Oleh: Ramona Wadi
Otoritas Palestina (PA) tampaknya tak pernah berhenti mempermalukan dirinya sendiri.
Keputusan terbaru mereka untuk menghentikan siaran Al Jazeera, dengan alasan bahwa stasiun berita tersebut “menyiarkan konten yang memicu kekerasan, menyebarkan informasi palsu, dan campur tangan dalam urusan internal Palestina,” hanya menunjukkan betapa besar penindasan yang dilakukan oleh pemimpin PA, Mahmoud Abbas, terhadap rakyat Palestina yang ingin disembunyikan dari perhatian dunia internasional.
Sementara rakyat Palestina di Gaza tengah menghadapi genosida, di Tepi Barat yang diduduki, terutama di Jenin, mereka terus-menerus diserang oleh pasukan pendudukan Israel dan para kolaboratornya, yaitu pasukan keamanan PA.
Pemerintahan otoriter yang lemah dan tak sah ini hanya bisa bertahan dengan kekerasan. Namun, belakangan ini, kolaborasi PA dengan Israel semakin jelas, dan hal ini semakin memperkuat kebutuhan untuk perlawanan anti-kolonial.
PA kini hanya memiliki dua cara untuk menghadapi rakyat Palestina: menindas dengan kekuatan atau memanfaatkan perlawanan anti-kolonial untuk keuntungan sesaat. Kedua cara ini kini semakin rapuh dan semakin cepat runtuh.
Abbas hanya menjadikan Gaza relevan dalam konteks kemungkinan kembalinya PA ke wilayah tersebut. Lebih dari setahun genosida di Gaza hanya memunculkan pernyataan-pernyataan lemah yang tak berarti.
Sementara itu, perburuan terhadap pejuang Palestina di Tepi Barat justru diposisikan sebagai upaya untuk menjaga keamanan dan stabilitas, meski PA tahu mereka tak bisa memberikan keduanya—baik untuk rakyat Palestina maupun untuk dirinya sendiri.
Banyak warga Palestina yang disiksa oleh aparat keamanan PA dengan alasan memulihkan hukum dan ketertiban, padahal PA justru melanggar hukum untuk mempertahankan kekuasaannya.
Begitu Israel memutuskan bahwa PA tak lagi dibutuhkan, Abbas dan lingkaran intinya akan kehilangan segalanya.
Ilusi kekuasaan yang dimiliki PA kemungkinan besar akan segera runtuh. PA malah akan berkontribusi pada potensi kekerasan dengan membagi perjuangan anti-kolonial Palestina dalam berbagai cara: dengan terus mempertahankan klaim perpecahan ideologis antara Gaza dan Tepi Barat, terus berpegang pada solusi dua negara meskipun genosida terus berlangsung, dan menerima konsep pembangunan negara yang ilusi, sementara Israel terus menguasai sisa wilayah Palestina.
Sementara itu, Ramallah hanya bisa terdiam, membuang-buang waktu dan nyawa rakyat Palestina.
Melarang Al Jazeera jelas tidak akan menyelesaikan masalah PA, yang ingin terlibat dalam kekerasan namun tetap mempertahankan citra diplomatik.
PA telah semakin menekan rakyat Palestina sejak pembunuhan Basel Al-Araj oleh agen keamanan PA pada Maret 2017, dan beberapa bulan setelahnya dengan pengesahan undang-undang kejahatan siber yang menargetkan jurnalis.
Serangan PA, yang terpisah dari serangan Israel, seperti yang dilaporkan Al Jazeera, telah menewaskan warga Palestina di Jenin.
Jika PA begitu yakin dengan perannya dalam menjaga keamanan di Tepi Barat, mengapa mereka tidak membiarkan media melaporkan kejadian tersebut? Jika PA menganggap perlawanan anti-kolonial yang sah sebagai “terorisme” dan “ketidaktaatan pada hukum”, bukankah itu justru akan memperkuat narasi mereka tentang perjuangan Palestina?
Dan apa yang ingin dicapai PA dengan menghentikan Al Jazeera, sementara begitu banyak rakyat Palestina yang menyaksikan kekejaman yang terjadi di Ramallah? Mereka hanya berusaha menutupi penindasan mereka yang begitu jelas.
Semua topeng telah jatuh. Upaya PA untuk mempertahankan kekuasaan dengan menahan hak atas informasi justru memperlihatkan betapa rapuhnya mereka.
Tidak ada yang lebih memicu kekerasan terhadap rakyat Palestina selain yang datang dari dalam, dan provokasi yang dilakukan Otoritas Palestina adalah salah satu contohnya.
Penulis adalah jurnalis dan analis politik Timur Tengah. Tulisannya diambil dari opininya di Middle East Monitor berjudul The PA wants its repression hidden in plain sight.