Oleh: Dr. Khaled Azab*
Perang yang berlangsung antara Israel dan Iran tak ubahnya seperti pertarungan eksistensial bagi kedua belah pihak.
Hasrat Israel untuk menghancurkan program nuklir Iran tampaknya semakin jauh dari kenyataan.
Serangan Amerika Serikat (AS) yang menargetkan permukaan program tersebut terbukti tidak menyentuh lapisan terdalamnya. Sementara itu, waktu tidak berpihak kepada tujuan strategis Israel.
Dalam kondisi ini, harapan tertinggi Israel saat ini pun tak lebih dari sekadar menunda laju program nuklir Iran selama beberapa tahun, bukan menghentikannya sepenuhnya.
Luasnya kawasan yang terdampak—dari Pakistan hingga Eropa—menandakan bahwa perang semacam ini tak akan diterima oleh lingkungannya. Dari sini, sejumlah pertanyaan muncul:
- Sejauh mana perang ini mencerminkan karakter baru konflik regional?
- Apa saja konsekuensi yang akan ditimbulkan?
- Dan, mungkinkah ada pihak yang benar-benar menang dalam perang ini?
Rusia di balik layar
Realitas politik global menunjukkan bahwa Rusia-lah pihak yang paling diuntungkan. Sebagai eksportir utama minyak, Rusia diuntungkan dari lonjakan harga energi.
Perang ini juga memberi ruang bagi Moskwa untuk melakukan kalkulasi ulang dalam perang di Ukraina.
Namun, baik Iran maupun Israel justru terjerat dalam konflik yang dikendalikan oleh dinamika di luar kendali mereka sendiri. Inilah yang mendorong AS untuk segera bertindak menghentikan eskalasi konflik.
Pertarungan citra
Israel dalam serangan awalnya sangat mengandalkan kekuatan citra. Tujuannya jelas: mengguncang psikologi publik Iran, serta menyebar rasa putus asa di kawasan Arab.
Rekaman kehancuran di Iran dan terbunuhnya para ilmuwan nuklir mereka disiarkan luas, menegaskan ketepatan dan keefektifan kekuatan militer Israel.
Namun, Iran merespons dengan gempuran beruntun yang mengguncang Israel. Meski korban di pihak Israel relatif terbatas, gambar kehancuran di Tel Aviv dan Haifa memberi nilai simbolis tinggi bagi Teheran.
Di media sosial Arab, gambar kehancuran di Israel menyebar luas, menandai perubahan persepsi.
Israel, yang selama ini digambarkan sebagai kekuatan militer tak terkalahkan sejak Perang 1967, mulai kehilangan citra tersebut.
Kondisi ini membuka celah baru di kalangan generasi muda Arab, yang mungkin akan tumbuh dengan keyakinan bahwa Israel bukan lagi kekuatan absolut yang tak tergoyahkan.
Artinya, ini bukan hanya pertarungan fisik, tetapi juga perang psikologis yang bisa mengubah arah sejarah.
Superioritas senjata dan kelemahannya
Keunggulan militer Israel selama ini terletak pada kekuatan udaranya, yang terbukti ampuh dalam menghadapi Hezbollah dan Hamas.
Namun, sebagian besar negara Arab—dan juga Iran—belum membangun sistem pertahanan udara yang memadai untuk menandingi kekuatan ini, dengan pengecualian Mesir.
Iran menunjukkan bahwa ketahanan terhadap kekuatan udara Israel bukan mustahil. Keberhasilan Iran menjatuhkan jet tempur siluman F-35 menjadi penanda penting: Israel tak lagi mutlak tak tersentuh.
Jika Iran dan negara-negara Arab mampu mengembangkan sistem pertahanan udara dan teknologi drone mereka, wilayah udara Israel untuk pertama kalinya dalam sejarah bisa menjadi target yang rawan.
Kemampuan Iran untuk menembus sistem pertahanan rudal Israel menunjukkan bahwa masa depan pertahanan udara Tel Aviv tengah dipertanyakan. Di tengah keunggulan senjata Israel, kenyataan ini menjadi titik balik.
Biaya perang: Tidak hanya militer
Meski belum diketahui secara pasti berapa kerugian Iran, dampaknya terhadap perekonomian Iran diperkirakan akan besar. Namun di sisi lain, Israel juga tak lepas dari tekanan.
Terjadi penurunan aktivitas logistik udara, penangguhan jalur pelayaran ke pelabuhan-pelabuhannya, dan melemahnya ekonomi domestik secara perlahan.
Hal yang tidak disadari oleh AS dan Israel adalah karakter rakyat Iran yang tangguh menghadapi tekanan luar.
Ini adalah pelajaran pahit yang pernah dirasakan oleh Saddam Hussein ketika menyerang Iran pasca-revolusi.
Israel sendiri pernah menganggap Iran telah kehilangan kekuatannya di Suriah dan Lebanon, tetapi realitas membuktikan sebaliknya.
Jika Iran benar-benar ditekan hingga ke batas terakhir, bukan tidak mungkin mereka akan menyerang langsung kepentingan AS.
Ancaman itu bahkan telah disuarakan. Serangan terhadap situs nuklir Fordow—yang diduga dilakukan Amerika—menunjukkan keterlibatan langsung Washington.
Kekhawatiran utama Amerika bukan hanya pada kemungkinan meluasnya perang, tetapi pada dampaknya di dalam negeri Israel.
Eksodus warga sipil dari Israel—yang untuk pertama kalinya merasa negaranya tidak aman—menjadi indikator bahwa kekuatan militer saja tak lagi cukup.
Situasi ekonomi yang memburuk membuat Israel tidak siap untuk berperang dalam jangka panjang.
Kekalahan politik Netanyahu
Hasil akhir perang ini menempatkan Iran dalam posisi “tidak kalah”, meski tidak menang mutlak. Ini saja sudah menjadi kerugian strategis dan psikologis bagi Israel.
Bagi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, ini bukan sekadar kekalahan di medan tempur, tetapi ancaman bagi kelangsungan politik pribadinya.
Banyak kalangan di Israel memperkirakan bahwa kegagalan ini bisa membawanya ke ujung karier politik—bahkan ke balik jeruji.
AS akhirnya turun tangan untuk menghentikan perang dengan menekan Israel. Pasar energi tidak bisa terus menahan lonjakan harga, pasar saham global terancam ambruk, dan China mengamati semuanya dengan seksama, siap mengambil keuntungan geopolitik baru.
Era perang tak terselesaikan
Perang ini diakhiri dengan kesimpulan realistis: tidak ada yang menang, tidak ada yang kalah. Kedua belah pihak menerima hasil ini sebagai kenyataan geopolitik yang tak terhindarkan.
Namun, perang ini bukan sekadar pertempuran biasa. Ia menandai lahirnya jenis konflik baru: perang dari kejauhan yang tak berujung dan tak mudah diselesaikan.
Dan justru dalam skema besar ini, AS-lah yang kehilangan paling banyak. Ia membiarkan Rusia dan China mendapatkan celah strategis yang bisa mereka manfaatkan untuk memperluas pengaruh di masa depan. Bila dilewatkan, ini bisa menjadi “kesempatan emas” yang lenyap tanpa bekas.
*Dr. Khaled Azab merupakan akademis dan pakar warisan. Ia adalah seorang penulis dan profesor Mesir. Ia meraih gelar doktor dalam bidang arkeologi Islam. Ia menjabat sebagai kepala Sektor Proyek dan Layanan Pusat di Bibliotheca Alexandrina. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Limādzā Fasyilat Isrāīl Fī Kasri Īrān?”.