Oleh: Hassan Ourid*
Pertanyaan yang wajar muncul di tengah derita berkepanjangan di Gaza: Apakah inisiatif diplomatik masih berguna ketika perang genosida terus berlangsung, rakyat dilanda kelaparan, akses bantuan kemanusiaan diblokade, dan serangan terhadap warga sipil serta rumah sakit kian menjadi-jadi?
Jawaban jujurnya adalah penghentian agresi dan masuknya bantuan kemanusiaan harus menjadi prioritas utama.
Namun demikian, tidak berarti langkah-langkah diplomatik kehilangan nilai sepenuhnya. Salah satu perkembangan penting datang dari Prancis, melalui pernyataan Presiden Emmanuel Macron dalam kunjungannya ke Mesir pada awal April lalu.
Dalam kesempatan tersebut, Macron secara tegas menolak rencana pemindahan paksa warga Palestina dari Gaza dan Tepi Barat.
Ia juga menyatakan niat Prancis untuk mengakui negara Palestina pada Juni mendatang dalam sebuah konferensi internasional yang diprakarsai Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan diselenggarakan bersama Arab Saudi, sebagai bagian dari solusi dua negara.
Pernyataan ini membawa angin segar, meski situasi di Gaza masih diliputi kepedihan. Salah satu indikator penting bahwa langkah ini berarti adalah kerasnya reaksi dari Israel, baik di lingkup resmi maupun masyarakat umum.
Prancis memiliki rekam jejak panjang di Timur Tengah, ditandai oleh kebijakan luar negeri yang relatif seimbang.
Tradisi ini diwariskan dari para pemimpin seperti Charles de Gaulle dengan kebijakannya yang sering kali membuat Israel gerah.
Jacques Chirac yang pernah juga dikonfrontasi aparat Israel saat mengunjungi Tepi Barat, hingga François Mitterrand yang secara terbuka menyambut Presiden Yasser Arafat pada 1990.
Kini, Macron tampaknya berusaha menghidupkan kembali semangat itu. Ia mengambil posisi yang kontras dengan kecenderungan beberapa negara Barat, termasuk Amerika Serikat (AS), yang secara terbuka atau diam-diam memberikan ruang bagi rencana pemindahan penduduk Palestina.
Dalam konteks ini, sikap Prancis menjadi penting. Negara ini bukan hanya anggota tetap Dewan Keamanan PBB dan pemilik kekuatan nuklir, tetapi juga memiliki pengaruh signifikan di Eropa dan Afrika.
Dunia sedang berubah. Kekuasaan tidak lagi ditentukan oleh besarnya perdagangan, melainkan oleh posisi strategis dalam kebijakan global.
Bagi Prancis, Timur Tengah adalah panggung yang menentukan. Di tengah ketidakpastian global, Prancis pun perlu menata ulang kebijakan luar negerinya, menentukan kembali mitra-mitranya di kawasan.
Pendekatan baru ini selaras dengan semangat yang terkandung dalam Inisiatif Arab dari Konferensi Timur-Tengah (KTT) Beirut 2002.
Hal itu sejalan pula dengan posisi negara-negara seperti China serta negara-negara Global South yang semakin bersuara dalam percaturan internasional.
Lebih jauh, sikap Prancis juga bersinergi dengan posisi Mesir dan Yordania. Kedua negara memiliki kepentingan langsung dalam krisis Gaza, baik dari aspek geografis maupun tanggung jawab historis dan kemanusiaan.
Kunjungan Macron ke Kairo dan pertemuannya dengan Presiden Abdel Fattah El-Sisi serta Raja Abdullah II dari Yordania bukan hanya simbolis. Melainkan sinyal dimulainya kemitraan strategis baru yang juga mendukung rencana rekonstruksi Gaza yang digagas dalam KTT Arab.
Inisiatif ini bisa dimaknai sebagai upaya untuk membentuk pendekatan baru terhadap isu Palestina yang tidak sepenuhnya bergantung pada Amerika Serikat.
Sejak Perjanjian Camp David 1979, AS telah menjadi aktor dominan dalam isu ini. Namun, dominasi tersebut kini mulai dipertanyakan, baik oleh negara-negara di kawasan maupun oleh rakyat Amerika sendiri.
Meski Prancis tidak berniat menggantikan peran AS sepenuhnya, gerakan ini tetap membawa konsekuensi.
Ia memberi tekanan moral dan diplomatik pada Washington untuk tidak terus membiarkan rencana-rencana pemindahan paksa itu berjalan tanpa tantangan.
Sikap Prancis, sebagai posisi independen dari Uni Eropa, berpotensi memengaruhi negara-negara lain di benua tersebut.
Meski belum tentu diikuti oleh Jerman atau Italia, langkah ini bisa memperkuat posisi negara seperti Spanyol yang lebih terbuka terhadap pengakuan Palestina.
Dalam dunia yang dilanda ketegangan, kelangkaan harapan bisa menjadi ancaman serius. Maka, Konferensi Internasional yang digagas Prancis dan Arab Saudi patut dipandang sebagai peluang penting untuk membalikkan arus kekerasan. Jika berhasil, konferensi ini bisa menjadi titik balik menuju perdamaian berkelanjutan.
Konferensi tersebut tidak hanya memberi harapan bagi Palestina, tetapi juga bisa menjadi langkah awal rekonsiliasi yang lebih luas bagi kawasan yang selama puluhan tahun terpecah oleh konflik dan perang ideologi.
Ia juga bisa menjadi tembok penahan terhadap menguatnya otoritarianisme dan ekstremisme—baik di Timur Tengah maupun di jantung dunia Barat.
Maka, inisiatif ini bukan sekadar soal Palestina. Ini tentang arah dunia ke depan. Apakah kita memilih jalan penyelesaian, atau terus terseret dalam spiral kekerasan?
Dalam situasi seperti ini, setiap langkah diplomatik yang berpihak pada keadilan—terlepas dari siapa pengusungnya—layak diberi tempat dan dukungan.
*Hassan Ourid adalah seorang penulis dan akademisi Maroko, ia adalah seorang politikus dan penulis Maroko yang telah memegang beberapa posisi resmi. Karya sastra dan intelektualnya berfokus pada isu identitas, sejarah, dan politik. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Mākrūn Yurbika Lu’bah Nītanyāhū wa Trāmb, Mādzā Khadasta?”.