Monday, September 22, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI: Mengapa Netanyahu ngotot mendapatkan artefak dari Erdogan?

OPINI: Mengapa Netanyahu ngotot mendapatkan artefak dari Erdogan?

Oleh: Samir Al-Arki*

Ketegangan antara Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kembali memanas.

Kali ini, pemicu perdebatan adalah sebuah prasasti kuno dari kawasan Silwan yang tiba-tiba mencuat ke permukaan.

Namun, sesungguhnya persoalan itu hanyalah lapisan tipis yang menutupi alasan-alasan lebih dalam mengapa Netanyahu memilih untuk mengangkatnya di saat ini.

Bagi Netanyahu, isu ini bukan sekadar soal warisan arkeologis. Ia menjadikannya instrumen politik untuk memperkuat klaim historis Israel atas Yerusalem, sekaligus sarana menghadapi Erdogan. Pemimpin yang konsisten menentang kebijakan Israel dan lantang membela Palestina.

Sejarah panjang permintaan

Hingga beberapa pekan lalu, nama “prasasti Silwan” nyaris tidak dikenal publik luas.

Netanyahu sendiri yang “menghidupkannya kembali” dalam sebuah acara peresmian “terowongan kuno” di Yerusalem, pertengahan September lalu.

Dengan didampingi Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Marco Rubio, ia menyatakan bahwa prasasti itu adalah bukti historis keterkaitan orang Yahudi dengan Yerusalem.

Ia lalu menegaskan bahwa artefak itu kini berada di Turki, dan bahwa dirinya pernah berupaya memulangkannya sejak akhir 1990-an.

Upaya itu bukan sekali dua kali. Pada 2007, Wali Kota Yerusalem saat itu, Uri Lupolianski, meminta langsung kepada Duta Besar Turki di Tel Aviv.

Tahun 2017, giliran Menteri Kebudayaan Israel, Miri Regev, mencoba “membujuk” Ankara dengan imbalan dua ekor gajah untuk kebun binatang di Gaziantep.

Bahkan pada 2022, Presiden Israel Isaac Herzog kembali mengangkat isu serupa dalam rangkaian normalisasi hubungan dengan Turki. Semua ditolak.

Kini, Netanyahu memilih jalur berbeda. Ia tidak sekadar meminta, melainkan memprovokasi. Dengan nada menantang, ia berkata kepada Erdogan:

“Yerusalem bukan kota Anda, melainkan kota kami. Yerusalem akan selalu menjadi milik kami dan tidak akan pernah terbagi lagi.”

Pernyataan itu bukan hanya retorika. Netanyahu sengaja mengaitkannya dengan pengakuan Presiden Donald Trump atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel, serta menegaskannya di hadapan seorang menteri Amerika.

Momen itu dipilih di tengah genosida yang masih berlangsung di Gaza, bersamaan dengan penyelenggaraan KTT Arab-Islam di Doha yang menyoroti agresi Israel.

Sesungguhnya, pernyataan itu adalah balasan tertunda atas pidato Erdogan pada Oktober 2020.

Di hadapan parlemen Turki, Erdogan kala itu menegaskan bahwa Yerusalem adalah kota umat Islam, kota pertama arah kiblat, sekaligus tempat suci bagi umat Kristen dan Yahudi.

Erdogan menegaskan bahwa penjajahan atas Palestina merupakan pelanggaran nyata yang harus ditentang.

Ucapan tersebut sempat menguap tanpa gaung berarti, tetapi Netanyahu tidak melupakannya.

Ia menyimpan dan menunggu waktu yang tepat untuk melancarkan serangan balasan—dan ia memilih saat paling sarat simbol: kehadiran pejabat tinggi Amerika, momentum perang di Gaza, serta pertemuan solidaritas dunia Islam di Doha.

Makna penting prasasti

Israel, yang lahir tiba-tiba di tepi sejarah umat manusia, berhasil berdiri berkat dukungan kekuatan kolonial besar.

Di atas tanah Palestina yang dirampas, berdirilah sebuah negara dengan ideologi Zionisme yang bercorak eksklusif dan eliminatif.

Dalam kerangka itulah, rezim ini selalu berupaya mengumpulkan “bukti” historis untuk memperkuat klaimnya atas tanah yang telah mereka rebut dengan cara pengusiran, pendudukan, dan kebijakan apartheid selama puluhan tahun.

Prasasti Silwan menjadi salah satu dari tiga artefak terpenting yang dianggap sebagai bukti—setidaknya menurut perspektif Zionis—bahwa akar budaya dan agama Yahudi di Yerusalem berumur ribuan tahun.

Prasasti ini ditemukan tahun 1880 di sebuah terowongan di Yerusalem, ketika kota itu masih berada di bawah kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah. Isinya mengisahkan pembangunan saluran air kuno yang berfungsi memasok air ke kota.

Secara ringkas, catatan sejarah menyebutkan bahwa sekitar 3.000 tahun silam, Yerusalem dikepung oleh bangsa Asyur.

Saat itu, aliran air dari Mata Air Silwan terputus, sehingga Raja Hizkia memutuskan menggali terowongan yang menghubungkan sumber air langsung ke dalam kota.

Setelah proyek tersebut selesai, dibuatlah inskripsi dalam bahasa Ibrani di atas sebuah lempengan batu pada pintu masuk terowongan itu.

