Dari saku celana militernya, ketika ditemukan terbaring di dalam terowongan di bawah tanah Gaza, teman-temannya menemukan sebuah kertas dengan tulisan.
“Aku menegakkan hujjah bagi mereka yang sehat, dan aku memberi tahu kalian bahwa amputasi bukanlah pada tubuh, melainkan pada semangat,” begitu tulisnya.
Pejuang yang mengalami amputasi itu telah menulis wasiatnya sebelum gugur, setelah ia memasang bahan peledak saat berada di pos tempurnya.
Ledakan itu berhasil menewaskan tujuh tentara Israel dalam jebakan yang ia siapkan di daerah Al-Tuwam, barat laut Kota Gaza.
Jahid Khalil (nama samaran) bertempur dengan satu kaki dan semangat yang penuh, setelah serangan Israel pada bulan pertama perang menyebabkan kakinya diamputasi.
Namun, amputasi itu tidak menggoyahkan keberaniannya. Temannya, Omar, mengatakan itu kepada Al Jazeera Net.
“Dia benar-benar marah ketika tidak dapat ikut serta dalam serangan 7 Oktober, tetapi setelah itu, dia bertempur dengan ganas seolah-olah hanya dia yang ada di medan perang,” kata Omar.
Pada usia 23 tahun, Khalil adalah pemimpin termuda dari sebuah kelompok militer. Ia dikenal karena kecerdikan dan keberaniannya serta kemampuannya unggul dalam ujian militer.
Meskipun komandannya mencoba meringankan beban tugasnya karena cederanya, Khalil tetap menjadi “nyala api yang berkobar.”
Dengan satu kaki, ia mengendarai sepeda, mengawasi pos tempurnya, dan melompati tembok tinggi untuk menjalankan misinya. Ia menolak orang lain memasang bahan peledak.
“Aku takut mati sebelum melakukan sesuatu. Aku telah ridha dengan cederaku, maka Allah akan meridhaiku, menghibur hatiku, dan memilihku untuk-Nya,” katanya kepada temannya.
Akhirnya, doanya dikabulkan. Ia gugur setelah pos tempurnya dihancurkan oleh serangan udara Israel.
Tidak pergi sampai mencapai tujuan
Sementara itu, pejuang lain, Hassan (nama samaran), yang keluarganya telah memasang tenda belasungkawa dan membagikan makanan karena mendengar kabar bahwa ia telah gugur.
Ia gugur di bawah reruntuhan sebuah bangunan bertingkat di Jabalia, kini duduk di hadapan Al Jazeera Net dalam keadaan sehat.
“Aku belum mati. Tujuh bangunan runtuh menimpaku, tapi aku keluar dari semuanya. Aku selamat dengan keajaiban,” katanya sambil tersenyum.
Hassan memimpin sebuah faksi militer dan tidak meninggalkan posnya selama empat bulan terakhir pengepungan di wilayah utara Gaza.
Melihat bendera Israel berkibar di tengah kamp pengungsi, yang terlihat dari jauh, menjadi pemandangan yang sulit diterima oleh para pejuang di kamp tersebut.
Meski itu adalah pukulan berat bagi mereka, namun kejadian itu justru membakar semangat perlawanan mereka.
Bagi mereka, ini adalah penghinaan besar terhadap kamp mereka yang tidak pernah jatuh ke tangan musuh.
Kami tidak memiliki apa pun untuk dihilangkan
Dengan hujan tembakan yang terus-menerus, ratusan mayat yang dilindas tank-tank, beberapa dimakan anjing di jalanan, serta tengkorak yang berserakan di mana-mana, para pejuang tidak merasa kehilangan apa pun.
Hasrat untuk membalas dendam membara dalam dada mereka. Mereka berulang kali meminta izin kepada pimpinan untuk melakukan operasi bom bunuh diri.
Mereka juga meminta izin menyerang tentara Israel dengan pisau, terutama setelah berbulan-bulan pengepungan menyebabkan amunisi mereka menipis.
Namun, keputusan untuk operasi semacam itu harus melalui pertimbangan pimpinan militer. Mereka akan menganalisis situasi berdasarkan target, jumlah pejuang yang tersedia, dan jenis persenjataan yang dimiliki.
“Kami tidak mengorbankan pejuang kami kecuali targetnya sangat berharga dan hasilnya pasti.” Ia menambahkan, “Di beberapa daerah, tentara Israel sering meletakkan senjata mereka karena merasa yakin bahwa mustahil bagi pejuang kami untuk mencapai mereka. Tetapi setelah pengintaian selama beberapa hari, kami berhasil menyergap mereka dan membunuh mereka dari jarak nol,” jalas Hassan.
Pertempuran tipu muslihat
Dalam serangan daratnya di wilayah utara Gaza, pasukan Israel sering menggunakan taktik tipu daya terhadap para pejuang.
Mereka menutup jendela beberapa rumah untuk menyesatkan musuh tentang lokasi keberadaan pasukan mereka.
“Kami harus terus mengawasi rumah-rumah ini untuk memastikan lokasi tepat di mana tentara bermalam. Ini adalah tugas yang sangat melelahkan yang memerlukan tingkat kewaspadaan tinggi. Para pejuang kami bergantian berjaga sepanjang waktu,” kata Hassan.
Taktik lain yang digunakan Israel adalah berpura-pura menarik pasukan lapis baja dari suatu wilayah. Padahal mereka tetap mengendalikan daerah tersebut melalui pesawat pengintai quadcopters dan kamera yang dipasang untuk memantau setiap pergerakan.
Selain itu, Israel mengubah strategi tempurnya secara tiba-tiba. Dalam fase terakhir pengepungan, mereka lebih mengandalkan kendaraan lapis baja di garis depan untuk mengurangi pergerakan pasukan infanteri dan meminimalkan korban jiwa.
Pasukan darat mereka ditempatkan beberapa ratus meter di belakang kendaraan lapis baja.
Menanggapi strategi ini, pimpinan pejuang Palestina memerintahkan pasukannya untuk lebih memfokuskan serangan pada tentara. Karena itu akan menciptakan kekacauan dan kepanikan di antara mereka.
Setelah itu, para pejuang melancarkan operasi teknik yang luar biasa dengan memasang bahan peledak di lebih dari 60% rumah-rumah di area pertempuran.
Akibatnya, mereka berhasil menewaskan puluhan tentara Israel dalam operasi yang kemudian diumumkan secara resmi oleh kelompok perlawanan.
Keberkahan Allah
Para pejuang mengalami perang kelaparan yang sangat keras. Mereka berusaha mengambil langkah-langkah tertentu agar tidak mati kelaparan atau kehausan.
“Kami mengisi beberapa galon air dan menyebarkannya di berbagai tempat. Kami juga berpuasa atau hanya makan satu kali sehari untuk menghemat makanan, mengurangi kebutuhan mencuci piring, dan menghindari sering pergi ke toilet,” ungkap Hassan.
Di antara rekan-rekan Hassan, ada seorang dokter pejuang yang memiliki peran besar dalam mengatur distribusi makanan, merawat yang terluka, dan mengobati yang sakit.
Hassan bercerita kepada Al Jazeera Net bagaimana mereka selalu merasakan keberkahan Allah dalam setiap langkah mereka.
“Setiap kali kami memasuki rumah, kami menemukan obat-obatan yang kami butuhkan. Bahkan, kami sering menggunakan kotak P3K yang ditinggalkan tentara musuh,” katanya.
Selain itu, para pejuang memperkuat sisi spiritual mereka untuk menghilangkan keputusasaan yang kerap muncul akibat lamanya perang dan keganasannya. Hal ini memberikan mereka ketenangan dan keteguhan hati.
Pejuang yang berperikemanusiaan
Dengan netralisasinya layanan pertahanan sipil dan ambulans di Gaza utara oleh pasukan pendudukan, para pejuang sering kali harus menjalankan tugas tambahan.
Tuga situ seperti membantu orang tua dan penyandang disabilitas yang tetap tinggal di rumah mereka, serta menyelamatkan korban yang terjebak di bawah reruntuhan.
Hassan mengenang sebuah kejadian di mana rumah di sebelah mereka dibom. Mereka tidak bisa mengabaikan suara seorang gadis kecil yang berteriak minta tolong dari bawah reruntuhan.
“Kami mempertaruhkan nyawa kami dan terus melakukan penyelamatan selama berjam-jam. Dengan keajaiban, kami berhasil menariknya keluar dari bawah balok beton sebelum malam tiba,” kenangnya.
Operasi bersama
Para pejuang bersatu dalam perlawanan bersenjata. Mereka bekerja sama dalam berbagai operasi tanpa mempertimbangkan afiliasi faksi mereka.
“Ada kalanya seorang penembak jitu dari Brigade Al-Qassam menggunakan senapan dari Brigade Saraya Al-Quds untuk menjalankan operasi bersama,” ujar Hassan.
Tugas yang sangat sulit juga dibebankan kepada jurnalis pejuang, yang harus mendokumentasikan dan mengirimkan rekaman operasi.
Ini bukan tugas yang lebih mudah dibandingkan dengan eksekusi serangan terhadap target musuh.
“Kami berusaha untuk tidak menyerang target tanpa adanya kamera. Kami sangat percaya pada pentingnya perang media dan dampak psikologisnya terhadap musuh. Ini juga penting untuk membuktikan kerugian yang coba disembunyikan oleh pendudukan,” lanjutnya.
Mundur demi keselamatan warga sipil
Al Jazeera Net bertemu dengan seorang komandan yang memimpin lebih dari 160 pejuang. Ia menjelaskan bahwa dalam beberapa operasi, para pejuang memilih untuk mundur setelah mengetahui keberadaan warga sipil di daerah tersebut. Meskipun mereka hanya berjarak beberapa meter dari tentara musuh.
“Kami memerintahkan pasukan untuk mundur dan membatalkan serangan jika ada warga sipil di sekitar. Ini karena pendudukan menggunakan kebijakan penghancuran total terhadap wilayah yang menjadi basis serangan pejuang, tanpa memperdulikan keberadaan warga sipil,” kata Ahmed (nama samaran).
Ahmed juga mengungkapkan bahwa pendudukan Israel sering kali menggunakan warga sipil sebagai tameng manusia.
Mereka memaksa warga untuk naik ke atas tank mereka saat melaju di jalanan, sehingga para pejuang menahan diri dari menyerang demi melindungi warga tersebut.
Penguatan di medan tempur
Dalam perang ini, perwira tinggi turut bertempur bersama para pejuang di garis depan, berbeda dengan pertempuran sebelumnya.
Intensitas pertempuran dan banyaknya korban memaksa mereka untuk turun langsung ke medan perang.
Ahmed menjelaskan bahwa kesenjangan yang ditinggalkan oleh para komandan yang gugur segera diisi oleh kader baru yang dipilih langsung oleh organisasi perlawanan.
Selain itu, ribuan pemuda baru bergabung dengan perlawanan setelah proses rekrutmen resmi dibuka. Mereka harus menjalani pemeriksaan keamanan dan pelatihan tempur di tengah perang.
Bahkan, banyak dari mereka yang meminta kesempatan untuk maju dan menghadapi musuh secara langsung.
Setelah perang berakhir, meskipun pengepungan masih berlangsung, para pejuang memastikan bahwa aktivitas perlawanan tidak berhenti. Mereka mulai membangun kembali kekuatan militer mereka, memanfaatkan sisa-sisa rudal Israel.
“Kami memanfaatkan puing-puing rudal mereka untuk menjebak rumah-rumah dan membunuh tentara mereka dengannya,” tutur Ahmed.
Keyakinan pejuang
Selama wawancara, para pejuang menggunakan istilah yang sama dalam menyebut musuh mereka sebagai “pendudukan” dan menyebut perang yang sedang berlangsung sebagai “pertempuran jihad.”
Mereka mengakui bahwa pertempuran ini tidak seimbang. Tetapi mereka yakin bahwa musuh yang hanya berani bertempur dengan tank lapis baja atau dari pesawat yang tinggi. Musuh tidak berani bertarung secara langsung, dan pada akhirnya akan kalah.
Mereka percaya bahwa hasil pertempuran ini sudah mereka menangkan, meskipun telah satu setengah tahun mengalami perang pemusnahan.