Thursday, August 14, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI - Bom “Israel raya” yang diledakkan Netanyahu

OPINI – Bom “Israel raya” yang diledakkan Netanyahu

Oleh: Dr. Abdullah Maarouf*

Bukan hal mengejutkan jika tokoh-tokoh arus utama Zionisme religius dan sayap kanan ekstrem di Israel kerap mengumandangkan impian “Israel Raya” atau “Tanah yang Dijanjikan”.

Sejak dimulainya perang pemusnahan di Jalur Gaza, retorika ini semakin sering terdengar.

Selama ini, para pembela Israel punya alasan untuk meremehkan pernyataan tersebut. Argumen mereka: ucapan itu datang dari menteri atau anggota parlemen yang mewakili kelompok tertentu, bukan sikap resmi pemerintah, dan tidak mencerminkan perubahan visi strategis institusi negara terhadap kawasan maupun hubungan dengan dunia Arab.

Namun, wawancara terbaru Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dengan stasiun televisi i24 mencerminkan pergeseran yang jauh lebih besar.

Untuk pertama kalinya, pucuk pimpinan pemerintah mengadopsi secara terbuka aspirasi Zionisme religious.

Suatu pandangan yang tidak memandang Israel hidup berdampingan dengan tetangga Arabnya, melainkan membayangkan sebuah negara besar berbasis narasi kitab suci: Tanah yang Dijanjikan, Mesias yang akan datang, akhir zaman, dan “seribu tahun damai”.

Dalam percakapan itu, Netanyahu mengatakan ia merasa sedang menjalankan misi bersejarah dan spiritual yang menghubungkan generasi Yahudi lintas zaman.

Ia mengaku hadir “dengan mandat dari generasi-generasi Yahudi”. Ketika pewawancara menanyakan apakah hal itu mencakup visi “Israel Raya”, Netanyahu menjawab dengan penuh keyakinan: “Ya.”

Koran Zman Yisrael langsung memasang tajuk utama: Netanyahu Mengaku dalam Misi Bersejarah dan Spiritual, dan Mendukung Visi Israel Raya.

Dalam berita itu disebutkan, menurut Netanyahu, “Israel Raya” mencakup wilayah yang semestinya menjadi negara Palestina di bawah Perjanjian Oslo, ditambah bagian dari Yordania dan Mesir.

Tidak bisa dilepaskan bahwa wawancara ini dilakukan oleh Sharon Gal, jurnalis sekaligus mantan anggota parlemen dari partai kanan Israel Beitenu pimpinan Avigdor Lieberman.

Di tengah wawancara, Gal memberi Netanyahu sebuah “hadiah” yang ia sebut sebagai impian sepanjang hidupnya: sebuah jimat bergambar peta Tanah yang Dijanjikan. Peta Israel Raya yang membentang dari Sungai Nil hingga Sungai Eufrat.

“Apakah Anda percaya pada visi ini?” tanya Gal sambil menyerahkan hadiah itu dan disambut jawaban Netanyahu.

“Sangat,” jawab Netanyahu dua kali.

Ada dua kemungkinan dari momen ini. Pertama, Netanyahu dan Gal sudah sepakat sejak awal untuk menyiapkan skenario yang memberi Netanyahu ruang memamerkan visi barunya kepada publik, tanpa terlihat terlalu disengaja.

Ini selaras dengan reputasi Netanyahu sebagai politisi yang lihai bermain narasi dan memanfaatkan panggung untuk menggaet simpati kalangan Zionisme religius, terutama di tengah operasi militer di Gaza.

Kemungkinan kedua, Netanyahu sama sekali tidak menduga pertanyaan itu. Ia terpaksa memilih: mempertahankan citra sekuler-nasionalis partai dan negaranya, atau merangkul suara religius yang semakin dominan di sayap kanan.

Jika skenario ini benar, maka Gal berhasil “menjebak” Netanyahu untuk memperlihatkan orientasi politik dan spiritual pribadinya—orientasi yang bertumpu pada tafsir religius kitab suci yang selama ini menjadi bahan bakar politik sayap kanan ekstrem.

Selama ini, Netanyahu dikenal piawai menghindari jebakan semacam itu. Ia kerap menjaga jarak dari pernyataan kontroversial menteri-menteri di kubu Zionisme religius seperti Bezalel Smotrich dan Itamar Ben Gvir.

Mereka terang-terangan berbicara soal “Israel Raya”, kontrol penuh atas Masjid Al-Aqsha, aneksasi Tepi Barat, hingga ambisi menguasai Yordania, Lebanon, Mesir, dan Suriah.

Namun kali ini, di hadapan “hadiah” peta Israel Raya, Netanyahu seakan berada di persimpangan.

Ia berkelit untuk menjaga citra sekuler Israel yang diwariskan sejak David Ben-Gurion, atau menjadikan momen ini sebagai batu pijakan untuk menyatakan dirinya sepenuhnya berpihak pada agenda Zionisme religious.

Hal itu menggeser kebijakan resmi Israel ke arah mitologi kitab suci yang diusung kelompok itu.

Pernyataan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu baru-baru ini menandai pergeseran penting yang layak dicermati. Ucapannya, yang sarat nuansa religius dan mengacu pada konsep “Israel Raya” atau “Tanah Perjanjian”, seakan menjadi deklarasi pendirian sebuah negara teokratis.

Ini berbeda jauh dari citra negara sekuler bergaya Eropa yang selama puluhan tahun coba dipasarkan Israel kepada dunia.

Motif di balik langkah ini bisa dibaca dari dua kemungkinan. Pertama, upaya meraih simpati kelompok kanan di dalam negeri.

Kedua, mencari dukungan dari kalangan kanan Kristen ekstrem di luar negeri yang pro-Israel.

Dari 2 jalur ini, tampaknya Netanyahu memilih yang kedua, dengan secara terbuka memeluk narasi keagamaan yang diusung arus religious Zionism. Praktis, ia menjadi anggota terbaru arus ini di dalam tubuh Partai Likud.

Jejak religious Zionism sendiri bermula dari dalam Likud. Selama sekitar satu dekade, hubungan keduanya bersifat symbiosis.

Likud memanfaatkan kekuatan basis massa arus ini, sementara religious Zionism menumpang pada pengaruh politik Likud untuk menyebarkan ide-idenya.

Banyak kader arus ini yang masuk ke Likud dan secara perlahan menggeser orientasi partai ke jalur yang lebih religius.

Ketika basis dukungan mereka menguat, tokoh-tokoh utamanya seperti Bezalel Smotrich mendirikan Partai Religious Zionism dan Itamar Ben-Gvir membentuk Partai Jewish Power.

Meski demikian, pengaruh mereka tidak hilang dari tubuh Likud. Sosok-sosok seperti Menteri Kerja Sama Regional Dudi Amsalem, anggota Knesset Amit Halevi (penggagas rencana pembagian kompleks Masjid Al Aqsa), May Golan, Nissim Vaturi, Ariel Kallner, dan Avihai Boaron menjadi bukti bahwa arus ini tetap berakar kuat di partai.

Kini, melalui ucapannya, Netanyahu secara eksplisit menyatakan keberpihakan penuh pada arus tersebut. Secara politik, ini nyaris setara dengan mengumumkan bahwa Likud telah menjadi bagian integral dari religious Zionism.

Netanyahu sadar betul bobot kata-katanya. Frasa “Israel Raya” atau “Tanah Perjanjian” mencakup wilayah negara-negara yang selama ini ia banggakan hubungan diplomatiknya, seperti Yordania dan Mesir—keduanya terikat perjanjian damai dengan Israel.

Wilayah yang dimaksud juga meliputi sebagian Arab Saudi, yang selama ini digadang-gadang sebagai calon mitra normalisasi, serta Lebanon, Suriah, dan Irak.

Dengan komitmen semacam itu, Netanyahu sejatinya menyatakan pembebasan diri dari kewajiban yang timbul dari kesepakatan-kesepakatan sebelumnya, baik di tingkat regional maupun global.

Sulit membantah bahwa yang ia maksud adalah “Israel Raya” dalam pengertian tekstual Alkitab, apalagi ucapannya muncul dalam konteks menerima suvenir berbentuk peta “Israel Raya” dari pembawa acara Sharon Gal. Peta itu secara jelas mencakup wilayah negara-negara Arab tetangga.

Jawaban Netanyahu bukan basa-basi diplomatik. Penggunaan kata “sangat” yang ia ulang 2 kali, disertai kenangan emosional akan ayahnya dan generasi pendiri negara, memberi bobot ideologis pada pernyataan itu.

Tidak mengherankan jika Yordania segera melayangkan protes resmi, menganggap ucapan itu sebagai ancaman langsung terhadap kedaulatannya.

Artinya, pesan Netanyahu sampai sebagaimana mestinya: tegas, tanpa perlu dibungkus eufemisme.

Ini semestinya menjadi alarm bagi negara-negara di kawasan untuk memahami bahwa pandangan seperti ini tak lagi terbatas pada Smotrich atau Ben-Gvir, tetapi telah menjadi arus utama kebijakan resmi Israel.

Sikap yang secara terbuka bermusuhan terhadap lingkungan Arab menuntut respons yang lebih dari sekadar kecaman atau pernyataan media.

Perlu langkah nyata di lapangan yang memperlihatkan kelemahan posisi Israel bila harus berhadapan dengan kesatuan sikap dunia Arab dan Islam.

Salah satu langkah strategis yang bisa membalik peta permainan adalah membongkar blokade Gaza tanpa mengindahkan restu atau penolakan Netanyahu beserta para menterinya.

Sebaliknya, jika dunia Arab tetap gamang dan pasif, Netanyahu akan kian berani. Kini, ia sudah melangkahi “garis merah” dengan mematrikan komitmen ideologis pada konsep Israel Raya versi kitab suci, yang jelas merugikan negara-negara tetangga.

Diamnya lingkungan Arab hanya akan mendorongnya melampaui batas-batas berikutnya, mengubah obsesi religius ala Smotrich, Ben-Gvir, dan Amichai Eliyahu menjadi kebijakan resmi negara.

*Dr. Abdullah Maarouf dikenal atas peran pentingnya sebagai mantan Pejabat Media dan Hubungan Masyarakat di Masjid Al-Aqsa dan jabatannya saat ini sebagai Profesor Sejarah Islam di Universitas Istanbul 29 Mei. Keahlian dan wacana publiknya telah menjadi pusat diskusi dan advokasi seputar pelestarian dan pengakuan Masjid Al-Aqsha serta perjuangan Palestina yang lebih luas. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Qunbulah ‘Isrāīl al-Kubrā’ Allatī Alqāhā Nitanyāhū”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular