Thursday, October 2, 2025
HomeBeritaPara pakar AS ragukan realisasi rencana Trump untuk Gaza

Para pakar AS ragukan realisasi rencana Trump untuk Gaza

Setelah Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump mengumumkan rencananya mengenai Jalur Gaza usai bertemu Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.

Netanyahu saat ini berstatus terdakwa di Mahkamah Pidana Internasional karena dugaan kejahatan perang di Gaza—Gedung Putih merilis rincian berisi 20 poin.

Trump menyebut peluncuran rencana yang diberi nama “Prinsip-Prinsip Perdamaian” itu sebagai “hari bersejarah bagi perdamaian”.

Ia juga berjanji kepada sejumlah pemimpin Arab dan Muslim yang ditemuinya di New York, 23 September lalu, bahwa ia tidak akan membiarkan Israel mencaplok bagian mana pun dari Tepi Barat, serta akan berupaya maksimal mendorong perdamaian di kawasan.

Dalam pernyataan resmi, Gedung Putih menegaskan bahwa rencana itu tidak akan memaksa warga Gaza meninggalkan wilayah mereka.

Tentara Israel disebut akan menarik diri secara bertahap, digantikan oleh pasukan internasional sementara yang bertugas menjaga stabilitas. Namun, banyak pertanyaan penting dibiarkan tanpa jawaban.

Kekosongan inilah yang membuat sejumlah pakar AS, yang selama ini mengikuti isu-isu Timur Tengah, meragukan kelayakan dan kemungkinan implementasi rencana tersebut.

Rencana yang tidak berkelanjutan

Menurut Anel Shilain, mantan pejabat di Departemen Luar Negeri AS, rencana Trump untuk Gaza tidak berkelanjutan, baik secara politik maupun militer.

“Rencana ini tidak menyentuh inti persoalan: tuntutan rakyat Palestina akan hak menentukan nasib sendiri dan keadilan,” ujarnya kepada Al Jazeera Net.

Ia menegaskan, setiap rencana yang gagal menghadirkan keadilan bagi Palestina pada dasarnya menyimpan benih kehancuran.

“Alih-alih membawa ketenangan, rencana semacam ini hanya akan memicu konflik lebih jauh,” kata Shilain.

Pandangan senada disampaikan Christian Coates Ulrichsen, pakar hubungan internasional di Baker Institute, Universitas Rice, Texas.

Ia menyebut sangat sulit melihat bagaimana rencana itu dapat berjalan tanpa adanya kemauan politik nyata dari seluruh pihak utama.

Ulrichsen menekankan absennya perwakilan Palestina dalam penyusunan draf rencana tersebut.

Naskah awal dibuat oleh pihak AS, lalu dimodifikasi oleh Israel, tanpa melibatkan suara Palestina dalam bentuk apa pun.

Otoritas Palestina disingkirkan

Menyinggung soal tidak dilibatkannya Otoritas Palestina dalam skema masa depan pengelolaan Jalur Gaza, Ulrichsen menilai hal itu akan menjadi hambatan besar.

“Agar sebuah rencana punya peluang berhasil, ia harus tumbuh dari lokalitas, bukan dipaksakan dari luar,” ujarnya.

Pandangan serupa disampaikan Anel Shilain, kini peneliti di Quincy Institute, Washington.

Menurut dia, penghilangan peran Otoritas Palestina—baik dalam jangka pendek maupun panjang—sejalan dengan sikap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang sejak lama menolak keberadaan pemerintah Palestina yang sah dan berkomitmen bekerja sama dengan Israel.

“Memang, koordinasi keamanan Otoritas Palestina dengan Israel selama ini telah merusak legitimasi mereka di mata rakyat. Tetapi, di mata dunia internasional dan AS, Otoritas Palestina tetap dipandang sebagai pihak yang mampu mengelola urusan rakyat Palestina. Justru itulah yang membuat Netanyahu melihat mereka sebagai ancaman,” jelas Shilain.

Ia menambahkan, penolakan Israel terhadap peran Otoritas Palestina menunjukkan penolakan lebih mendasar: yaitu menutup pintu pada penyelesaian konflik secara keseluruhan.

David Mack, mantan Wakil Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Urusan Timur Tengah, juga menilai pengabaian Otoritas Palestina sebagai langkah mundur besar.

“Sulit membayangkan rencana ini bisa sukses jangka panjang jika Otoritas Palestina sama sekali tidak diberi tempat,” ujarnya kepada Al Jazeera Net.

Menurut Mack, Amerika Serikat (AS) bersama sejumlah mitra Arab ikut bertanggung jawab.

“Mereka gagal menggunakan pengaruhnya untuk memperbaiki kelemahan Otoritas Palestina, termasuk mendorong regenerasi kepemimpinan yang lebih muda,” katanya.

Peran yang kehilangan legitimasi

Terkait usulan Trump agar AS memegang kendali sementara sebagai otoritas de facto di Jalur Gaza, Anel Shilain menilai gagasan itu sama sekali tidak memiliki dasar hukum.

“Ini bukti nyata pengabaian penuh terhadap hukum internasional, tanpa konsekuensi apa pun bagi AS,” ujarnya.

Menurut Shilain, kelemahan mendasar lain adalah absennya mekanisme penegakan untuk mendorong Israel patuh pada ketentuan yang ditetapkan.

Ia mengingatkan pada pengalaman Perjanjian Oslo, ketika tidak ada sanksi meskipun Israel gagal melaksanakan kewajiban yang sudah disepakati, seperti penarikan pasukan dari wilayah tertentu.

“Bahkan jika Israel dan Hamas, yang kemungkinannya kecil, mulai menjalankan rencana ini, tidak ada alasan bagi Israel untuk berkomitmen. Jika Trump serius, seharusnya ia menyiapkan sanksi bagi Israel ketika tidak patuh,” kata Shilain.

Pandangan serupa disampaikan Christian Ulrichsen. Ia menegaskan AS tidak memiliki hak menjadi otoritas de facto di Gaza, bahkan secara sementara.

“Sulit dibayangkan otoritas apa yang bisa menopang langkah semacam ini di bawah hukum internasional. Tanpa mekanisme sah yang memastikan implementasi, mustahil rencana itu bisa berjalan,” ujarnya.

David Mack, mantan diplomat senior AS yang kini menjadi peneliti di Atlantic Council, juga menyampaikan keraguan.

Menurut dia, dukungan yang sempat muncul atas peran dominan Trump sebagai ketua badan pengelola Gaza hanya bersifat sesaat dan kemungkinan besar akan memudar sebelum rencana itu dijalankan.

Mack menambahkan, secara ideal, rencana ini membutuhkan pengganti: sebuah badan internasional yang beranggotakan negara-negara Arab dan Islam, didukung kekuatan keamanan serta dana yang cukup, untuk membantu membangun kembali Gaza.

“Saya setuju bahwa Hamas tidak perlu diberi peran langsung. Namun, negara-negara Arab, para pemimpin Eropa, serta badan-badan PBB memiliki peran penting dalam menggalang sumber daya agar bagian-bagian yang konstruktif dari rencana ini dapat diwujudkan,” ujarnya.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler