Friday, January 24, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOpiniOPINI: Periode kedua Trump dan kebijakannya terhadap Palestina

OPINI: Periode kedua Trump dan kebijakannya terhadap Palestina

Oleh: Ashraf Al-Ajrami

Donald Trump memasuki Gedung Putih untuk kedua kalinya sebagai Presiden ke-47 Amerika Serikat setelah mengucapkan sumpah jabatan. Masa jabatan barunya tentu akan sangat menarik, mengingat kebijakan kontroversial yang selalu ia terapkan, baik di dalam negeri maupun dalam hubungan luar negeri.

Ia memulai hari pertama dengan menandatangani sejumlah perintah eksekutif yang menyentuh berbagai isu domestik dan internasional, yang ia anggap sebagai perbaikan atas kebijakan dan keputusan yang diambil oleh pendahulunya, Presiden Joe Biden.

Selain itu, ini juga menjadi bagian dari implementasi platform pemilihannya dan kemenangan bagi para pendukung serta sekutunya di dalam negeri.

Kebijakan luar negeri yang akan diambil Trump diperkirakan akan sangat berbeda dengan pendahulunya. Ia berjanji untuk mengakhiri semua perang, terutama di Ukraina, dan beralih menuju penyelesaian damai atau perjanjian. Trump juga berencana mengenakan tarif pada sejumlah negara, seperti Kanada dan Meksiko, serta mengubah nama Teluk Meksiko menjadi Teluk Amerika.

Ia ingin mengontrol Terusan Panama dan Greenland, serta menarik AS keluar dari Perjanjian Paris mengenai perubahan iklim dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Selain itu, Trump menuntut negara-negara anggota NATO untuk meningkatkan kontribusinya sebesar 5 persen dari PDB mereka—yang ditolak oleh beberapa negara Eropa, seperti Jerman.

Trump juga berambisi mengibarkan bendera AS di Mars, bersama sejumlah impian besar lainnya, semua dengan slogan “America First” untuk mengembalikan AS ke garis depan dunia dan memulihkan kekuatannya.

Namun, yang menjadi perhatian utama adalah kebijakan Trump terkait dengan isu Palestina-Israel. Meskipun belum jelas apa yang akan dilakukan Trump di Timur Tengah, beberapa petunjuk mengarah pada kebijakan yang kurang menguntungkan bagi Palestina. Pengalaman kita dengan Trump pada masa jabatannya yang lalu sudah cukup memberikan gambaran.

Trump memiliki proyek yang disusun oleh para pembantunya yang sangat pro-Israel, yang dikenal dengan nama “Kesepakatan Abad Ini”. Proyek ini mengatur pembentukan Negara Palestina hanya di 70 persen wilayah yang diduduki sejak 1967. Dalam proyek tersebut, Israel diberi izin untuk mencaplok sebagian besar wilayah Area C di Tepi Barat.

Selain itu, Trump memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem, menutup kantor PLO di Washington, serta menutup konsulat AS di Yerusalem Timur. Selama masa jabatannya yang lalu, Trump juga memotong seluruh bantuan AS kepada Otoritas Palestina, termasuk dana untuk proyek infrastruktur dan layanan keamanan. Trump bahkan menghentikan dukungan untuk UNRWA (Badan PBB untuk Pengungsi Palestina).

Salah satu perintah eksekutif pertama Trump adalah membatalkan sanksi yang dijatuhkan oleh Biden terhadap pemukim dan kelompok pemukim yang terlibat dalam kekerasan terhadap warga Palestina di Tepi Barat. Langkah ini justru dilihat sebagai dorongan bagi para pemukim untuk melanjutkan serangan mereka terhadap warga Palestina, yang telah menyebabkan kerusakan besar di berbagai kota dan desa di Tepi Barat.

Dalam hal ini, proyek pencaplokan yang diusung oleh Menteri Israel Bezalel Smotrich di Tepi Barat juga berakar dari “Kesepakatan Abad Ini”, yang didukung oleh Trump. Mengundang pemukim untuk menghadiri pelantikan Trump, serta mencabut sanksi terhadap mereka, semakin memperkuat proyek pemukiman ini, memberikan sinyal positif bagi mereka untuk terus menyerang Palestina.

Beberapa bulan lalu, Trump bahkan menyatakan bahwa Israel terlalu kecil dan ia sedang mempertimbangkan cara untuk memperluas wilayahnya. Ini menunjukkan bahwa ia tetap berkomitmen untuk memberikan sebagian wilayah Palestina, dan mungkin wilayah Arab lainnya, untuk memperbesar negara Israel, agar sesuai dengan apa yang ia anggap sebagai “ukuran yang tepat.”

Setelah pelantikannya, Trump juga berbicara tentang Gaza yang memiliki lokasi geografis strategis dan mengenai kehancuran yang terjadi di sana, namun ia memisahkan isu Gaza dari persoalan Palestina secara umum, tanpa mengaitkannya dengan Tepi Barat.

Ia juga menyatakan ketidakpercayaannya bahwa kesepakatan antara Israel dan Hamas bisa tercapai. Bahkan, pembicaraannya tentang menghentikan perang tidak menyebutkan upaya untuk mencapai perdamaian permanen di Timur Tengah.

Jika kita perhatikan tim pemerintahan baru yang dipilih Trump, terutama Menteri Luar Negeri Marco Rubio dan Duta Besar AS untuk Israel, Mike Huckabee, kita dapat melihat bahwa mereka sangat ekstrem dan bias terhadap Israel.

Huckabee bahkan mengklaim bahwa “sebenarnya tidak ada yang namanya orang Palestina,” dan menyebut bahwa “itu hanya alat politik untuk merampas tanah dari Israel.”

Bagi Trump, yang terpenting adalah melanjutkan proses normalisasi hubungan antara negara-negara Arab dan Israel, sebagaimana tercantum dalam “Kesepakatan Abraham” yang ditandatangani selama masa jabatannya yang pertama.

Proses normalisasi ini tidak mencakup penyelesaian isu Palestina, yang seharusnya menjadi fokus utama dalam Inisiatif Perdamaian Arab. Kemajuan normalisasi dengan Israel oleh Arab Saudi akan dianggap sebagai pencapaian besar bagi Trump, meskipun normalisasi-normalisasi sebelumnya tidak membawa perubahan nyata.

Kita berharap Arab Saudi dapat mencegah normalisasi dengan Israel tanpa mengaitkannya dengan pembentukan Negara Palestina, sesuai dengan posisi yang telah dinyatakan oleh Putra Mahkota Mohammed bin Salman.

Perubahan sikap Arab Saudi untuk memenuhi tuntutan Trump tanpa menyelesaikan masalah Palestina akan menjadi kerugian besar dan kesempatan yang sangat berharga yang mungkin tidak akan datang kembali.

Ashraf al-Ajrami adalah Menteri Urusan Tahanan untuk Otoritas Palestina (PA) antara tahun 2007 dan 2009. Tulisan ini diambil dari opininya di Middle East Monitor berjudul The new Trump and his policy on Palestine

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Pengajar HI Universitas Al Azhar Indonesia, Mahasiswa PhD Hubungan Antarbangsa Universitas Sains Malaysia.
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular