Sunday, July 20, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI: Senjata paling berbahaya Iran dan Israel dalam perang mendatang

OPINI: Senjata paling berbahaya Iran dan Israel dalam perang mendatang

Oleh: Aref Dehghandar

Dalam lanskap keamanan global yang kian tidak menentu, senjata nonkonvensional — mulai dari nuklir, kimia, biologis, hingga siber — memainkan peran yang semakin sentral.

Senjata-senjata ini tidak sekadar instrumen militer, melainkan alat strategis yang mampu mengubah jalannya konflik, menciptakan kerusakan meluas, serta merestrukturisasi keseimbangan kekuatan dunia.

Ketika tidak ada otoritas global yang sepenuhnya mampu menegakkan hukum internasional, senjata nonkonvensional menjadi jaminan bertahan hidup bagi negara-negara yang merasa terancam.

Konflik yang semakin memanas antara Iran dan Israel merupakan contoh nyata betapa kompleksnya peran senjata jenis ini di kawasan Timur Tengah.

Dalam skenario perang terbuka antara keduanya, kehadiran senjata nonkonvensional akan menjadi faktor yang sangat menentukan—baik dari sisi militer maupun geopolitik.

Antara senjata nonkonvensional dan senjata terlarang

Senjata nonkonvensional didefinisikan sebagai jenis persenjataan yang memiliki daya rusak luar biasa.

Selain itu, senjata tersebut jugaberdampak luas terhadap masyarakat dan lingkungan, berbeda dari senjata konvensional. Kategori ini mencakup senjata nuklir, kimia, biologis, dan juga senjata siber.

Namun demikian, sebagian dari senjata ini masuk ke dalam kategori yang dilarang secara internasional.

Konvensi Senjata Kimia (CWC) dan Konvensi Senjata Biologis (BWC) melarang produksi, penyimpanan, dan penggunaan jenis senjata tertentu.

Meski begitu, tantangan tetap muncul, terutama dalam aspek pengawasan dan penegakan.

Lebih-lebih lagi, senjata siber, yang merupakan kategori baru dan masih berkembang, belum sepenuhnya terakomodasi dalam kerangka hukum internasional yang mengikat.

Perbedaan mendasar ini menjadi penting dalam memahami konflik antara Iran dan Israel. Di satu sisi, senjata kimia dan biologis berada dalam pengawasan ketat — setidaknya di atas kertas.

Namun di sisi lain, senjata siber masih beroperasi di wilayah abu-abu hukum internasional. Hal itu membuka ruang manipulasi dan penyalahgunaan di medan yang sulit dilacak dan hampir tak mungkin diaudit secara terbuka.

Senjata nonkonvensional sebagai instrumen strategis

Dari sudut pandang militer dan diplomatik, senjata nonkonvensional adalah alat strategis yang tidak hanya digunakan untuk bertempur, tetapi juga untuk bernegosiasi, mengancam, dan mempertahankan eksistensi negara. Masing-masing jenis senjata ini menawarkan keuntungan tertentu bagi pemiliknya:

  • Senjata nuklir adalah simbol kekuatan sekaligus penangkal utama terhadap ancaman eksistensial. Konsep “keseimbangan ketakutan” atau balance of terror mencerminkan peran penting senjata ini dalam mencegah pecahnya perang besar secara langsung.
  • Senjata kimia dan biologis, karena murah dan relatif mudah diproduksi, menjadi alternatif menarik bagi negara yang tidak memiliki keunggulan militer konvensional. Dalam konteks perang asimetris, senjata ini memberi keunggulan taktis meskipun penggunaannya melanggar hukum internasional.
  • Senjata siber, dengan kemampuan menyerang infrastruktur vital tanpa harus menginvasi wilayah lawan, menjelma sebagai alat perang era digital. Dari sabotase jaringan listrik hingga manipulasi data intelijen, senjata ini menawarkan bentuk serangan yang tersembunyi namun mematikan.

Dalam lingkungan global yang penuh kecurigaan, senjata-senjata ini menjadi penjamin terakhir bagi negara yang merasa tidak bisa bergantung pada sistem keamanan internasional.

Ketimbang dilucuti, senjata nonkonvensional justru dipertahankan — atau bahkan dikembangkan — sebagai instrumen pertahanan diri sekaligus ancaman yang kredibel terhadap musuh.

Di masa depan, dengan berkembangnya teknologi seperti kecerdasan buatan, sistem keamanan global yang sudah rapuh kemungkinan besar akan semakin terancam.

Sistem pengawasan dan perlucutan senjata pun akan menghadapi tantangan baru yang belum pernah dihadapi sebelumnya.

Senjata siber dan ancaman perang nonkonvensional Iran–Israel

Senjata siber kini telah menempati posisi penting dalam jajaran senjata nonkonvensional.

Berbeda dari senjata tradisional yang mengandalkan daya ledak dan kekuatan fisik, senjata siber bekerja secara diam-diam namun menghantam titik-titik vital suatu negara—mulai dari sistem listrik dan keuangan hingga pertahanan nasional—tanpa kontak langsung di medan perang.

Efeknya bisa menyerupai tsunami digital yang melumpuhkan fungsi negara modern.

Dengan karakteristiknya yang tidak kasatmata, senjata siber memungkinkan negara-negara dengan kapasitas militer terbatas untuk melumpuhkan lawan yang secara konvensional lebih unggul.

