Tuesday, April 29, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI - Husam Shabat, jurnalis yang gugur, kebenaran yang tetap hidup

OPINI – Husam Shabat, jurnalis yang gugur, kebenaran yang tetap hidup

Oleh: Robin Anderson

Pada 24 Maret lalu, sebuah drone Israel meluncurkan rudal ke arah sebuah mobil yang sedang melaju di Gaza Utara.

Di dalamnya terdapat seorang jurnalis muda, Husam Shabat, yang bekerja untuk Al Jazeera. Serangan itu merenggut nyawanya seketika.

Menurut rekan seprofesi yang mendokumentasikan lokasi kejadian, Husam baru saja selesai melakukan wawancara lapangan dan tengah dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Indonesia untuk melakukan siaran langsung. Misi jurnalistik itu tak pernah tersampaikan.

Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) menyatakan kematian Shabat sebagai “pembunuhan yang disengaja”.

Selain aktif di Al Jazeera, Husam juga berkontribusi bagi media independen asal Amerika Serikat, Drop Site News, yang laporannya digunakan oleh jurnalis Jeffrey St. Clair dalam seri “Gaza Diaries”.

Namun, kontribusi profesionalnya bukan satu-satunya warisan yang ia tinggalkan. Dalam pesan terakhir yang ditulisnya sebelum wafat.

“Jika kalian membaca ini, berarti saya telah terbunuh — kemungkinan besar menjadi target pasukan pendudukan Israel. Saya telah mendedikasikan 18 bulan terakhir hidup saya sepenuhnya untuk rakyat saya. Saya mendokumentasikan kengerian di Gaza Utara, menit demi menit, bertekad mengungkap kebenaran yang berusaha mereka tutupi. Demi Allah, saya telah menjalankan tugas saya sebagai jurnalis. Saya telah mengambil risiko segalanya untuk menyampaikan kebenaran. Kini, saya beristirahat dengan damai,” tulis Husam.

Husam bukan satu-satunya korban dari kalangan media pada hari itu. Beberapa jam sebelumnya, jurnalis Muhammad Mansour dari Palestine Today turut menjadi korban serangan udara Israel.

Rumahnya di Khan Younis dibombardir, menewaskan ia, istri, dan anak mereka.

Namun, kematian Husam tidak disikapi dengan penyesalan oleh otoritas Israel. Justru sebaliknya.

Di platform media sosial X (dulu Twitter), militer Israel mengklaim bertanggung jawab atas kematian Shabat, menyebutnya sebagai “teroris”, dan memperingatkan publik untuk tidak “tertipu oleh rompi pers”.

Enam bulan sebelumnya, Israel telah menuduh Shabat dan lima jurnalis Al Jazeera lainnya sebagai anggota Hamas—klaim yang tak disertai bukti, namun digunakan sebagai dasar pembenaran.

Saat tuduhan itu muncul, Shabat tengah bertugas di Gaza Utara, wilayah yang sudah nyaris tak terjangkau oleh media akibat serangan yang masif.

Hanya segelintir jurnalis yang bertahan di sana, termasuk Shabat dan rekan-rekannya, untuk terus mendokumentasikan dampak perang terhadap warga sipil.

Ia menyadari benar bahwa pencap sebagai “anggota Hamas” berarti ia menjadi target. Karena itu, ia sempat menyerukan kepada dunia untuk bersuara.

“Saya mengimbau semua orang untuk menyebarkan kebenaran tentang apa yang kami alami sebagai jurnalis, untuk membongkar rencana pendudukan Israel dalam membungkam media. Gunakan tagar #ProtectJournalists. Bicaralah tentang kami,” tulisnya melalui akun media sosialnya.

Pesan terakhirnya, yang dikirim beberapa jam sebelum ia gugur, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh jurnalis Sharif Abdel Kouddous. Pesan itu dibuka dengan kata-kata:

“Malam itu begitu gelap gulita, diselimuti ketenangan yang penuh kewaspadaan. Semua orang terlelap dalam tidur yang gelisah. Namun, keheningan segera pecah oleh jeritan yang mengerikan. Sementara bom-bom mengguyur langit, teriakan para tetangga menandai detik-detik pertama dimulainya kembali kampanye militer Israel. Beit Hanoun tenggelam dalam kepanikan dan ketakutan.”

tulah fragmen kenyataan yang dicatat Husam Shabat—dan mungkin, itulah alasan mengapa ia harus dibungkam.

Dengan kematiannya, daftar panjang jurnalis Palestina yang terbunuh sejak Oktober 2023 kini mencatat angka 236 nama.

7 April lalu, serangan udara Israel menghantam tenda media di Khan Younis, menambah jumlah korban.

Sejak penghentian gencatan senjata oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, serangan militer meningkat tajam.

Dalam 3 hari pertama, 700 orang gugur, 900 lainnya terluka. Korban terus berjatuhan, tanpa tanda bahwa pembantaian akan segera berakhir.

Bagi mereka yang menyebarkan propaganda, kesaksian dan suara independen adalah ancaman.

Kebenaran selalu menjadi lawan utama bagi kebohongan perang. Karena itu, suara seperti Husam dianggap musuh.

Namun Husam bukan satu-satunya yang meninggalkan bukti atas kematiannya. Rofa’ah Radwan, seorang tenaga medis, juga tewas dalam serangan Israel sehari sebelum kematian Husam.

Ia adalah satu dari 15 petugas medis yang dieksekusi. Dalam momen-momen terakhirnya, ia sempat merekam proses serangan yang menewaskannya, membongkar narasi resmi militer Israel.

Pagi 23 Maret, pasukan Israel menewaskan delapan anggota Bulan Sabit Merah Palestina, enam petugas pertahanan sipil, dan seorang staf UNRWA di Rafah, saat mereka tengah mengevakuasi korban luka dan jenazah.

Setelah misi itu, tak ada kabar. Selama berhari-hari, dunia hanya bisa menunggu.

Juru bicara pertahanan sipil Palestina, Mahmoud Basal, mengirim seruan kepada dunia untuk menekan Israel agar mengungkap nasib para relawan.

Baru pada 30 Maret, jasad mereka ditemukan—dalam liang kubur dangkal, masih mengenakan seragam dan perlengkapan tugas.

Pemeriksaan forensik yang dilakukan seorang dokter yang bekerja sama dengan rumah sakit di Khan Younis menunjukkan luka tembak dari jarak dekat, indikasi adanya eksekusi lapangan.

Para korban masih membawa alat komunikasi, sarung tangan, dan tas medis mereka. The Guardian melaporkan temuan ini, menyebut kehancuran sistem kesehatan Gaza dan terbunuhnya lebih dari 1.000 tenaga medis sebagai potensi kejahatan perang.

Pada 1 April, The New York Times memuat laporan dengan kutipan PBB yang menyatakan bahwa Israel telah membunuh para petugas penyelamat.

Namun, seperti biasa, media tersebut tetap membuka ruang bagi versi militer Israel, yang mengklaim bahwa “9 korban adalah kombatan bersenjata”, serta bahwa kendaraan mereka bergerak “tanpa lampu darurat”.

Salah satu korban yang dituduh “teroris” adalah Mohammad Amin Ibrahim Shobaki, yang disebut ikut dalam serangan 7 Oktober.

Tuduhan itu sulit dipercaya, mengingat skala pengeboman Israel—yang menjatuhkan bom lebih banyak dibanding yang digunakan selama Perang Dunia II—dengan dalih menyerang Hamas, meski 20.000 anak Palestina turut menjadi korban.

Namun sekali lagi, kebenaran muncul dari rekaman sederhana. Dalam video terakhirnya, Rofa’ah Radwan terlihat berlari ke arah tembakan untuk menyelamatkan korban. Dengan suara gemetar.

“Ibu, maafkan aku… Demi Allah, aku memilih jalan ini hanya untuk membantu orang-orang,” katanya.

Video itu memperlihatkan lampu ambulans menyala terang—tak ada alasan bagi penembakan. Dunia yang menontonnya tahu, ini bukan kekeliruan. Ini pembantaian.

Rekaman tersebut begitu kuat hingga The New York Times, pada 6 April, akhirnya menulis tajuk jelas: “Para Relawan Kemanusiaan di Gaza Dibunuh oleh Pasukan Israel”.

Meski begitu, jurnalis Isabel Kershner tetap menyisipkan narasi pembelaan dari militer Israel, mengabaikan pola sistematis penargetan fasilitas kesehatan di Gaza.

Para sejarawan Palestina hari ini tidak hanya menulis dengan pena, tapi juga dengan luka dan keberanian.

Mereka bersaksi atas kenyataan yang tak dapat dibantah. Seperti yang ditulis Husam Shabat dalam catatan terakhirnya:

“Saya tidur di trotoar, di sekolah-sekolah, di tenda-tenda—di mana saja saya bisa. Setiap hari adalah perjuangan untuk bertahan. Saya menahan lapar berbulan-bulan, namun saya tak pernah meninggalkan rakyat saya.”

Ia menutup pesannya dengan kalimat yang kini bergema lintas batas:

“Jangan berhenti bicara tentang Gaza. Jangan biarkan dunia memalingkan muka. Teruslah berjuang. Terus ceritakan kisah kami—hingga Palestina merdeka.”

Kata-kata itu adalah wasiat. Dalam dunia yang kerap kehilangan empati, suara seperti Husam menjadi mercusuar bagi nurani.

Sebuah pengingat bahwa di tengah gelap, selalu ada mereka yang menyalakan cahaya.

*Robin Anderson adalah seorang penulis asal Amerika dan profesor di Universitas Fordham. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Al-Syāb Al-Ladzī Ightālathu Isrāīl, Lakinnau Fadhzoḥahum Ilā al-Abad”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular