Monday, August 18, 2025
HomeAnalisis dan OpiniErdogan tulis opini soal Gaza di Al Jazeera, ini isi lengkapnya

Erdogan tulis opini soal Gaza di Al Jazeera, ini isi lengkapnya

Oleh: Recep Tayyip Erdogan*

Tragedi di Jalur Gaza bukanlah sekadar konflik di sudut sempit peta dunia. Ia adalah luka kemanusiaan yang menganga, yang semakin dalam setiap harinya. Luka yang bukan hanya milik warga Gaza, melainkan milik nurani umat manusia.

Sejak berbulan-bulan lalu, Israel menggempur wilayah ini dengan serangan yang tak pandang bulu. Perempuan, anak-anak, hingga lansia menjadi korban.

Kota-kota hancur luluh: rumah tinggal, rumah sakit, sekolah, dan rumah ibadah rata dengan tanah. Layanan dasar seperti pangan, air bersih, listrik, dan perawatan medis runtuh satu per satu.

Kini, Gaza berada di tepi jurang kehancuran total. Kelaparan, kehausan, dan ancaman wabah kian menjerat.

Lebih dari 61.000 warga Palestina telah kehilangan nyawa—mayoritas perempuan dan anak-anak. Semua ini bukan sekadar perang, melainkan kebijakan penghancuran yang sistematis.

Diamnya dunia, atau respons yang setengah hati, hanya menambah penderitaan dan membuka jalan bagi kelanjutan penindasan.

Dunia Barat yang sigap bertindak di krisis lain, kali ini memilih sikap ragu yang meruntuhkan kredibilitas tatanan internasional yang konon berdiri di atas prinsip dan keadilan.

Andaikan perhatian yang dicurahkan pada Ukraina juga diberikan kepada Gaza, mungkin pemandangan hari ini akan berbeda sama sekali.

Ketiadaan sanksi atas tindakan Israel perlahan menggerogoti hukum internasional dan standar hak asasi manusia.

Gaza menjadi ujian sejati: sejauh mana masyarakat internasional sanggup membela nilai-nilai kemanusiaan yang paling mendasar.

Sejak awal, Turki menempuh langkah konsisten dan tegas untuk menghentikan pembantaian dan bencana kemanusiaan ini.

Badan Penanggulangan Bencana dan Darurat (AFAD), Bulan Sabit Merah Turki, serta berbagai LSM aktif menyalurkan bantuan—dari pangan, obat-obatan, hingga perlengkapan medis—meski dihadang banyak rintangan.

Bersama negara-negara sahabat di kawasan, Turki juga mengevakuasi warga Gaza yang terluka untuk dirawat di tanah airnya.

Bantuan ini bukan semata memenuhi kebutuhan mendesak, tetapi juga pesan moral: Gaza tidak sendirian. Di ranah diplomasi, seruan gencatan senjata disuarakan di PBB, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), dan berbagai forum lain.

Upaya mediasi antar-faksi Palestina terus berjalan. Dalam KTT NATO di Den Haag, 25 Juni lalu, Turki mengingatkan, “Gaza tidak punya waktu untuk menunggu.”

Turki dengan gamblang menyebut kebijakan Israel—termasuk hukuman kolektif yang mengabaikan hukum internasional—sebagai genosida.

Kolaborasi erat dijalin dengan negara-negara kawasan, terutama Qatar, baik untuk distribusi bantuan, negosiasi gencatan senjata, maupun perencanaan rekonstruksi.

Peran kepemimpinan Qatar dalam misi kemanusiaan dan diplomasi perdamaian layak diapresiasi.

Namun, krisis Gaza bukan hanya ancaman bagi rakyat Palestina. Ia mengancam stabilitas seluruh kawasan.

Memanasnya hubungan Israel–Iran meningkatkan risiko perang regional yang dapat mengguncang keamanan dari Mediterania Timur hingga Teluk Arab.

Krisis ini juga memicu ancaman gelombang pengungsi, ekstremisme, dan ketidakpastian energi. Gaza, dengan demikian, adalah persoalan strategis bagi keamanan dan perdamaian global.

Solusinya sesungguhnya jelas. Pertama, hentikan semua serangan tanpa syarat. Kedua, buka jalur kemanusiaan agar bantuan pangan, air, dan obat-obatan dapat masuk tanpa hambatan. Ketiga, bentuk mekanisme internasional untuk melindungi warga sipil. Turki siap menjadi koordinator proses ini.

Pelanggaran hukum perang dan hak asasi manusia harus diadili di Mahkamah Pidana Internasional dan Mahkamah Internasional.

Sumber daya berkelanjutan harus dijamin bagi lembaga kemanusiaan, khususnya UNRWA yang terus ditekan Israel.

Rekonstruksi Gaza tidak boleh berhenti pada membangun kembali gedung-gedung. Ia harus menyentuh pendidikan, kesehatan, infrastruktur, ekonomi, hingga representasi politik.

Proses ini mesti melibatkan warga setempat secara langsung, di bawah pengawasan PBB dan organisasi regional.

Fondasi perdamaian abadi hanya akan tegak di atas pengakuan negara Palestina yang merdeka, berdaulat, dan utuh wilayahnya. Solusi dua negara tetap menjadi kunci tunggal perdamaian di kawasan.

Apa yang terjadi di Gaza juga memperlihatkan bagaimana perang menargetkan mereka yang mencari kebenaran.

Dalam beberapa bulan terakhir, banyak jurnalis tewas hanya karena menjalankan tugas. Kerugian yang dialami Al Jazeera menjadi salah satu serangan paling brutal terhadap kebebasan pers dan hak publik atas informasi.

Mereka yang gugur demi membawa kebenaran ke hadapan dunia adalah simbol pencarian keadilan. Kehilangan mereka adalah kehilangan bagi kita semua.

Turki menyampaikan belasungkawa terdalam kepada keluarga korban, rekan sejawat, dan seluruh komunitas jurnalis.

Sejarah mencatat siapa yang bergerak dan mengulurkan tangan, serta siapa yang berpaling dari ketidakadilan di Gaza.

Pelajaran dari Bosnia dan Rwanda mestinya cukup untuk mengingatkan: harga diam adalah mahal bagi kemanusiaan.

Bagi Turki, sikap tegas terhadap Gaza adalah kewajiban moral sekaligus keharusan strategis. Bersama semua pihak yang percaya pada diplomasi kemanusiaan—terutama Qatar—Turki akan terus berjuang demi perdamaian yang adil dan bermartabat.

Gaza tidak punya waktu. Dunia harus mendengarkan suara nurani, dan bertindak. Masa depan umat manusia ditentukan oleh keberanian kita hari ini mengambil langkah yang diperlukan.

*Recep Tayyip Erdogan adalah presiden Republik Turki. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Ikhtibār Dhzomīr al-Insāniyyah Fī Ghazah”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular