Muhammad Ja’far, salah satu pengungsi Palestina tertua di Kamp Jerash, Yordania, mengungkapkan bahwa rencana Trump untuk memindahkan penduduk Gaza tidak akan berhasil.
“Palestina adalah milik kami,” katanya dalam sebuah wawancara.
Menurutnya, kondisi saat ini mirip dengan yang kami alami pada tahun 1967, tetapi sikap rakyat Palestina sekarang lebih kuat dan teguh.
Baginya, keberadaannya di Gaza saat ini, membuatnya tidak akan meninggalkannya, ia akan tetap bertahan di dalam tenda.
“Tidak akan bermigrasi.” Dengan dua kata ini, pengungsi Palestina, Muhammad Ahmad Ja’far, memulai pembicaraannya untuk menegaskan bahwa rakyat Palestina di Jalur Gaza menolak rencana pemindahan yang didorong oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump.
Ja’far, yang dikenal dengan nama panggilan Abu Usama (77 tahun), adalah salah satu pengungsi Palestina tertua di Kamp Jerash, Yordania utara, yang dikenal sebagai “Kamp Gaza” karena menampung ribuan warga Palestina yang datang dari Gaza setelah Naksa 1967.
Seorang wartawan Anadolu bertemu Abu Usama dan keluarganya di rumah mereka di kamp tersebut. Ia memperingatkan saudara-saudaranya di Gaza, yang telah ia tinggalkan 58 tahun lalu, tentang rencana Israel yang didukung AS untuk mengulangi peristiwa pemindahan paksa seperti di masa lalu.
Pria berusia tujuh puluhan ini menegaskan bahwa meskipun kondisi yang dialami rakyat Gaza saat ini sangat sulit, mereka lebih teguh dan kuat dalam menghadapi situasi ini.
“Rencana Trump tidak akan berhasil, Palestina adalah milik kami,” tegasnya.
Kamp Jerash terletak di utara Yordania dengan luas satu kilometer persegi dan dihuni oleh sekitar 35.000 pengungsi Palestina. Kamp ini dikenal secara lokal sebagai “Kamp Gaza” dan merupakan salah satu dari 13 kamp pengungsi Palestina di Yordania, yang secara keseluruhan menampung sekitar 2 juta orang.
Abu Usama lahir pada tahun 1948 di distrik Beersheba, Palestina selatan. Saat masih bayi, ia terpaksa meninggalkan kampung halamannya bersama keluarganya menuju Gaza setelah peristiwa Nakba, yang mengakibatkan pengusiran massal rakyat Palestina demi mendirikan negara Israel.
Namun, akibat perang Arab-Israel pada tahun 1967, yang dikenal sebagai “Naksa”, rakyat Palestina kembali mengalami pemindahan paksa, yang mengulang penderitaan mereka.
“Saat itu, Israel berhasil menduduki bagian dari negara-negara Arab dalam enam hari. Tetapi dalam perang yang berlangsung lebih dari satu setengah tahun ini, mereka gagal menduduki Gaza,” jelasnya membandingkan perang tahun 1967 dengan perang terbaru di Gaza.
Menanggapi rencana Presiden Donald Trump untuk menguasai Gaza dan memindahkan penduduknya, ia menegaskan bahwa Trump adalah orang yang gegabah.
“Ia bahkan tidak bisa mengurus kandang ternak, apalagi memahami tekad rakyat Palestina di Gaza,” ungkapnya.
“Saya berusia 19 tahun saat Naksa, saat itu kami tinggal di Kamp Jabalia yang heroik. Kami dipaksa meninggalkan Gaza secara sukarela, tetapi di bawah tekanan,” kenangnya sambil memegang foto hitam-putih dirinya dan akta kelahirannya dengan penuh emosional.
Ia menegaskan bahwa hal tersebut tidak akan terulang.
“Rencana Trump untuk memindahkan penduduk Gaza tidak akan berhasil. Palestina adalah milik kami,” katanya.
Ia melanjutkan bahwa sat ini, rakyat Gaza lebih memilih mengungsi di dalam negeri daripada meninggalkan tanah air mereka, meskipun rumah mereka telah dihancurkan dan Gaza benar-benar luluh lantak.
“Jika saya lebih sadar saat itu, saya tidak akan meninggalkan tanah air saya. Meskipun dulu kami miskin dan kelaparan, hidup kami masih lebih baik,” pesannya kepada rakyat Gaza agar tidak mengulangi kesalahan masa lalu.
Ia menambahkan, bahwa jika ia berada di Gaza, ia tidak akan pergi dari sana.
“Saya akan tetap bertahan di dalam tenda,” terangnya.
Ia menunjukkan bahwa kondisi saat ini sangat mirip dengan yang kami alami pada tahun 1967.
“Namun, perbedaannya adalah bahwa rakyat Palestina di Gaza saat ini memiliki sikap yang lebih kuat dan lebih teguh,” katanya.
Ia menyimpulkan, bahwa ia menyesali keputusannya meninggalkan tanah air.
“Pemikiran saya saat itu sangat dangkal. Oleh karena itu, saya meminta rakyat Gaza untuk tidak mengulangi kesalahan kami,” sesalnya.
“Saya tidak pernah tinggal di Gaza, tetapi saya ingin kembali ke sana, bahkan jika keadaannya hancur,” timpal putranya, Fadi (38 tahun) tanpa basa-basi.
Sementara itu, Aisyah Hasan, istri Abu Usama (69 tahun), mengatakan, bahwa ia berbicara dengan saudara-saudara saya setiap hari.
“Mereka mengatakan bahwa mereka kelaparan dan kehausan, tetapi mereka menegaskan kepada saya bahwa mereka tidak akan meninggalkan Gaza. Saya berdoa agar mereka dan seluruh rakyat Gaza tetap teguh di tanah mereka,” katanya.
Sementara itu, pada Minggu malam, Trum mengatakan bahwa ia berkomitmen untuk membeli dan memiliki Gaza,” kata Trump kepada wartawan di pesawat kepresidenan bahwa.
Trump mengklaim bahwa Gaza adalah lokasi properti yang luar biasa yang tidak bisa kami abaikan.
“Kami akan membangun kembali Gaza dengan bantuan negara-negara kaya di Timur Tengah,” kata Trump.
Pada 4 Februari, dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu di Gedung Putih, Trump mengumumkan niatnya untuk menguasai Gaza setelah mengusir semua penduduknya ke negara lain.
Trump juga tidak menutup kemungkinan menempatkan pasukan AS untuk membantu rekonstruksi Gaza. Ia memperkirakan bahwa Amerika Serikat akan memiliki “kepemilikan jangka panjang” atas wilayah Palestina tersebut. Netanyahu menyambut baik rencana tersebut, dengan menyebutnya sebagai “ide baru pertama dalam beberapa tahun.”
Sejak 25 Januari, Trump telah mempromosikan rencana pemindahan warga Gaza ke negara-negara tetangga seperti Mesir dan Yordania. Namun, kedua negara tersebut menolak rencana itu, bersama dengan negara-negara Arab lainnya serta organisasi regional dan internasional.
Dengan dukungan Amerika Serikat, Israel melakukan genosida di Gaza antara 7 Oktober 2023 hingga 19 Januari 2025, yang menyebabkan sekitar 160.000 warga Palestina tewas dan terluka, sebagian besar adalah anak-anak dan wanita. Selain itu, lebih dari 14.000 orang masih hilang.
Israel telah mengubah Gaza menjadi penjara terbesar di dunia, dengan blokade yang telah berlangsung selama 18 tahun. Perang genosida ini telah memaksa sekitar 2 juta dari total 2,3 juta penduduk Gaza mengungsi dalam kondisi yang tragis, dengan kelangkaan makanan, air, dan obat-obatan yang disengaja oleh Israel.