Oleh: Faiza Shaheen
Keputusan Pemerintah Israel untuk menolak masuk dua anggota parlemen dari Partai Buruh Inggris, Yuan Yang dan Abtisam Mohamed, memicu kecaman dari sejumlah politisi di Inggris. Namun, kritik yang muncul dinilai sebagian kalangan sebagai reaksi yang lebih dipicu oleh kepentingan pribadi partai ketimbang solidaritas terhadap penderitaan rakyat Palestina.
Kedua anggota parlemen tersebut berencana melakukan kunjungan ke wilayah Tepi Barat, namun dideportasi oleh otoritas Israel dengan alasan diduga akan menyebarkan “kebencian terhadap Israel” dan mendokumentasikan aktivitas pasukan keamanan Israel.
Langkah Israel ini dianggap sebagai bagian dari upaya membatasi akses terhadap informasi yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia di wilayah pendudukan. Lembaga internasional seperti Amnesty International dan Human Rights Watch sebelumnya telah menyebut Israel sebagai negara apartheid atas perlakuannya terhadap warga Palestina.
Kecaman Tanpa Tindakan Nyata
Menteri Luar Negeri Inggris dari Partai Buruh, David Lammy, menyampaikan pernyataan keras dengan menyebut tindakan Israel sebagai “tidak dapat diterima, kontra-produktif, dan sangat memprihatinkan”. Namun, hingga saat ini, belum ada kebijakan konkret yang diambil Partai Buruh untuk menanggapi insiden tersebut.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan di kalangan aktivis dan pengamat politik mengenai sejauh mana komitmen Partai Buruh terhadap isu Palestina. Beberapa pihak menilai bahwa Partai Buruh, di bawah kepemimpinan saat ini, cenderung menghindari kritik keras terhadap Israel, bahkan ketika laporan pelanggaran berat hak asasi manusia terjadi di Gaza dan Tepi Barat.
Pengalaman pribadi menguatkan kritik
Seorang mantan calon anggota parlemen dari Partai Buruh yang gagal mencalonkan diri pada pemilu 2024 mengungkapkan pengalamannya bahwa dukungan terhadap Palestina menjadi alasan pencoretan namanya dari daftar calon. Ia menilai bahwa banyak kader Partai Buruh saat ini lebih mengutamakan kepentingan politik internal dibandingkan dengan keadilan kemanusiaan.
Menurutnya, sikap selektif Partai Buruh dalam mengecam tindakan Israel menunjukkan bahwa penderitaan rakyat Palestina belum menjadi prioritas dalam kebijakan luar negeri partai tersebut. Hal ini, kata dia, diperkuat dengan pernyataan David Lammy pada akhir 2023 yang menyebut bahwa pemilih Muslim kemungkinan akan “melupakan” posisi partai terkait konflik Gaza menjelang pemilu.
Kebutuhan Akan Gerakan Politik Alternatif
Kondisi ini menegaskan pentingnya membangun gerakan politik di luar struktur pemerintahan yang ada. Aksi boikot, demonstrasi, hingga tekanan melalui pemilu lokal dan nasional dinilai sebagai langkah yang dapat digunakan untuk mengirim pesan tegas kepada para elite politik: dukungan terhadap pelanggaran HAM tidak akan dilupakan pemilih.
“Jika Anda mendukung genosida, kami tidak akan memberikan suara. Kami tidak akan melupakan kelambanan Anda,” ujar tokoh yang aktif dalam gerakan solidaritas untuk Palestina.
Dr. Faiza Shaheen adalah Distinguished Policy Fellow di London School of Economics, dan penasihat untuk Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia Barat (UNESCWA). Ia merupakan penulis berbagai publikasi yang membahas isu-isu sosial dan ekonomi, termasuk ketimpangan, penghematan anggaran, imigrasi, dan mobilitas sosial. Ia memiliki pengalaman lebih dari 20 tahun dalam meneliti tren dan dampak dari ketimpangan, serta merancang kebijakan dan kampanye. Bukunya yang berjudul Know Your Place: How Society Sets Us Up to Fail and What We Can Do About It dirilis pada Juli 2023 oleh Simon & Schuster. Faiza juga pernah mencalonkan diri sebagai kandidat dari Partai Buruh lalu sebagai kandidat Independen di daerah asalnya, Chingford & Woodford Green, pada tahun 2019 dan 2024.