Penulis dan jurnalis Israel, Itay Landsberg Nevo, melontarkan kritik tajam terhadap para pemimpin militer Israel yang ia nilai tunduk secara membabi buta kepada keputusan politik yang digambarkannya sebagai “gila dan berbahaya”.
Dalam artikel yang diterbitkan oleh Zman Yisrael, Landsberg menyerukan kepada militer Israel untuk menghentikan perang di Gaza dan tidak lagi menjadi alat pelaksana kebijakan yang menurutnya hanya menjerumuskan negara ke dalam bencana baru.
Menurut Landsberg, perang yang kini terus meluas di Jalur Gaza bukan semata hasil perhitungan militer, melainkan kebijakan politik yang diambil tanpa pertimbangan rasional.
Ia menyebut bahwa persetujuan militer terhadap perluasan operasi di Gaza merupakan pengulangan dari “kegilaan” yang menyebabkan tragedi 7 Oktober 2023.
Pperistiwa yang ia gambarkan sebagai pembantaian terburuk yang dialami Israel sejak Holocaust.
Kritik terhadap kepatuhan militer
Landsberg menilai bahwa para pemimpin militer lebih memilih patuh dan melaksanakan perintah daripada bersuara menentang keputusan politik yang keliru.
Padahal, menurutnya, telah ada peringatan berulang dari lembaga-lembaga intelijen mengenai risiko kebijakan tersebut.
“Hasilnya adalah bencana berdarah yang mengerikan,” tulisnya.
Dengan dimulainya tahap baru perang yang dipimpin oleh lima brigade tempur, Landsberg memperingatkan bahwa Israel kini tengah melangkah menuju tragedi yang lebih besar.
Meningkatnya jumlah tawanan yang terbunuh, ribuan warga Gaza yang menjadi korban, serta ratusan tentara yang gugur.
Ia menyoroti pernyataan Kepala Staf Umum IDF yang sebelumnya mengakui bahwa operasi militer dapat membahayakan nyawa para tawanan Israel, tetapi tetap menjalankan instruksi politik tanpa keberatan.
Keteladanan dari masa lalu
Sebagai pembanding, Landsberg mengutip tokoh-tokoh militer masa lalu yang memilih bersikap kritis atau menolak perintah.
Ia menyebut Jenderal Amram Mitzna yang mundur dari jabatannya setelah pembantaian Sabra dan Shatila karena kehilangan kepercayaan terhadap Menteri Pertahanan saat itu, Ariel Sharon.
Ia juga menyinggung Kolonel Eli Geva yang menolak menyerbu Beirut bersama pasukannya selama Perang Lebanon.
Geva kala itu menyebut perintah tersebut sebagai “kematian yang sia-sia”. Meski diberhentikan, menurut Landsberg, sejarah justru membenarkan langkah Geva.
“Vietnam”-nya Israel
Lebih jauh, Landsberg menyatakan bahwa kampanye militer di Gaza saat ini tidak akan berhasil membebaskan tawanan, melainkan justru meningkatkan risiko kematian mereka.
Ia memperingatkan bahwa pertempuran yang terus berlanjut hanya akan mengubah Gaza menjadi “Vietnam bagi Israel”.
Israel, lanjutnya, kini menghadapi tuduhan internasional atas kejahatan perang, termasuk penggunaan kelaparan sebagai senjata, serangan terhadap anak-anak, perempuan, dan lansia, serta penghalangan bantuan kesehatan.
Jika situasi ini terus berlangsung, ia mempertanyakan, Apa yang akan kalian katakan ketika Israel dijatuhi sanksi internasional atas kejahatan yang dilakukan di bawah komando kalian?
“Apakah kalian akan berkata, ‘Kami hanya menjalankan perintah’?” tanyanya.
Hentikan perang
Landsberg juga mengkritik keras Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang menurutnya sedang berupaya mencuci tangan dari tanggung jawab perang.
Ia mengutip pernyataan Netanyahu yang menyebut bahwa perluasan operasi militer merupakan rekomendasi Kepala Staf dan Dewan Umum, bukan usul pribadi.
Baginya, pernyataan itu menandakan bahwa Netanyahu telah menyiapkan diri untuk melemparkan tanggung jawab kepada militer jika perang berakhir dengan kegagalan.
Dalam tulisannya, Landsberg juga mengangkat ketimpangan sosial di Israel. Puluhan ribu warga ultra-Ortodoks (haredi) dibebaskan dari wajib militer tanpa konsekuensi, sementara warga lainnya dipaksa mengikuti dinas militer melalui undang-undang darurat.
Di akhir tulisannya, Landsberg mengakui bahwa menolak perintah bukanlah langkah tanpa risiko.
Penolakan dapat berujung pada pemecatan dan kampanye pencemaran nama baik. Namun, ia menyatakan bahwa penyelamatan jiwa moral Israel dimulai dari mereka yang cukup berani untuk mengatakan tidak.
“Mereka yang mempertaruhkan hidup demi negara ini, juga harus cukup berani untuk menghentikan perang ini,” katanya.