Ketika pertama kali ditemukan, prasasti itu tidak menimbulkan perdebatan berarti. Negara Israel belum ada, sehingga batu tersebut sekadar dianggap artefak kuno.

Belakangan, artefak itu dipugar dan dikirim ke Museum Kekaisaran di Istanbul. Dari prasasti tersebut kemudian dibuat beberapa replika, termasuk yang diragukan keasliannya, sementara naskah aslinya tetap tersimpan di Turki.

Dari sinilah kembali mengemuka pertanyaan mendasar: mengapa Netanyahu memilih untuk memperuncing perseteruannya dengan Erdogan sekarang, dengan mengangkat sebuah prasasti yang selama puluhan tahun hanya menjadi benda museum?

Alasan di balik eskalasi

Sejak meletusnya Operasi “Thaufan Al-Aqsha”, pertukaran pernyataan keras antara Turki dan Israel tidak pernah berhenti. Kadang berbentuk komentar pejabat, kadang berupa pernyataan resmi yang saling membalas.

Namun kali ini, Netanyahu memilih eskalasi yang berbeda. Ia menyusun waktu dan tempat dengan sangat hati-hati: Yerusalem yang diduduki sebagai panggung, kehadiran Menteri Luar Negeri Amerika Serikat sebagai saksi.

Selain itu juga sebagai momentum ketika Israel tengah memperluas lingkaran konfliknya, bukan hanya terhadap rakyat Palestina, melainkan juga terhadap negara-negara di kawasan. Dalam konteks itu, Turki dan Mesir berada di garis terdepan target selanjutnya.

Ada sejumlah pesan yang hendak disampaikan Netanyahu lewat langkahnya ini:

Pertama, menegaskan bahwa konfrontasi Israel dengan Turki tinggal menunggu waktu. Kebangkitan industri pertahanan Turki, ditambah posisi strategis Ankara dalam peta regional, membuat Netanyahu gelisah.

Dengan menyasar Erdogan secara pribadi, Netanyahu sesungguhnya sedang menghadapi lawan lama.

Saat Erdogan masih menjabat Wali Kota Istanbul, ia sudah menjadi penghalang bagi upaya Israel memperoleh prasasti Silwan. Kini, setelah lebih dari dua dekade Erdogan memimpin Turki, resistensi itu jelas semakin kuat.

Kedua, mengingatkan bahayanya keberlanjutan kepemimpinan Erdogan bagi proyek Zionis di kawasan.

Dari kacamata Israel, Erdogan adalah penerus jejak Sultan Abdulhamid II—penguasa Utsmaniyah terakhir yang berpengaruh—yang menolak tawaran Theodor Herzl untuk membeli tanah Palestina.

Ketiga, menyampaikan pesan khusus kepada Washington. Netanyahu ingin meyakinkan Gedung Putih bahwa Erdogan merupakan ancaman serius bagi Israel, terlebih saat hubungan Ankara–Washington relatif membaik.

Menurut rencana, Erdogan akan bertemu Presiden Amerika Serikat (AS) pada 25 September.

Hal ini menambah kegelisahan Netanyahu, apalagi mantan Presiden Donald Trump sebelumnya sempat menegurnya agar bersikap lebih rasional dalam menghadapi Turki.

Keempat, mengirim sinyal ke KTT Arab-Islam di Doha bahwa Israel tidak akan sendirian menghadapi potensi blok Arab-Islam.

Dengan menggandeng AS dalam bingkai “warisan bersama Yahudi-Kristen”, Netanyahu berusaha menunjukkan bahwa ia memiliki mitra strategis yang kokoh, bahkan ketika dunia Islam mencoba merapatkan barisan.

Pesan ini juga dimaksudkan untuk memperkuat komitmen Rubio terhadap agenda Israel.

Kelima, menegaskan klaim “ke-Yahudi-an” Yerusalem di hadapan seorang pejabat tinggi Amerika.

Dengan begitu, Netanyahu ingin mematahkan gagasan tentang kemungkinan lahirnya negara Palestina merdeka.

Pesan ini bukan hanya ditujukan ke Turki atau dunia Arab-Islam, melainkan juga ke seluruh komunitas internasional—terutama negara-negara Eropa yang masih mendorong pengakuan lebih luas bagi Palestina.

Penutup

Dengan mengangkat isu prasasti kuno, Netanyahu sejatinya sedang memainkan kartu simbolik untuk memperkuat proyek besar Israel: meneguhkan narasi historis demi melegitimasi upaya men-Judaize seluruh Palestina.

Namun tanpa disadari, langkah ini justru memberi ruang tambahan bagi Erdogan.

Netanyahu secara tidak sengaja meneguhkan citra Erdogan di mata publik, baik di Turki maupun dunia Islam, sebagai pemimpin yang konsisten menghadang proyek Zionis sejak masih menjabat Wali Kota Istanbul.

Sebuah warisan politik yang kini menjadi modal simbolik kuat bagi Erdogan dalam percaturan internasional.

*Samir Al-Arki adalah seorang penulis dan jurnalis Mesir, yang berspesialisasi dalam isu-isu kelompok dan gerakan Islam. Ia telah menerbitkan banyak studi dan makalah penelitian tentang isu-isu pemikiran Islam. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Limādzā Yastamītu Nitanyāhū Liḥuṣhūl ‘Alā al-Naqsyi al-Ḥajarī Min Ardūghān?”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular