Oleh: Dr. Mahmoud Al-Hanafi
Pemandangan memilukan terjadi pada 26 Mei 2025 di Rafah, Gaza. Ribuan warga Palestina yang kelaparan berebut bantuan di sebuah pusat distribusi, hingga menyebabkan kekacauan besar.
Pasukan Israel yang berjaga di lokasi bahkan melepaskan tembakan peringatan ke udara untuk mengendalikan massa.
Peristiwa ini bukan sekadar persoalan teknis atau kelalaian dalam manajemen distribusi. Ia adalah potret padat dari krisis kemanusiaan yang kian dalam.
Rakyat yang terjepit dalam blokade panjang, terpaksa berebut remah-remah bantuan di bawah bayang-bayang senjata.
Upaya sebelumnya untuk membuka jalur bantuan melalui “pelabuhan terapung” yang digagas oleh Israel dan Amerika Serikat (AS) pun berakhir tanpa hasil.
Proyek itu, yang digembar-gemborkan sebagai solusi inovatif, kandas di tengah kritik tajam terkait logistik dan keamanan.
Gagalnya inisiatif tersebut hanya menambah keraguan atas keseriusan pihak-pihak terkait dalam menjawab kebutuhan mendesak warga Gaza.
Kini, muncul inisiatif baru bertajuk “bantuan kemanusiaan” yang digerakkan oleh Israel dan AS.
Namun, langkah ini justru memunculkan pertanyaan mendasar: dapatkah sebuah rencana yang dijalankan dalam logika pendudukan dan dikawal oleh militer disebut “kemanusiaan”? Di mana letak netralitas dan independensi ketika badan-badan PBB justru disingkirkan demi memberi tempat bagi entitas keamanan yang baru?
Tulisan ini mencoba mengurai gagasan di balik rencana tersebut, meninjau dari aspek hukum internasional dan prinsip-prinsip kemanusiaan, demi menilai sejauh mana ia sejalan—atau justru menyimpang—dari mandat global dalam kerja-kerja bantuan.
Gaza dan tanggung jawab Israel sebagai kekuatan pendudukan
Meski Israel menarik pasukannya dari dalam wilayah Gaza sejak 2005, secara hukum internasional wilayah tersebut masih dianggap berada di bawah pendudukan.
Ini karena Israel tetap mengontrol perbatasan, ruang udara, dan alur keluar-masuk barang maupun orang.
Pandangan ini telah ditegaskan oleh Mahkamah Internasional maupun Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Konsekuensinya jelas: Israel memikul tanggung jawab penuh atas kesejahteraan penduduk sipil di Gaza, termasuk menjamin kelancaran masuknya bantuan tanpa hambatan yang tidak semestinya.
Bahkan setelah peristiwa 7 Oktober 2023, hukum internasional tetap melarang hukuman kolektif terhadap warga sipil. Perlindungan terhadap mereka harus tetap dijalankan.
Karena itu, setiap skema bantuan yang tidak berangkat dari tanggung jawab hukum ini—melainkan digunakan untuk menghindarinya—secara jelas bertentangan dengan hukum humaniter internasional.
Pelanggaran prinsip kemanusiaan dalam skema bantuan Gaza
Operasi bantuan kemanusiaan internasional seharusnya berpijak pada 4 prinsip utama:
- Kemanusiaan (untuk meringankan penderitaan dan melindungi kehidupan).
- Netralitas (tidak berpihak dalam konflik).
- Independensi (bebas dari intervensi politik dan militer).
- Tanpa diskriminasi (menyalurkan bantuan secara adil kepada siapa pun yang membutuhkan).
Prinsip-prinsip ini menjadi fondasi agar bantuan tetap murni untuk tujuan kemanusiaan, tanpa terseret kepentingan geopolitik.
Namun, implementasi bantuan kemanusiaan di Gaza melalui skema Israel-Amerika, khususnya lewat pembentukan Gaza Humanitarian Foundation (GHF), memunculkan kekhawatiran serius atas pelanggaran prinsip-prinsip tersebut.
Didirikan di Delaware, AS, pada Februari 2025, GHF mengklaim bertujuan mendistribusikan bantuan makanan ke Gaza secara “aman dan transparan”, dengan dukungan pemerintahan Trump dan pemerintah Israel.
Sejak awal, GHF menuai kritik dari berbagai organisasi kemanusiaan karena dianggap mempolitisasi distribusi bantuan.
Skema operasionalnya dinilai menyimpang dari norma internasional. 4 pusat distribusi berskala besar—kebanyakan berlokasi di Gaza selatan—dibangun dengan pengamanan ketat dari tentara Israel dan perusahaan keamanan swasta asal AS.
Penempatan pasukan Israel di sekitar pusat-pusat tersebut dilakukan dengan dalih “jaminan keamanan”.
Para penggagas skema bahkan menyebut bahwa inisiatif ini satu-satunya yang disetujui Israel.
Sebuah pernyataan yang menegaskan bahwa seluruh mekanisme bantuan tunduk pada kehendak otoritas pendudukan.
Fakta ini secara terang-terangan bertentangan dengan prinsip independensi bantuan kemanusiaan, yang seharusnya dikelola lembaga internasional atau pihak netral, bukan bergantung pada koordinasi keamanan dari pihak yang terlibat dalam konflik.
Prinsip netralitas juga tercoreng oleh kebijakan “verifikasi keamanan” terhadap para penerima bantuan.
Pihak GHF secara terbuka menyatakan bahwa warga Gaza akan diperiksa apakah memiliki hubungan dengan Hamas, termasuk melalui teknologi pengenalan wajah dan data biometrik.
Ini berarti, akses terhadap bantuan dikaitkan dengan afiliasi politik, suatu pelanggaran terhadap prinsip netralitas dan nondiskriminasi.
Tak hanya itu, prinsip kemanusiaan sendiri menjadi diragukan. Skema distribusi GHF dibatasi hanya satu atau dua kali dalam sebulan, dengan isi bantuan berupa makanan kaleng, produk kebersihan, dan obat-obatan, dengan biaya tak lebih dari 1,3 dolar AS per paket.
Nilai ini menggambarkan betapa terbatas dan minimnya cakupan bantuan yang ditawarkan—jauh dari cukup untuk menjawab kebutuhan besar warga Gaza.
PBB dan sejumlah lembaga internasional mengecam rencana ini sebagai tidak transparan dan tidak memadai.
Thomas Fletcher, pejabat senior urusan kemanusiaan PBB, menyebut bahwa skema GHF tak ubahnya “tirai asap” yang menyembunyikan agenda militer dan politik.
Ia bahkan menuding bahwa makanan dijadikan alat tawar-menawar untuk memenuhi tujuan keamanan Israel—sebuah praktik yang oleh pejabat PBB lain dijuluki sebagai “militerisasi bantuan” (weaponizing aid).
Peringatan Fletcher tidak berdiri sendiri. Pada 25 Mei 2025, Jake Wood, Direktur Eksekutif GHF, mengundurkan diri.
Ia menyatakan bahwa mustahil menjalankan mandat lembaga sambil tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip kemanusiaan.
Wood secara terbuka menolak terlibat dalam skema yang mengarah pada pengusiran paksa warga Palestina, dan menyerukan Israel untuk membuka akses tanpa diskriminasi terhadap bantuan.
Meski demikian, GHF mengklaim akan tetap melanjutkan operasinya dan menjanjikan distribusi makanan bagi satu juta warga dalam waktu sepekan.
Tetapi, pada pelaksanaan pertama di Rafah pada 26 Mei 2025, skema tersebut langsung menghadapi kegagalan.
Ribuan warga kelaparan menyerbu pusat distribusi hingga situasi tak terkendali, memaksa staf mundur setelah tentara Israel melepaskan tembakan peringatan.
Kekacauan tersebut mengonfirmasi kekhawatiran bahwa skema ini tidak aman, tidak netral, dan membahayakan warga sipil.
Terlebih lagi, lembaga-lembaga internasional berpengalaman seperti UNRWA dan Palang Merah Internasional secara sengaja dikesampingkan, padahal mereka memiliki kapasitas dan legitimasi dalam mengelola bantuan secara langsung dan profesional.
Israel berdalih bahwa saluran bantuan tradisional telah runtuh, dan karenanya membentuk mekanisme baru.
Namun, bagi banyak warga Palestina, ini adalah upaya menggantikan lembaga-lembaga sah dengan entitas yang dapat dikendalikan penuh oleh Israel.
Sebelum GHF muncul, sempat digagas pula inisiatif “pelabuhan laut terapung” di lepas pantai Gaza, yang dioperasikan oleh militer AS sebagai jalur masuk bantuan.
Meski dipromosikan sebagai solusi kreatif atas hambatan logistik, pelabuhan ini tidak memenuhi syarat hukum maupun kemanusiaan.
Ia sepenuhnya berada di bawah kontrol Israel, berkapasitas terbatas, dan tak melibatkan badan PBB secara aktif.
Proyek ini hancur pada April 2025 akibat badai dan masalah internal berupa tumpang tindih wewenang serta buruknya koordinasi.
Sejumlah organisasi internasional menyebut pelabuhan ini tak lebih dari “gimik kemanusiaan”, yang pada kenyataannya hanya memperkuat narasi keamanan Israel, bukan memperkuat jalur bantuan.
Analisis yang berkembang menunjukkan bahwa skema Israel-Amerika, baik GHF maupun pelabuhan terapung, tak sekadar bermasalah secara teknis dan prinsipil.
Di baliknya, tersembunyi tujuan yang lebih dalam: merekayasa ulang blokade dan melegitimasi kelaparan sebagai bagian dari strategi tekanan, agar warga Gaza terdorong untuk hengkang secara perlahan akibat kelelahan fisik dan psikologis.
Distribusi yang dimiliterisasi juga membuka celah penyalahgunaan data pribadi. Perusahaan keamanan asal AS, Safe Reach Solutions—didirikan oleh eks agen CIA—dilaporkan terlibat dalam pengumpulan dan analisis data biometrik para penerima bantuan, menimbulkan ketakutan bahwa warga yang sekadar antre makanan bisa dijadikan target intelijen.
Jaringan LSM Palestina (PNGO) dalam pernyataannya pada 22 Desember 2024 menuduh Israel berupaya mengendalikan penuh arus bantuan dan membungkam pihak-pihak yang mendokumentasikan pelanggaran.
Mereka menilai ini sebagai bagian dari pola sistematis yang mengarah pada kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana dicatat oleh Amnesty International dan Human Rights Watch.
Langkah mengecualikan PBB dari skema bantuan dinilai sangat membahayakan, karena menghilangkan mekanisme pengawasan internasional dan akses warga terhadap jalur pengaduan formal.
Sejumlah negara seperti Irlandia, Spanyol, dan Norwegia menyatakan dukungan terbuka terhadap UNRWA dan menolak segala bentuk pengabaian atas mandat lembaga tersebut.
Menariknya, cabang GHF di Swiss telah dibubarkan bahkan sebelum menyalurkan bantuan apa pun.
Penyelidikan pidana yang dilakukan otoritas Swiss membuat operasional dialihkan sepenuhnya ke entitas di Amerika.
Investigasi yang dilakukan New York Times dan Washington Post mengungkap bahwa proyek ini sesungguhnya lahir dari dapur pemerintah Israel, yang berupaya menyembunyikan keterlibatannya melalui yayasan-yayasan fiktif.
Pemimpin oposisi Israel, Yair Lapid, bahkan menyebut GHF dan Safe Reach sebagai “perusahaan hantu” yang dibentuk hanya untuk menutupi peran pemerintah Israel dalam proyek bantuan bermuatan politik dan militer.
Gaza, antara muslihat bantuan dan senjata kelaparan
Sejak dimulainya agresi militer Israel ke Gaza pada Oktober 2023, kekerasan yang terjadi bukan hanya berupa serangan udara atau darat.
Pola yang terbangun jauh lebih kompleks: penggabungan sistematis antara pemusnahan infrastruktur, pemaksaan pengungsian, dan—yang paling menyayat hati—penggunaan kelaparan sebagai senjata.
Amnesty International dan Human Rights Watch termasuk di antara lembaga internasional yang menggolongkan situasi ini sebagai indikasi genosida.
Bukan semata karena tingginya jumlah korban jiwa, tapi juga karena pola pemutusan akses terhadap kebutuhan pokok seperti pangan, air, listrik, dan obat-obatan.
Tuduhan ini menjadi lebih serius saat Jaksa Pengadilan Kriminal Internasional mengajukan permintaan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan Israel atas dugaan penggunaan kelaparan sebagai alat hukuman kolektif.
Dalam lanskap yang demikian gelap, muncul ironi tajam: negara yang dituduh sebagai pelaku genosida justru hadir dengan skema bantuan yang disebut “kemanusiaan.”
Pertanyaannya: bagaimana mungkin pelaku kekerasan kolektif sekaligus memegang kendali distribusi bantuan? Di sinilah letak paradoks moral dan operasional dari rencana seperti Gaza Humanitarian Foundation (GHF), yang oleh banyak pengamat dinilai tidak lebih dari wajah lembut dari kebijakan pembungkaman.
Di balik jargon kemanusiaan, GHF justru mempraktikkan model distribusi yang sarat muatan politik dan keamanan.
Dengan pengawasan ketat militer Israel, keterlibatan perusahaan keamanan asal AS, serta penapisan biometrik terhadap penerima bantuan.
Skema ini dipandang telah mencederai esensi 4 prinsip dasar kerja kemanusiaan: kemanusiaan, netralitas, independensi, dan non-diskriminasi.
Ketika bantuan pangan dikondisikan pada keamanan dan kedekatan politik, maka bukan hanya prinsip dilanggar, melainkan juga martabat manusia direndahkan.
Kegagalan GHF, yang berpuncak pada pengunduran diri direktur eksekutifnya sendiri, membuka ruang perenungan dan koreksi.
Apa yang terjadi di Gaza tak semata mencerminkan kegagalan logistik, tetapi krisis integritas dalam pengelolaan bantuan global. Maka ke depan, ada lima pelajaran utama yang patut disorot:
- Menghidupkan kembali prinsip-prinsip kemanusiaan
Setiap rencana bantuan yang mengesampingkan netralitas, independensi, dan non-diskriminasi niscaya akan gagal. Gaza membuktikan bahwa pencampuran agenda politik dalam skema bantuan hanya memperpanjang penderitaan. - Memperkuat peran lembaga kemanusiaan tradisional
Upaya untuk mengesampingkan UNRWA dan Palang Merah justru menyoroti pentingnya lembaga-lembaga ini. Dengan rekam jejak panjang dan kepercayaan publik yang tinggi, mereka tetap menjadi pilar utama dalam penanganan krisis. - Membangun perlindungan hukum atas bantuan kemanusiaan
Tantangan saat ini menuntut pembaruan kerangka hukum. Dunia internasional perlu merumuskan protokol tambahan dalam Konvensi Jenewa untuk melindungi bantuan dari politisasi dan militerisasi. - Mendorong akuntabilitas internasional
Penggunaan kelaparan sebagai senjata dapat menjadi preseden baru dalam hukum internasional. Kasus GHF dan upaya politisasi bantuan dapat dijadikan bukti dalam pengadilan untuk menunjukkan pelanggaran sistematis terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan. - Gaza sebagai cermin moral dunia
Gaza kini bukan lagi isu lokal atau konflik regional. Ia telah menjelma menjadi panggung moral global, yang menantang dunia untuk membuktikan apakah solidaritas kemanusiaan masih hidup dan bermakna. Skandal bantuan yang dipolitisasi menunjukkan bahwa bahkan nilai kemanusiaan pun bisa diperdagangkan. Namun justru dari sini, harapan dapat tumbuh: bahwa Gaza bisa menjadi titik balik dalam membangun sistem bantuan global yang adil, bebas dari intervensi politik, dan sungguh-sungguh menjaga martabat manusia.
*Dr. Mahmoud Al-Hanafi adalah profesor hukum internasional dan Hak Asasi Manusia di Lebanese International University. Ia juga merupakan direktur Asosiasi Hak Asasi Manusia Palestina, direktur cabang Pusat Studi Timur Tengah di Lebanon. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Masyāhid Mufji’ah Ghairu Masbūqah Min Markaz al-Musā’adāt al-Amrīkī Fī Ghazah”.