Oleh: Dr. Abdul Hafeez Al-Siriti
Konflik berkepanjangan di Gaza kembali menyingkap lembar lama dari strategi militer dan politik Israel yang kini diperbarui dalam wajah baru.
Kali ini, proyek yang disebut “Poros Morag”—atau yang dikenal pula dengan nama “Philadelphia 2”—kembali mencuat ke permukaan sebagai bagian dari skenario untuk memutus sepenuhnya koneksi Gaza dengan dunia luar, khususnya Mesir.
Di baliknya, tersimpan ambisi lebih besar: membungkam perlawanan Palestina, sekaligus mengosongkan Gaza dari penduduknya.
Bagi pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang didominasi sayap kanan, Gaza bukan hanya zona konflik. Melainkan “masalah” yang ingin mereka hilangkan sepenuhnya dari peta demografi dan geopolitik.
Berulang kali Netanyahu menyatakan ketidakinginannya atas munculnya entitas semacam “Hamastan” atau “Fatahstan” di Gaza.
Pernyataan ini mengingatkan pada pernyataan keras mantan Perdana Menteri, Yitzhak Rabin yang pernah berharap agar “laut menelan Gaza.”
Retorika seperti itu tak sekadar menggambarkan keputusasaan, melainkan menyiratkan upaya terencana untuk membenarkan tindakan ekstrem.
Termasuk pengosongan wilayah secara paksa—sebuah langkah yang oleh banyak pihak dikategorikan sebagai bentuk pembersihan etnis.
Dalam situasi ini, rakyat Gaza dihadapkan pada pilihan tragis: mati di tempat, atau terusir dari tanah kelahiran mereka.
Poros Morag, menurut berbagai sumber, adalah langkah strategis yang dirancang untuk menutup satu-satunya jalur keluar dari Gaza menuju Rafah di Mesir.
Ini bukan hanya tentang membatasi mobilitas, tetapi juga tentang mencabut “urat nadi” kehidupan Gaza.
Di wilayah seluas hanya 365 kilometer persegi, agresi tanpa henti selama lebih dari 17 bulan belum mampu meruntuhkan perlawanan yang terus bertahan. Meski dengan harga sangat mahal: hampir 200.000 korban jiwa dan luka, termasuk anak-anak dan perempuan.
Langkah demi langkah yang diambil Israel menunjukkan bahwa serangan ini bukan sekadar aksi militer, melainkan bagian dari proyek rekayasa demografi dan geopolitik.
Dukungan penuh dari Amerika Serikat (AS)—baik dalam bentuk senjata, dana, maupun perlindungan diplomatik—membuat Israel leluasa menjalankan agendanya.
Sayangnya, hukum internasional dan lembaga multilateral gagal memberikan batas nyata atas apa yang banyak pihak sebut sebagai “perang pemusnahan.”
Yang menarik, meski mengerahkan kekuatan besar dan teknologi mutakhir, Israel belum berhasil mencapai tujuan utamanya: menghancurkan perlawanan dan membebaskan sandera.
Alih-alih mundur, Netanyahu terus mencari celah untuk menciptakan kesan kemenangan. Poros Morag bisa jadi merupakan upaya untuk menutup kegagalan tersebut dengan pencapaian simbolik: mengisolasi dan menekan Gaza hingga titik nadir.
Patut dicatat, konsep Poros Morag bukan hal baru. Ia sudah muncul sejak era Ariel Sharon yang pada awal 2000-an menarik pasukannya dari Gaza setelah tekanan kuat dari Intifada dan dampak invasi AS ke Irak.
Namun, bila dulu Sharon memilih mundur karena tekanan global, Netanyahu saat ini merasa memiliki kebebasan tanpa batas, bergerak brutal tanpa takut akan konsekuensi internasional.
Penempatan pasukan Israel di Rafah—kota perbatasan penting yang menghubungkan Jalur Gaza dengan Mesir—dan upaya menjadikannya sebagai zona penyangga setelah mengosongkannya dari sekitar 200.000 penduduknya, bukan hanya bentuk agresi terhadap Palestina.
Langkah ini sejatinya membawa implikasi strategis yang lebih luas, termasuk potensi ancaman langsung terhadap keamanan nasional Mesir.
Transformasi Rafah menjadi “kota hantu” adalah bagian dari skenario besar yang bertujuan mengubah lanskap geografis dan demografis Gaza.
Aksi-aksi ini berjalan seiring dengan serangkaian pelanggaran yang makin kerap terjadi di Masjid Al-Aqsha, yang tak jarang bersifat provokatif.
Semua ini menggambarkan bahwa proyek besar yang dijalankan Israel tidak sekadar ingin menekan perlawanan, tetapi menghapus seluruh fondasi perjuangan Palestina.
Di tengah situasi yang semakin genting ini, dunia Arab dan Islam tampak absen dari panggung perlawanan diplomatik.
Ketika otoritas resmi regional memilih diam, yang muncul justru pertanyaan yang menggantung: ke mana arah kita sebenarnya?
Ambisi ekspansionis Israel juga tidak lagi terbatas pada tanah Palestina. Wacana dan manuver politik Netanyahu kerap menyentuh kawasan lain seperti Lebanon, Suriah, Mesir, Yordania, bahkan Arab Saudi dan Irak.
Dengan mengandalkan dukungan tanpa syarat dari AS, Israel merasa cukup kuat untuk menjalankan agenda yang berani: membentuk ulang Timur Tengah.
Ini bukan sekadar jargon politik, melainkan bagian dari visi besar yang disebut Netanyahu sebagai “mengubah wajah Timur Tengah.”
Sayangnya, banyak negara Arab justru terseret dalam posisi pasif yang memperkuat dominasi tersebut.
Sementara itu, Palestina menjadi semakin terisolasi, baik secara fisik maupun politik.
Kekuatan perlawanan dikepung, rakyat didesak untuk meninggalkan tanah mereka, dan wilayah Gaza terus dipreteli menjadi serpihan-serpihan tak terhubung. Poros Morag menjadi simbol nyata dari strategi pecah-belah ini.
Tujuan utama dari rencana itu setidaknya ada dua. Pertama, memaksa eksodus massal warga Gaza ke luar wilayah, meskipun upaya ini telah ditolak secara tegas oleh Mesir dan Yordania.
Kedua, menghancurkan sisa-sisa kekuatan perlawanan—dengan segala cara, bahkan jika itu berarti menggunakan senjata terlarang.
Ini adalah skenario ekstrem yang diusung dalam operasi militer Netanyahu yang didukung penuh oleh Washington.
Apabila rencana ini benar-benar terealisasi, maka Israel bersama AS akan berhasil menetapkan tatanan baru di Timur Tengah.
Namun, keberhasilan itu akan datang dengan harga sangat mahal: keruntuhan kehormatan politik dan strategi negara-negara Arab, yang akan keluar sebagai pihak paling merugi dalam arena geopolitik kawasan.
Jika tekanan terhadap Gaza terus meningkat, dan jika mimpi buruk seperti penghancuran Masjid Al-Aqsha benar-benar diwujudkan, maka konflik Palestina tidak lagi akan terbatas pada wilayah itu saja.
Ia akan meledak dan menyentuh jantung politik serta sosial dunia Arab dan Islam.
Karena itu, proyek-proyek yang digagas oleh Netanyahu dan para sekutunya harus dilihat bukan hanya sebagai agresi terhadap Palestina. Melainkan juga sebagai ancaman eksistensial bagi stabilitas kawasan.
Waktu untuk bertindak mungkin tinggal sedikit—atau bisa jadi, kita telah terlambat dan sedang tergelincir menuju jurang yang dalam.
*Dr. Abdul Hafeez Al-Siriti adalah penulis Maroko, peneliti ilmu politik, yang mengkhususkan diri dalam isu-isu transisi demokrasi di dunia Arab. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Mukhaṭhaṭh Syārūn al-Rahīb Fī Gazah: Mādzā Na’rif ‘An Miḥwar “Mūrāgh?”.