Seorang profesor Israel dan direktur lembaga pemikir terkemuka Israel mengakui bahwa demonstrasi dan kekerasan yang terjadi di ibu kota Belanda, Amsterdam, pekan lalu bukanlah bentuk anti-Semitisme, melainkan anti-Israel atau anti-Zionisme, lansir Middle East Monitor pada Selasa (12/11).
Pekan lalu, kerusuhan pecah di jalan-jalan ibu kota Belanda, Amsterdam, yang dipicu oleh para penggemar tim sepak bola Israel, Maccabi Tel Aviv, saat mereka meneriakkan cacian anti-Arab dan anti-Palestina.
Tak hanya itu, mereka menurunkan bendera Palestina dari properti dan menyerang warga lokal yang berusaha menghentikan mereka.
Insiden ini mengakibatkan pemukulan terhadap banyak penggemar Israel dan pelaku kekerasan tersebut, yang kemudian menimbulkan tuduhan serta laporan media mengenai serangan anti-Semitisme bergaya ‘pogrom’ terhadap warga Yahudi.
Dalam wawancara dengan media, Maya Sion-Tzidkiyahu – direktur Program Hubungan Israel-Eropa di lembaga pemikir Israel, Mitvim, serta dosen di Forum Eropa Universitas Ibrani dan Program Studi Uni Eropa di Universitas Tel Aviv – menyatakan bahwa para demonstran yang menentang para penggemar Israel “bukan mencari orang Yahudi; serangan mereka ditujukan kepada orang Israel.”
“Mungkin memang ada beberapa di antara mereka yang anti-Semit, tetapi apa yang terjadi di sini sebenarnya adalah anti-Zionisme atau anti-Israel,” tambahnya.
Sion-Tzidkiyahu menegaskan bahwa meskipun tidak ada pembenaran untuk kekerasan, para penentang itu “secara khusus mencari balas dendam terhadap mereka yang merobek bendera Palestina dan menyerukan kematian bagi orang Arab.
Ia menyebut tindakan yang terjadi di Amsterdam sebagai akibat dari sentimen anti-Israel “Ada anti-Semitisme baru yang sangat tajam, tetapi di Amsterdam, itu lebih banyak merupakan anti-Israel dan anti-Zionisme.”
Mengenai kekerasan yang terjadi, Sion-Tzidkiyahu menjelaskan bahwa “sebagai orang Israel, kita harus memahami bagaimana kita dipandang di Eropa.”
Ia mengakui bahwa setelah serangan 7 Oktober tahun lalu, ada simpati besar terhadap orang Israel, namun ia juga mencatat bahwa “sebulan setelah perang dimulai, jumlah korban sipil di Gaza menimbulkan gelombang besar sentimen anti-Israel.”
Ia memperingatkan bahwa “sangat mudah untuk menyebut segalanya dengan kata ‘anti-Semitisme.'”
Profesor tersebut juga memperingatkan bahwa selama pemerintah Israel dan sekutunya di Eropa dan Barat terus mengklaim bahwa oposisi terhadap Israel dan kejahatan perang yang dilakukannya adalah anti-Semitisme, Tel Aviv justru membahayakan nasib orang Yahudi Eropa dengan anti-Semitisme yang sebenarnya berasal dari anti-Israelisme dan anti-Zionisme.
“Meskipun kali ini serangan tersebut adalah anti-Israelisme dan anti-Zionisme, sebagai orang Israel, kita harus memahami bahwa tindakan Israel di Gaza menantang dan bahkan membahayakan orang Yahudi Eropa serta kelangsungan hidup orang Yahudi di Eropa karena meningkatnya serangan anti-Semitisme terhadap mereka.”