Biaya murah, eksekusi jarak jauh, serta kesulitan pelacakan menjadikan instrumen ini ideal bagi perang asimetris.

Namun justru karena itulah, pengaturannya sangat sulit. Sistem pengawasan internasional seperti yang diberlakukan pada senjata nuklir atau kimia belum mampu menjangkau kompleksitas teknologi siber.

Dalam banyak hal, senjata ini seperti bayangan yang menyerang tanpa wujud, namun meninggalkan kerusakan yang nyata.

Serangan virus Stuxnet oleh Israel dan sekutunya terhadap fasilitas nuklir Iran di Natanz pada 2010 menjadi contoh konkret betapa strategis dan efektifnya senjata siber dalam mengguncang musuh.

Ancaman eskalasi senjata nonkonvensional

Bila konflik bersenjata kembali meletus antara Iran dan Israel, skenario penggunaan senjata nonkonvensional—termasuk senjata siber—bukanlah hal mustahil.

Sejarah mencatat, Israel pernah dituduh menggunakan senjata terlarang di Gaza. Dr. Munir Al-Bursh, pejabat Kementerian Kesehatan di Gaza, melaporkan adanya senjata misterius yang menyebabkan tubuh korban “meleleh”, sementara Human Rights Watch menyatakan adanya indikasi penggunaan senjata termal.

Melihat ancaman eksistensial yang dirasakan Iran, wacana untuk meninjau ulang doktrin pertahanannya mulai mengemuka.

Meskipun Menteri Luar Negeri Iran, Dr. Abbas Araghchi, menegaskan bahwa Teheran tidak berniat keluar dari Traktat Nonproliferasi Nuklir (NPT), tekanan dan serangan terhadap instalasi nuklirnya dapat memaksa Iran mempertimbangkan kembali sikap strategisnya.

Hal ini pernah disampaikan oleh Dr. Kamal Kharazi, Ketua Dewan Strategis Hubungan Luar Negeri Iran.

Sebaliknya, Israel sendiri hingga kini belum menandatangani NPT dan tetap merahasiakan kapasitas nuklirnya.

Ketertutupan ini memperburuk ketimpangan persepsi dan meningkatkan potensi perlombaan senjata di kawasan.

Sistem pengawasan yang melemah

Sistem pengawasan global seperti NPT, CWC, dan BWC dibentuk untuk mencegah proliferasi senjata nonkonvensional. Namun sistem ini kini menghadapi krisis efektivitas karena beberapa alasan:

  • Tingginya ketidakpercayaan antarnegara, yang membuat kepatuhan terhadap perjanjian-perjanjian internasional menjadi rendah. Israel, misalnya, di luar kerangka NPT, sementara Iran—meski anggota resmi—sering dituding tidak transparan.
  • Kelemahan dalam mekanisme verifikasi, terutama terhadap senjata biologis dan siber yang secara teknis sulit dideteksi dan dilacak. Kasus Stuxnet menunjukkan celah besar dalam kemampuan deteksi dan respons sistem internasional.
  • Dinamika geopolitik regional, khususnya di Timur Tengah, mendorong negara-negara untuk mempertahankan atau bahkan memperluas kemampuan nonkonvensional mereka. Israel, sebagai satu-satunya negara nuklir di kawasan dan didukung penuh oleh Amerika Serikat, telah menciptakan ketidakseimbangan strategis yang memicu instabilitas.
  • Kegagalan konsensus global, seperti yang terlihat dalam dua Konferensi Peninjauan NPT terakhir pada 2015 dan 2022, yang berujung pada kegagalan karena perbedaan tajam mengenai isu seperti pembentukan zona bebas senjata nuklir di Timur Tengah.

Masa depan yang rapuh

Dalam konflik Iran-Israel, senjata siber—karena sifatnya yang sulit dilacak dan berdampak luas—menjadi tantangan besar bagi sistem pengawasan internasional.

Serangan siber terhadap infrastruktur, baik yang dilakukan oleh Israel maupun Iran, telah menunjukkan bahwa senjata ini memainkan peran penting dalam konflik era digital.

Ketiadaan definisi universal tentang “serangan siber” serta tidak adanya mekanisme verifikasi yang kuat memperumit upaya membentuk sistem pengawasan yang efektif. Akibatnya, potensi eskalasi konflik justru meningkat, bukan menurun.

Senjata nonkonvensional, pada akhirnya, bukan hanya alat perang, tetapi juga alat negosiasi dan pengaruh global.

Dalam dunia yang diwarnai ketidakpercayaan dan persaingan geopolitik tajam, senjata ini menjadi simbol status, sumber daya politik, dan alat pertahanan terakhir.

Dan bertentangan dengan harapan kaum idealis, situasi ini membuat upaya pelucutan senjata semakin sulit, bahkan hampir mustahil.

Dalam konflik eksistensial yang menyangkut identitas dan kelangsungan negara, seperti antara Teheran dan Tel Aviv, upaya kedua pihak untuk membuktikan keseriusan ancamannya sangat mungkin dilakukan.

Maka, dalam bayang-bayang perang mendatang, senjata nonkonvensional bisa saja menjadi bukan sekadar opsi, melainkan keniscayaan.

*Aref Dehghandar adalah peneliti keamanan internasional Iran. Ia juga merupakan seorang jurnalis yang mengkhususkan diri dalam kebijakan luar negeri. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Akhṭhar Aslihat Īrān wa Isrāīl Fī Ḥarbihim al-Qādimah”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular