Dalam perkembangan baru krisis Sudan, sejumlah tokoh politik dan sipil berhasil mencapai kesepahaman penting dalam dialog tidak resmi yang berlangsung di Kota Nyon, Swiss.
Mereka menegaskan perlunya penghentian perang dan memulai proses politik inklusif menuju penyelesaian konflik serta pembentukan pemerintahan sipil yang demokratis.
Pertemuan itu difasilitasi oleh organisasi Prancis Promediation, yang sebelumnya telah menyelenggarakan empat lokakarya serupa.
Dialog kali ini mempertemukan perwakilan dari Koalisi Sipil Demokratik Kekuatan Revolusi (Sumud) yang dipimpin mantan Perdana Menteri Abdalla Hamdok dengan sejumlah kelompok dari Koalisi Blok Demokratik yang mendukung militer.
Dari blok tersebut hadir ketuanya, Jaafar al-Mirghani, bersama wakil dari Gerakan Pembebasan Sudan pimpinan Minni Arko Minnawi, ketua Aliansi Demokratik untuk Keadilan Sosial Mubarak Ardol, serta tokoh hukum terkemuka Nabil Adib.
Turut hadir pula koalisi Gerakan Nasional pimpinan al-Tijani al-Sisi dan Koalisi Rekonsiliasi Nasional yang dipimpin Mubarak al-Fadil al-Mahdi, bersama sejumlah tokoh independen.
Perbedaan dan penolakan
Namun, tidak semua pihak menyambut pertemuan itu. Beberapa kelompok dalam Blok Demokratik memboikot lokakarya Nyon dan menolak duduk bersama koalisi Sumud.
Mereka menyebutnya sebagai sekutu politik Rapid Support Forces (RSF) berdasarkan perjanjian yang ditandatangani Januari 2024 di Addis Ababa.
Di antara kelompok yang menolak hadir adalah Gerakan Keadilan dan Kesetaraan (JEM) pimpinan Jibril Ibrahim, Dewan Tertinggi Kepala Suku Beja dan otoritas tradisional independen di Sudan Timur yang dipimpin Mohamed al-Amin Turk, serta Gerakan Pembebasan Sudan faksi Mustafa Tambour.
Sementara itu, kelompok Islamis tidak termasuk dalam pertemuan Nyon. Menurut laporan La Croix, organisasi penyelenggara sebelumnya telah memfasilitasi pertemuan tersendiri bagi mereka di Kuala Lumpur pada Agustus lalu.
Tujuannya, untuk menyatukan posisi sebelum kemungkinan keterlibatan mereka dalam upaya rekonsiliasi nasional yang lebih luas.
Bagi banyak pengamat, kehadiran kelompok-kelompok yang sebelumnya saling berseteru menjadi sinyal positif bahwa sebagian pihak sipil mulai melakukan evaluasi politik dan mencari titik temu untuk mengakhiri perang serta memulai proses politik bersama.
Dua jalur utama
Dalam pernyataan penutup, para peserta menegaskan bahwa mengakhiri konflik adalah prioritas kemanusiaan mendesak.
Mereka menyerukan penciptaan kondisi yang mendukung dimulainya proses politik yang dapat menghasilkan kesepakatan menyeluruh demi mengakhiri penderitaan rakyat dan menjaga keutuhan negara.
Mereka menekankan bahwa proses politik harus berangkat dari inisiatif nasional dan didukung oleh konsensus luas yang mencakup semua pihak.
Kesepakatan awal itu mencakup dua jalur kerja utama:
- Jalur keamanan dan militer, yang membahas penghentian tembak-menembak, pengaturan bantuan kemanusiaan, serta kerangka kerja untuk peluncuran proses politik.
 - Jalur politik, yang menitikberatkan pada langkah-langkah lanjutan dan pembentukan kesepakatan atas isu-isu nasional, termasuk penyusunan agenda dialog komprehensif dan pembahasan tahap transisi.
 
Tahap awal yang disepakati bertujuan membangun kepercayaan melalui penegakan gencatan senjata dan persiapan iklim politik bagi dialog lanjutan, yang akan dilanjutkan dengan lokakarya dan konferensi tambahan dengan dukungan masyarakat internasional.
Pernyataan akhir menegaskan bahwa Proses Nyon merupakan langkah penting menuju “proyek nasional inklusif” yang dapat mengakhiri perang dan membuka jalan bagi transformasi sipil serta politik yang sejati.
Semua kekuatan politik Sudan diundang untuk bergabung dalam proses ini demi membangun masa depan negara yang berlandaskan perdamaian, keadilan, dan kesetaraan kewargaan.
Upaya menjembatani perbedaan
Juru bicara koalisi Sumud, Jaafar Hassan, mengatakan bahwa dialog Nyon menghadirkan sejumlah aktor politik dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik dan berhasil mempersempit perbedaan pandangan di antara mereka.
Dalam pernyataannya di laman resmi koalisi, ia menyebut pertemuan itu sebagai “konsultasi informal namun berpengaruh”, yang telah berlangsung hampir satu tahun dengan lima putaran pembahasan.
Menurut Hassan, pertemuan terakhir menunjukkan kemajuan nyata dalam mendekatkan posisi kelompok-kelompok sipil, meski belum mencapai kesepakatan final.
“Kita belum sampai pada titik penyelesaian, tetapi langkah-langkah penting telah dicapai untuk membuka jalan bagi dialog politik yang bisa mengakhiri perang secara permanen,” ujarnya.
Peneliti politik Mohamed Amin menilai Proses Nyon edisi kelima ini mencatat kemajuan terbatas.
Ia mencatat bahwa peserta berasal dari kelompok pro-militer, pihak yang mengklaim netral, dan tokoh-tokoh dekat dengan Koalisi Tasis (Pendiri).
Namun, ia juga menyoroti bahwa pernyataan akhir tidak memuat seruan untuk menyingkirkan pihak manapun dari proses politik, seperti yang kerap disuarakan oleh Sumud.
Menurutnya, butir-butir kesepakatan dalam pertemuan itu masih bersifat umum dan belum menyentuh isu-isu krusial seperti siapa yang akan terlibat dalam dialog Sudan-Sudan, di mana dialog itu akan digelar.
Selain itu, juga sejauh mana keterlibatan pihak regional dan internasional, serta masa depan militer dalam Dewan Kedaulatan dan posisi pimpinan RSF beserta sekutu politiknya.
Meski banyak pertanyaan masih menggantung, Proses Nyon dianggap oleh sebagian pihak sebagai langkah awal menuju kompromi politik yang lebih luas.
Sebuah upaya sulit namun mendesak untuk mengakhiri perang yang telah memecah Sudan selama lebih dari setahun.

                                    
