Oleh: Dr. Mahmoud Al-Hanafi
Profesor Hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia
Dalam dunia yang didominasi oleh kepentingan strategis dan geopolitik, Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, telah memicu kontroversi besar dengan rencananya untuk mengusir 2,2 juta warga Palestina dari Jalur Gaza ke Mesir dan Yordania.
Rencana ini, yang serupa dengan pembersihan etnis wilayah Gaza dari penduduknya setelah perang destruktif selama 15 bulan, menghadapi hambatan hukum dan internasional yang besar, yang terinspirasi dari strategi sejarah yang sebelumnya gagal mencapai tujuannya.
Dalam artikel ini, kita akan meninjau dimensi hukum dari rencana kontroversial ini, menyoroti upaya-upaya historis pengusiran paksa, serta membahas mekanisme yang dapat digunakan oleh Mesir, Yordania, dan komunitas internasional untuk menentang skema ini, dengan fokus pada penguatan ketahanan warga Palestina sebagai strategi utama untuk menjaga hak-hak dan identitas nasional mereka.
Konteks internasional dari rencana Trump
Pernyataan Trump mengenai rencana pemindahan warga Palestina dari Gaza ke Mesir dan Yordania muncul dalam konteks internasional yang kompleks, ditandai dengan meningkatnya ketegangan di Timur-Tengah.
Gaza sendiri telah mengalami serangkaian perang yang berulang dengan Israel, yang menyebabkan memburuknya kondisi kemanusiaan di wilayah tersebut.
Pernyataan ini terkait dengan “Kesepakatan Abad Ini” yang diluncurkan Trump sebagai bagian dari solusi politik yang bertujuan untuk menguntungkan Israel dengan memberikan janji-janji ekonomi kepada warga Palestina tanpa memenuhi hak-hak politik mereka yang sah. Rencana ini pun ditolak secara luas.
Selain itu, rencana ini muncul bersamaan dengan dorongan pemerintahan Trump untuk menandatangani perjanjian normalisasi antara Israel dan beberapa negara Arab (Perjanjian Abraham), yang berkontribusi dalam mengurangi tekanan terhadap Israel dalam menyelesaikan masalah Palestina.
Di tingkat global, rencana ini juga bertepatan dengan ketegangan antara AS dan Iran, yang mendukung faksi-faksi bersenjata Palestina di Gaza, dengan tujuan melemahkan pengaruh Iran di kawasan tersebut.
Sementara itu, di dalam negeri, Trump berupaya memperkuat dukungannya di kalangan basis pro-Israel, terutama kaum evangelis Kristen, dalam rangka persiapan pemilihan presiden, serta menekan Mesir dan Yordania untuk menanggung lebih banyak tanggung jawab atas pengungsi Palestina, sehingga membebaskan Israel dari beban politik, ekonomi, dan keamanan apa pun.
Sejarah penusiran warga Palestina
Sejarah mencatat banyak upaya untuk mengusir atau menempatkan kembali warga Palestina di luar tanah air mereka, tetapi semuanya gagal karena kompleksitas politik dan perlawanan dari warga Palestina itu sendiri.
Salah satu usaha yang paling menonjol adalah proyek pemukiman di Sinai pada tahun 1955, yang diusulkan oleh Israel dengan dukungan Inggris dan AS untuk menempatkan kembali pengungsi Palestina di utara Sinai.
Namun, rencana ini ditolak keras oleh Mesir di bawah kepemimpinan Gamal Abdel Nasser dan juga oleh warga Palestina.
Selain itu, pada tahun 1960-an dan 1970-an, ada upaya untuk memukimkan kembali warga Palestina di Yordania, yang menyebabkan ketegangan antara faksi Palestina dan pemerintah Yordania, berujung pada peristiwa “September Hitam” pada tahun 1970.
PBB dan negara-negara Barat juga mengusulkan program pemukiman kembali internasional melalui UNRWA, yang menawarkan solusi pemukiman bagi pengungsi Palestina di negara-negara penerima dengan imbalan dukungan finansial.
Namun, rencana ini juga ditolak mentah-mentah oleh warga Palestina yang mempertahankan hak mereka untuk kembali ke tanah air, serta ditolak juga oleh negara-negara Arab yang khawatir akan penghapusan isu Palestina dan mengganggu keseimbangan politik di kawasan.
Faktor utama kegagalan upaya-upaya ini adalah keteguhan warga Palestina dalam mempertahankan hak nasional mereka serta penolakan negara-negara Arab untuk menanggung beban penyelesaian masalah Palestina ini atas nama Israel.
Israel telah berupaya selama puluhan tahun untuk mengusir warga Palestina, terutama di Jalur Gaza, dengan menggunakan alasan keamanan dan militer untuk mengosongkan daerah pemukiman dan mengubah demografi sesuai dengan kepentingan strategisnya.
Upaya ini sudah berlangsung lama, tetapi menjadi lebih jelas selama operasi militer Israel yang disebut “Operasi Protective Edge” pada tahun 2014.
Dalam operasi tersebut, tentara Israel menargetkan daerah utara Gaza seperti ‘Beit Hanoun’ dan ‘Beit Lahia’ dengan penembakan intensif, serta mengeluarkan peringatan kepada penduduk untuk meninggalkan rumah mereka.
Meskipun beberapa keluarga mengungsi sementara ke pusat-pusat perlindungan, sebagian besar penduduk kembali setelah pertempuran berakhir, yang menunjukkan kegagalan Israel dalam menciptakan perubahan demografi permanen.
Dalam beberapa tahun berikutnya, tujuan Israel menjadi lebih jelas melalui pernyataan para pejabat senior. Misalnya, Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir, secara terbuka menyerukan pemukiman kembali ratusan ribu warga Gaza di luar wilayah Palestina.
Sementara itu, Menteri Keuangan, Bezalel Smotrich, mendukung langkah-langkah yang bertujuan untuk mengubah demografi Gaza secara permanen. Pernyataan ini memicu kecaman internasional yang luas dan digambarkan sebagai bukti niat Israel untuk secara radikal mengubah susunan demografi Gaza.
Dalam perang Gaza tahun 2023, Israel semakin berusaha mencapai tujuan tersebut. Mereka secara terbuka menyatakan niatnya untuk mengosongkan Gaza utara dengan alasan menghancurkan infrastruktur Hamas, menggunakan pemboman besar-besaran dan peringatan massal untuk memaksa penduduk mengungsi ke selatan.
Namun, banyak warga Palestina yang tetap bertahan dan kembali ke rumah mereka setelah pertempuran, menunjukkan bahwa upaya Israel untuk melakukan pemindahan paksa tetap tidak berhasil.
Sejarawan Israel, Benny Morris, dalam bukunya seperti “1948 and After” dan “The Nakba: The Story of the Arab-Israeli Conflict,” menyebutkan bahwa kebijakan Israel terhadap Palestina selalu mencakup unsur pemindahan paksa sebagai bagian dari rencana strategis.
Ia menunjukkan bahwa eksodus warga Palestina selama Nakba 1948 bukan hanya terjadi akibat perang, tetapi bagian dari kebijakan sistematis pembersihan etnis untuk mengurangi populasi Arab di wilayah pendudukan.
Selain operasi militer, investigasi oleh Amnesty International menunjukkan bahwa Israel melakukan tindakan yang setara dengan genosida, termasuk pembunuhan disengaja, menyebabkan cedera fisik dan psikologis pada penduduk, serta menempatkan mereka dalam kondisi kehidupan yang keras dengan tujuan untuk menghancurkan mereka.
Kebijakan ini mencerminkan upaya Israel yang jelas untuk menghilangkan keberadaan Palestina di Gaza melalui kombinasi pengusiran dan pemusnahan.
Upaya Israel untuk memindahkan paksa warga Palestina, meskipun dilakukan dengan kekejaman dan eskalasi yang terus-menerus, telah terbukti gagal mencapai tujuannya.
Hal ini disebabkan oleh keteguhan rakyat Palestina dan tekad mereka untuk tetap bertahan di tanah mereka.
Bagaimana pandangan hukum internasional?
Hukum internasional dengan tegas menolak pengusiran paksa, berdasarkan ketentuan utama yang mengutuk praktik ini baik dalam masa perang maupun damai. Konvensi Jenewa Keempat tahun 1949 dalam Pasal 49 melarang pemindahan paksa penduduk dari wilayah yang diduduki, sementara Pasal 147 mengklasifikasikan pengusiran paksa sebagai pelanggaran berat dan kejahatan perang.
Statuta Roma tahun 1998, yang menjadi dasar Mahkamah Pidana Internasional (ICC), memperkuat posisi ini.
Pasal 8 (2) (b) (viii) mengkriminalisasi pemindahan paksa ilegal, sementara Pasal 7 (1) (d) menganggap pengusiran paksa sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan jika dilakukan secara luas atau sistematis.
Selain itu, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menegaskan hak individu untuk kebebasan bergerak dan memilih tempat tinggalnya.
Resolusi PBB seperti Resolusi 242 (1967) dan Resolusi 194 (1948) menegaskan larangan perampasan tanah dengan kekerasan serta menjamin hak pengungsi Palestina untuk kembali ke tanah air mereka.
Pengusiran paksa warga Palestina bukan hanya pelanggaran mencolok terhadap hukum internasional, tetapi juga secara praktis berarti upaya menghapuskan perjuangan Palestina dan memadamkan aspirasi rakyatnya dalam membangun negara sendiri.
Bagaimana mungkin membicarakan negara Palestina jika rakyatnya terusir dari tanahnya? Baik di Tepi Barat, Jalur Gaza, maupun Yerusalem, pengusiran bertujuan mencabut rakyat Palestina dari akar sejarah mereka dan mengubah tanah mereka menjadi proyek permukiman Israel, sehingga membuat solusi dua negara menjadi mustahil.
Hukum internasional memberikan kerangka kerja yang kuat untuk mengutuk pengusiran paksa, serta menjadi referensi dalam menekan Israel secara politik dan diplomatik melalui lembaga internasional seperti PBB dan ICC.
Namun, penerapan hukum ini menghadapi tantangan besar. Ketiadaan mekanisme penegakan yang efektif sangat bergantung pada kerja sama negara-negara, sehingga sulit menerapkan sanksi jika pihak yang dituduh menolak mematuhi hukum.
Selain itu, terdapat standar ganda dalam kebijakan internasional, di mana negara-negara besar seperti Amerika Serikat melindungi Israel dari sanksi internasional, sebagaimana didokumentasikan dalam berbagai resolusi yang diblokir di Dewan Keamanan PBB.
Situasi geopolitik saat ini juga menghambat tercapainya konsensus internasional yang cukup untuk menerapkan sanksi.
Hal ini terlihat dalam Sidang Umum PBB, di mana beberapa negara menolak mengakui pengusiran paksa sebagai kejahatan.
Agar dapat berhasil, perlu ada peningkatan tekanan politik global, mobilisasi opini publik, serta pemanfaatan platform hukum untuk mengajukan kasus-kasus yang solid guna mengekspos praktik-praktik ini dan menyeret Israel ke dalam pertanggungjawaban hukum internasional.
Tanpa langkah-langkah ini, hukum internasional hanya akan menjadi alat yang kuat di atas kertas tetapi kurang efektif dalam realitas.
Sikap praktis Mesir dan Yordania
Mesir dan Yordania dengan tegas menolak segala upaya pengusiran paksa terhadap warga Palestina karena hal ini merupakan pelanggaran serius terhadap hukum internasional, khususnya Konvensi Jenewa Keempat tahun 1949 yang melarang pemindahan paksa penduduk, serta Statuta Roma ICC yang mengklasifikasikan pengusiran paksa sebagai kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Selain itu, pengusiran paksa juga bertentangan dengan prinsip keamanan nasional Arab yang berlandaskan dukungan terhadap perjuangan Palestina.
Kedua negara ini sebelumnya telah menolak rencana serupa karena dampak langsungnya terhadap stabilitas domestik mereka, serta karena Israel dan sekutunya di Barat tidak menawarkan solusi politik yang dapat diterima.
Sikap resmi dan diplomatik Mesir serta Yordania, yang disampaikan melalui pernyataan tegas, meningkatkan tekanan internasional terhadap Israel dan menarik kritik global, yang pada akhirnya mendukung ketahanan rakyat Palestina di tanah mereka serta mencegah pemberian legitimasi politik terhadap rencana pengusiran.
Secara praktis, Mesir dan Yordania dapat mengambil langkah-langkah konkret untuk mencegah pelaksanaan rencana pengusiran paksa ini.
Mereka harus memperketat pengawasan perbatasan guna memastikan bahwa warga Palestina tidak dipaksa keluar dari tanah mereka, sekaligus menjamin aliran bantuan kemanusiaan yang aman dan berkelanjutan ke Gaza untuk mengurangi tekanan ekonomi dan sosial yang dapat mendorong warga mengungsi.
Dalam konteks ini, Mesir khususnya harus menghadapi tekanan dari Israel dan Amerika Serikat yang dapat menghambat masuknya bantuan atau pergerakan individu untuk tujuan kemanusiaan.
Selain itu, kedua negara harus memberikan dukungan kepada rakyat Palestina di Gaza melalui kerja sama dengan organisasi internasional, serta mengaktifkan koordinasi regional dan global melalui Liga Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk menggalang dukungan Arab yang lebih luas guna meningkatkan isolasi Israel di panggung internasional.
Upaya ini akan mencegah perubahan demografi di Gaza dan menjaga isu Palestina tetap menjadi perhatian dunia, sambil menegaskan hak warga Palestina untuk kembali ke tanah mereka. (Penerjemah: Ali Muhtadin)