Oleh: K.H Fahmi Salim
Fatwa jihad sering menjadi instrumen strategis dalam merespons krisis yang dihadapi umat Islam di berbagai belahan dunia. Baru-baru ini, seruan jihad yang dikeluarkan oleh Persatuan Ulama Muslim Internasional terkait situasi di Gaza memicu kontroversi dan respon keras dari Dewan Fatwa Mesir. Perbedaan tajam dalam narasi kedua lembaga ini tidak hanya mencerminkan perbedaan pandangan keagamaan, tetapi juga dinamika politik yang kompleks.
Narasi Fatwa Persatuan Ulama Muslim Internasional
Persatuan Ulama Muslim Internasional dalam fatwanya menyerukan jihad sebagai kewajiban kolektif (fardhu kifayah) dan dalam kondisi tertentu menjadi kewajiban individu (fardhu ‘ain) bagi umat Islam untuk melawan agresi Israel terhadap Palestina. Dalam fatwa tersebut, jihad tidak hanya mencakup perlawanan fisik tetapi juga jihad melalui dukungan finansial, diplomasi, dan boikot ekonomi terhadap entitas yang mendukung penjajahan Israel.
Narasi fatwa ini mengemuka dengan argumen teologis yang kuat, mengacu pada ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW. Selain itu, fatwa ini menekankan kewajiban solidaritas umat Islam dan mengutuk pemerintah Arab dan Islam yang dianggap berdiam diri atau bahkan mendukung secara tidak langsung agresi Israel melalui hubungan diplomatik dan ekonomi.
Fatwa ini juga mengkritik keras negara-negara yang mengabaikan penderitaan rakyat Palestina, menyerukan pembentukan koalisi militer Islam untuk melindungi Gaza, dan meminta umat Islam di seluruh dunia untuk menekan pemerintah mereka agar bertindak lebih tegas terhadap Israel.
Respons Dewan Fatwa Mesir
Sebagai salah satu lembaga fatwa terkemuka di dunia Islam, Dewan Fatwa Mesir mengambil posisi yang bertolak belakang. Fatwa jihad dari Persatuan Ulama Muslim Internasional dianggap tidak sah dan bahkan dituding sebagai provokasi yang berpotensi mengganggu stabilitas politik dan keamanan nasional.
Dewan Fatwa Mesir berargumen bahwa jihad tidak dapat dilakukan tanpa izin penguasa (ulil amri) yang sah. Mereka menegaskan pentingnya menjaga stabilitas negara sebagai prioritas utama dan menghindari tindakan yang dapat memicu anarki. Fatwa jihad yang bersifat transnasional seperti ini dinilai melangkahi otoritas penguasa lokal dan berisiko memicu konflik internal.
Narasi Dewan Fatwa Mesir juga mencerminkan posisi pemerintah Mesir yang telah menormalisasi hubungan dengan Israel. Oleh karena itu, fatwa ini menggarisbawahi pentingnya solusi diplomatik dan menghindari pendekatan konfrontasi langsung. Dewan ini juga menyoroti pentingnya menjaga hubungan baik dengan komunitas internasional, termasuk Amerika Serikat yang menjadi sekutu strategis Mesir.
Analisis Perbandingan
1. Perspektif Teologis
Persatuan Ulama Muslim Internasional memusatkan perhatian pada solidaritas umat Islam global dan kewajiban agama untuk membela kaum tertindas. Sebaliknya, Dewan Fatwa Mesir lebih menekankan aspek otoritas politik dan stabilitas domestik dalam menerapkan fatwa jihad.
2. Konteks Politik
Fatwa dari Persatuan Ulama Muslim Internasional cenderung berbasis pada narasi resistensi terhadap dominasi geopolitik Barat dan Zionisme. Di sisi lain, respons Dewan Fatwa Mesir selaras dengan kebijakan luar negeri Mesir yang pragmatis, termasuk hubungan diplomatik dengan Israel dan Amerika Serikat.
3. Pendekatan Strategis
Persatuan Ulama Muslim Internasional mengusulkan pendekatan konfrontatif melalui jihad dalam berbagai bentuk, termasuk boikot ekonomi. Sebaliknya, Dewan Fatwa Mesir mendukung solusi diplomatik dan menghindari konflik yang dapat merusak stabilitas regional.
4. Dampak pada Umat
Fatwa jihad dari Persatuan Ulama Muslim Internasional memberikan semangat perjuangan bagi umat Islam, terutama mereka yang mendukung perjuangan Palestina. Namun, Dewan Fatwa Mesir berupaya mencegah mobilisasi massa yang dapat mengarah pada tindakan radikal atau kekacauan di dalam negeri.
Kesimpulan
Perbedaan narasi antara Persatuan Ulama Muslim Internasional dan Dewan Fatwa Mesir mencerminkan ketegangan antara visi idealis keagamaan dan pragmatisme politik. Di satu sisi, ada seruan untuk membela hak-hak rakyat Palestina melalui jihad, sementara di sisi lain ada kekhawatiran akan dampak destabilisasi yang mungkin terjadi.
Kedua pendekatan ini menunjukkan bahwa fatwa jihad tidak hanya bersifat teologis tetapi juga dipengaruhi oleh kalkulasi politik dan dinamika kekuasaan. Umat Islam dihadapkan pada tantangan untuk menavigasi perbedaan ini dalam upaya mencapai keadilan dan perdamaian bagi rakyat Palestina tanpa mengorbankan stabilitas domestik di negara-negara Muslim.
Penulis adalah founder Baitul Maqdis Institute.