Thursday, May 22, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI: Tiga keberhasilan spektakuler Erdogan dalam sepekan

OPINI: Tiga keberhasilan spektakuler Erdogan dalam sepekan

Oleh: Kemal Öztürk*

Pekan lalu menjadi saksi peristiwa yang luar biasa dalam sejarah Turki modern. Hiruk-pikuk diplomatik dan gejolak politik internasional membuat para diplomat, jurnalis, aparat keamanan, dan pejabat tinggi negara berjibaku tanpa jeda.

Malam-malam tanpa tidur menjadi rutinitas, dengan kelelahan yang tampak jelas di wajah-wajah mereka.

Sebagai jurnalis yang berupaya mengikuti setiap perkembangan, menulis laporan, serta menjelaskan berbagai peristiwa yang ditayangkan siang malam di layar kaca, saya pun ikut merasakan beratnya pekan yang melelahkan itu.

Perkembangan berlangsung begitu cepat, hingga artikel yang baru ditulis pagi hari terasa usang ketika sore menjelang.

Tak heran bila stasiun-stasiun televisi akhirnya memilih menyiarkan tayangan langsung tanpa henti, menghubungkan reporter mereka secara terus-menerus dengan lokasi kejadian.

Kehadiran Erdogan dalam pertemuan bersejarah di Riyadh

Dunia tengah menanti kunjungan bersejarah Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, ke tiga negara Teluk.

Di Turki, media nasional mengikuti setiap langkah Trump, menyajikannya sebagai berita utama.

Namun, perhatian publik mendadak berpindah ke Riyadh ketika tersiar kabar mengejutkan: pertemuan antara Trump dan Ahmed al-Shara, tokoh oposisi yang dahulu buron, akan berlangsung.

Seolah belum cukup mengejutkan, muncul pula pengumuman bahwa Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, turut serta dalam pertemuan tersebut.

Ia bergabung dalam forum empat pihak bersama Putra Mahkota Saudi Mohammad bin Salman, Trump, dan al-Sharaa. Seketika, mata dunia tertuju ke Riyadh.

Pada saat bersamaan, para menteri luar negeri dari 32 negara anggota NATO tengah menggelar pertemuan di Antalya.

Ketika notifikasi soal pertemuan kuartet itu muncul di layar ponsel mereka, para staf diplomatik segera menyampaikan informasi kepada para menteri.

Tak butuh waktu lama, ratusan media yang sebelumnya berkumpul di Antalya pun beralih mengalihkan fokus liputannya ke ibu kota Arab Saudi.

Saya pun sempat bertanya kepada seorang pejabat tinggi yang mengikuti pertemuan, mengenai bagaimana Erdogan bisa turut serta.

“Putra Mahkota Arab Saudi sendiri yang mengundang Erdogan. Sebenarnya Presiden Erdogan ingin hadir langsung di Riyadh, tetapi karena kendala logistik, ia mengikuti secara daring melalui sistem konferensi video,” jawabnya jelas.

Pertemuan kuartet yang picu kemarahan Israel

Pertemuan empat pemimpin di Riyadh ini membawa implikasi strategis yang sangat penting bagi masa depan Suriah.

Sosok Ahmed al-Sharaa, yang sebelumnya diburu dan dianggap persona non grata, kini duduk sejajar dengan Presiden AS sebagai kepala negara. Sebuah transformasi politik yang mengindikasikan pergeseran besar dalam dinamika kawasan.

Posisi penting yang kini disandang al-Shara tidak datang dengan sendirinya. Ia memperoleh legitimasi internasional berkat dukungan nyata dari dua tokoh utama dalam pertemuan itu: Mohammad bin Salman dan Recep Tayyip Erdogan.

Tanpa keberanian Saudi dan Turki dalam mendukung al-Shara dan masa depan Suriah, pertemuan dengan Trump mungkin tak pernah terjadi.

Dari sini terlihat jelas bahwa aliansi antara Riyadh dan Ankara memiliki potensi untuk membentuk ulang lanskap politik Timur Tengah.

Reaksi atas pertemuan ini pun beragam. Di Suriah, rakyat menyambutnya dengan sorak sorai. Di Turki dan Arab Saudi, kebanggaan nasional bergema. Namun di Israel, kemarahan meledak.

Israel, yang selama ini dianggap memainkan peran dalam mengacaukan Suriah dan mendukung skenario pemecahan wilayah, merasa dikejutkan oleh ucapan Trump terhadap al-Sharaa,

“Seorang muda yang tampan, tegas, dan pejuang sejati,” kata Trump yang terdengar seperti tamparan keras bagi kepemimpinan Israel.

Dalam pertemuan itu, Trump bahkan menyatakan kepada tiga pemimpin bahwa dirinya akan meminta Israel menghentikan perilaku agresifnya terhadap Suriah dan menjaga ketenangan.

Media-media Israel pun langsung memuat pernyataan-pernyataan yang seolah mewakili kekecewaan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang gagal menyampaikan keberatannya langsung pada Trump.

Sayangnya, kemarahan Israel kemudian dilampiaskan di Jalur Gaza. Dalam waktu singkat, ratusan warga Palestina yang tak bersalah menjadi korban, sementara proses pendudukan wilayah kembali digiatkan.

Dalam sepekan saja, Presiden Erdogan mencatatkan tiga keberhasilan diplomatik: keikutsertaan dalam pertemuan kuartet bersejarah, peran sentral Turki dalam konstelasi politik Suriah, dan penguatan posisi Ankara dalam aliansi strategis dengan Riyadh.

Ketiga capaian ini menunjukkan bahwa peran Turki tak lagi terbatas pada batas-batas regional, melainkan telah masuk dalam perhitungan global dalam menyusun ulang masa depan Timur Tengah.

Kepanikan Israel atas melemahnya YPG

Salah satu kekhawatiran utama Turki dalam isu Suriah adalah ketegaran milisi YPG yang menolak melucuti senjata, meski telah tercapai kesepakatan antara Damaskus dan pihak-pihak terkait.

Yang membuat posisi YPG berbeda dengan Partai Pekerja Kurdistan (PKK)—yang mulai melucuti senjata—adalah sokongan yang terus mengalir dari Israel.

Dalam pertemuan kuartet di Riyadh, Presiden AS Donald Trump tiba-tiba menoleh kepada Ahmed al-Shara dan berkata;

“Silakan Anda ambil alih pengelolaan penjara dan kamp yang menampung para militan ISIS. Dan Tuan Erdogan, kami berharap Anda mendukung Damaskus dalam hal ini,” kata Tramp.

Padahal, topik ini tak tercantum dalam agenda resmi pertemuan. Inisiatif Trump itu mengungkap makna yang lebih dalam: alasan utama AS mendukung dan mempersenjatai pasukan SDF (yang didominasi YPG) adalah karena mereka mengelola fasilitas tahanan militan ISIS.

Dengan tanggung jawab ini akan dialihkan kepada Damaskus, maka YPG akan kehilangan alasan eksistensialnya.

Bantuan AS sebesar 142 juta dolar per tahun berupa dana dan persenjataan akan terhenti.

Maka, lambat laun, YPG akan kehilangan posisi tawarnya dan tak punya pilihan selain kembali ke pangkuan negara Suriah.

Presiden Erdogan dan Ahmed al-Shara menyambut perkembangan ini dengan lega.

Seorang pejabat senior Turki yang memberikan informasi ini menyimpulkan bahwa Israel akan sangat kecewa dengan perkembangan ini.

“Kami pun tetap waspada. Kemungkinan besar, lobi-lobi pro-Israel telah mulai bekerja untuk membatalkan keputusan tersebut,” katanya.

Mengapa Putin tak hadir?

Ketika fokus dunia tertuju ke Riyadh, sebuah kejadian penting lain berlangsung di Turki. Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy tiba-tiba mendarat di Ankara dengan pesawat pribadi.

Di saat yang sama, Trump yang sedang berada di Teluk menyatakan bahwa jika Putin hadir, ia juga akan datang.

Pemerintah Turki melakukan berbagai upaya untuk meyakinkan Putin agar hadir dalam pembicaraan mengenai Ukraina dan Suriah.

Namun, seperti biasa, Putin bersikukuh dengan pendiriannya dan menolak menghadiri pertemuan yang menurutnya dipaksakan oleh Zelenskyy.

Zelenskyy sempat bertemu Erdogan di Ankara, dan awalnya memutuskan untuk tidak ikut serta dalam pembicaraan dengan Rusia di Istanbul.

Namun, berkat bujukan Erdogan dan para pejabat Turki, ia akhirnya bersedia berpartisipasi. Maka, pertemuan penting pun terselenggara di Istana Dolmabahçe, Istanbul.

Menteri Luar Negeri Turki Hakan Fidan yang sebelumnya kelelahan dari pertemuan NATO di Antalya, bergabung bersama Kepala Intelijen Ibrahim Kalın, yang memainkan peran sentral dalam keseluruhan proses ini.

Meskipun belum ada kesepakatan gencatan senjata yang dicapai, pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan pertukaran 1.000 tawanan antara kedua belah pihak. Sebuah kesepakatan yang akan difasilitasi oleh Turki.

Forum ini sekaligus membuka jalan bagi kemungkinan pertemuan antar-pemimpin di masa mendatang.

Ketika saya bertanya kepada seorang pejabat senior tentang abasennya Putin ia menjawab dengan jawabannya lugas.

“Sejujurnya, kami kecewa. Kami sudah berusaha keras untuk membuka jalur damai ini. Tapi Putin tidak ingin bertemu Zelenskyy. Ia lebih ingin bernegosiasi langsung dengan Barat. Itu artinya, ia menginginkan pertemuan dengan Trump terlebih dahulu, untuk menyepakati syarat-syarat damai dengan dunia Barat, sebelum akhirnya membicarakan perdamaian dengan Ukraina. Kehadiran Trump di Istanbul bisa memaksanya menandatangani kesepakatan yang tak diinginkannya. Selain itu, ia kesal dengan langkah Zelenskyy yang mencoba memaksakan pertemuan ini,” jawabnya.

Gaza, luka yang belum sembuh

Di tengah upaya diplomatik yang maraton di Istanbul, satu forum lain berlangsung lebih senyap: pembicaraan soal program nuklir Iran yang digelar di Konsulat Iran yang bersejarah.

Dihadiri oleh delegasi Inggris, Prancis, Jerman, dan Iran, pembicaraan ini mencoba merespons ancaman berulang dari Trump terhadap Teheran.

Namun, dalam hiruk-pikuk diplomasi regional dan perang, forum ini tenggelam dari sorotan.

Setelah menyelesaikan lawatan Teluk-nya, Trump kembali ke AS dengan membawa serangkaian kesepakatan yang membuatnya puas.

“Salah satu dari tiga pemimpin Teluk meminta saya untuk turun tangan, karena rakyat di Gaza sedang sekarat karena kelaparan,” ungkapnya dalam konferensi pers kepulangannya.

Saya pun mencoba mencari tahu apakah pertemuan Erdogan di Riyadh menghasilkan keputusan konkret mengenai Gaza.

Informasi yang saya peroleh menyebutkan bahwa Erdogan memang mengangkat isu Gaza secara langsung, namun Trump tidak mengambil langkah nyata terkait hal itu.

Dan belum genap 24 jam setelah Trump meninggalkan kawasan, Israel melancarkan serangan brutal besar-besaran ke Jalur Gaza—seolah hendak menantang dunia.

Ratusan warga Palestina tak bersalah gugur dalam serangan tersebut, dan penjajahan wilayah kembali dijalankan secara terang-terangan.

Di tengah semua pertemuan yang mengusung semangat perdamaian itu, Gaza tetap menjadi luka yang tak terobati.

Ia menjadi kisah duka yang tak mendapat tempat di meja-meja perundingan, dan satu-satunya tragedi yang terus berulang tanpa akhir.

*Kemal Öztürk adalah seorang penulis dan jurnalis Turki yang terkenal di dunia, direktur berita, penulis, pembuat film dokumenter, dan Manajer Umum Anadolu Agency hingga 2014. Tulisan ini diambil dari Aljazeera.net dengan judul “Najāḥāt Istitsnāiyyah Li Irdūghān Hadzā al-Usbū'”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular