suriah yang dulu, dengan alasan bahwa serangan-serangannya adalah operasi preventif untuk mencegah jatuhnya senjata ke tangan otoritas baru yang dianggapnya sebagai “kelompok teroris.”

Namun, ambisi Israel tidak hanya sebatas itu. Mereka melanggar zona penyangga dan mengakhiri perjanjian pemisahan yang ditandatangani pada tahun 1974.

Mereka menciptakan zona penyangga yang luas, mencakup sebagian besar Provinsi Quneitra, hingga daerah-daerah di Provinsi Daraa, dan akhirnya mencapai Provinsi Sweida.

Narasi yang dibangun Israel berusaha menguatkan alasan palsu bahwa mereka melindungi komunitas Druze di Suriah, dengan posisi diri mereka sebagai pembela minoritas tersebut, serta mengancam akan menyerang pasukan Suriah yang memasuki provinsi tersebut.

Pelanggaran Israel mencapai puncaknya dengan menyerang konvoi Pasukan Keamanan Umum yang sedang menuju kota Ashrafiyat Sahnaya, yang diikuti dengan serangan di sekitar istana kepresidenan.

Ini terjadi setelah otoritas Suriah yang baru berhasil mengatasi bentrokan berdarah yang meletus di kota Jaramana dan Ashrafiyat Sahnaya, yang kemudian meluas ke area Provinsi Sweida.

Mereka menandatangani kesepakatan dengan tokoh-tokoh sosial dan spiritual di wilayah tersebut, yang mengharuskan mereka menyerahkan senjata kepada pihak berwenang serta penempatan pasukan Keamanan Umum di daerah-daerah tersebut.

Israel berusaha menyampaikan beberapa pesan, yang paling penting adalah berupaya memberikan tekanan dan pemerasan kepada otoritas Suriah yang baru, memanfaatkan kondisi yang tragis akibat warisan rezim Assad di segala aspek.

Israel berupaya mencegah pemerintah baru Suriah untuk mengembalikan kekuatan mereka dan memperluas kedaulatan di seluruh Suriah, terutama di wilayah selatan.

Terlepas dari upaya Israel untuk memisahkan selatan Suriah dari tubuh Suriah yang baru, mayoritas besar warga Suriah di wilayah selatan tetap menganggap diri mereka bagian integral dari tanah air Suriah, yang mencintai identitas Suriah mereka dan menentang segala bentuk intervensi Israel.

Ini termasuk suara-suara minoritas di Sweida, yang dipimpin oleh Syeikh Hikmat Al-Hijri dan pengikutnya, yang meskipun ada, bertentangan dengan pandangan mayoritas penduduk provinsi tersebut.

Sebuah pertemuan terbaru yang melibatkan para pemimpin agama dan militer serta aktivis di Sweida mengirimkan pesan bahwa mereka menentang upaya Israel.

Pertemuan itu menegaskan penolakan terhadap pemisahan, perpecahan, atau separatisme, serta menegaskan bahwa rakyat Sweida tetap Suriah, dalam asal usul dan identitas mereka, dan berkomitmen pada persatuan rakyat Suriah di bawah bendera satu tanah air.

Dalam menghadapi serangan ini, Presiden Suriah Ahmad Al-Sharaa harus berpikir lebih jauh dari sekadar mempertahankan diri.

Taktik diplomatik dan militer yang lebih canggih mungkin diperlukan untuk menjaga kedaulatan dan integritas Suriah, sambil menghadapi tekanan dari kekuatan luar yang semakin agresif.

Satu hal yang pasti, Suriah harus tetap berdiri teguh dalam menghadapi gempuran ini, sembari memperkuat solidaritas antarwarga negara untuk melawan upaya pemecahbelahan yang semakin intens dari luar.

Pemerintahan sayap kanan Israel saat ini berusaha mengirimkan pesan kuat kepada Amerika Serikat, Turki, dan negara-negara lain di kawasan bahwa kepentingan dan keamanan Israel adalah prioritas utama yang tidak bisa diabaikan.

Hal ini tercermin meskipun Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, baru-baru ini menyatakan dukungannya terhadap Turki di hadapan Netanyahu di Gedung Putih, bahkan menyerukan Netanyahu untuk bersikap lebih bijaksana.

Meskipun demikian, Israel tetap melanjutkan agenda agresifnya di Suriah, yang tujuannya tidak hanya untuk memecah belah negara tersebut secara geografis, tetapi juga secara sosial dan politik.

Serangan-serangan Israel seringkali diklaim sebagai respons terhadap seruan untuk melindungi komunitas Druze, yang kemudian dijadikan alat untuk memprovokasi komponen sosial Suriah lainnya.

Namun, upaya ini jelas tidak akan berhasil membodohi mayoritas rakyat Suriah, yang masih mengingat perjuangan Sultan Pasha Al-Atrash dan para aktivis lainnya dalam membela kemerdekaan dan kesatuan Suriah.

Namun, meskipun Suriah memiliki keterbatasan dalam merespons eskalasi Israel, terutama mengingat beratnya warisan kehancuran yang ditinggalkan oleh rezim Assad yang telah mengubah negara menjadi puing-puing.

Otoritas Suriah tetap mengeluarkan pernyataan yang menegaskan komitmen mereka untuk “mencegah ancaman apapun yang dapat membahayakan keamanan tanah air dan warga negara”.

Otoritas Suriah juga menganggap serangan Israel sebagai “serangan terhadap institusi negara, kedaulatan, keamanan nasional, dan persatuan rakyat Suriah.”

Namun, respon ini tentu saja belum cukup. Menanggapi sikap arogan Israel memerlukan langkah-langkah konkret di berbagai level.

Mulai dari mendesak negara-negara Arab dan negara sahabat untuk mengambil sikap tegas terhadap Israel dan membangun sikap internasional di lembaga-lembaga internasional.

Lebih penting lagi, tindakan harus dimulai dari level domestik, di mana otoritas baru Suriah perlu memperkuat pondasi dalam negeri.

Mereka juga memperkuat persatuan nasional dengan memperdalam dialog dengan aktor-aktor sipil dan politik di seluruh Suriah, bukan hanya mengandalkan kesepakatan dengan pemimpin agama dan militer.

Otoritas Suriah yang baru belum berhasil membangun stabilitas dan menjaga perdamaian sipil, karena mereka lebih mengandalkan solusi militer daripada alat-alat politik.

Hal ini justru menambah ketegangan dan ketidakpuasan di kalangan banyak kelompok rakyat Suriah, serta melemahkan kemampuan kepemimpinan Suriah untuk mencapai konsensus nasional.

Hal ini dilakukan di tengah-tengah perpecahan sosial dan konflik yang diwariskan, yang semakin mempersulit upaya rekonsiliasi nasional.

Apa yang diperlukan di dalam negeri adalah pendirian partai politik yang dapat menemukan jalan keluar dari konflik dan perbedaan. Partai-partai ini dapat menyediakan ruang publik bagi rakyat Suriah untuk mengungkapkan pendapat dan aspirasi mereka, tanpa memandang afiliasi agama dan etnis.

Tidak ada yang baru dalam mengatakan bahwa pluralisme politik adalah kunci untuk dialog antarwarga.

Karena pluralisme politik memberi kesempatan bagi rakyat untuk berpartisipasi secara efektif dalam pengambilan keputusan dan berkontribusi pada pembangunan negara mereka, alih-alih hanya menjadi penonton dalam panggung politik.

Mayoritas rakyat Suriah berharap bahwa Presiden sementara Ahmad Al-Sharaa akan mengadopsi solusi politik untuk masalah-masalah yang ada.

Tujuannya, memperkuat dalam negeri dan memberikannya kekuatan yang diperlukan untuk melawan intervensi Israel dan kekuatan lain yang menentang transformasi baru Suriah.

Sebagai pemimpin yang dipercayai rakyat, ia memikul tanggung jawab besar dalam menghadapi tantangan internal serta menghadapi rencana jahat Israel dan aktor-aktor lain yang berusaha menghalangi perubahan positif di Suriah.

*Jurnalis dan peneliti Suriah yang tinggal di Turki. Ia rutin menulis di sejumlah situs dan majalah Arab, serta telah menerbitkan sejumlah buku, penelitian, dan artikel.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular