Pada 5 Maret lalu, Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump mengeluarkan peringatan keras kepada Hamas melalui platformnya “Truth Social”.
Trump mengawali pesannya dengan frasa “Shalom Hamas”, sambil menjelaskan bahwa kata tersebut berarti “halo dan selamat tinggal” sekaligus.
Trump saat itu menuntut agar Hamas segera membebaskan semua sandera dan mengembalikan jenazah korban tewas, dengan ancaman bahwa ketidakpatuhan akan berujung pada “akhir mereka”.
Trump juga menegaskan bahwa AS akan memberikan semua yang dibutuhkan Israel untuk menyelesaikan misi tersebut.
Ia memperingatkan bahwa tidak ada anggota Hamas yang akan aman jika tuntutannya tidak dipenuhi.
Ia menyerukan para pemimpin Hamas untuk meninggalkan Gaza sebelum terlambat. Ia seraya memastikan bahwa masa depan cerah menanti penduduk Gaza jika para sandera dibebaskan, jika tidak, konsekuensinya akan sangat berat.
Tak sampai 2 minggu setelah ancaman tersebut, pesawat-pesawat Israel membombardir langit dan daratan Gaza dengan bom dan kehancuran, tepat saat waktu sahur di bulan Ramadan.
Serangan itu ketika Gaza belum selesai meratapi luka-luka akibat agresi brutal yang telah berlangsung hampir satu setengah tahun.
Apakah Israel akan melakukannya?
Setiap kali terjadi eskalasi militer Israel terhadap Gaza, pertanyaan ini selalu muncul. Apakah ini hanya perang taktis untuk melemahkan perlawanan, ataukah langkah dalam rencana strategis jangka panjang untuk mengubah peta demografi dan politik di Palestina? Apakah Israel akan melakukannya kali ini: pengusiran massal?
Sekilas, tampaknya eskalasi baru Israel bertujuan untuk mencetak terobosan dalam isu sandera. Serta, memberikan tekanan kuat kepada Hamas agar membebaskan tentara Israel dan warga negara ganda Amerika yang ditahan.
Dalam konteks yang lebih luas, sebagian orang melihat perang ini sebagai bentuk “penangkalan”.
Sementara yang lain percaya bahwa ini adalah bagian dari rencana besar yang telah dirancang Israel selama puluhan tahun.
Hal ini memanfaatkan kelemahan sistem regional dan perubahan prioritas kekuatan besar dunia.
Maka, apakah kita sedang menyaksikan perang baru atau upaya untuk merumuskan ulang seluruh tatanan?
Tujuan militer dan politik Israel
Israel, melalui operasi militernya di Gaza, berupaya mencapai serangkaian tujuan militer dan politik.
Mulai dari menghancurkan atau setidaknya melemahkan perlawanan Palestina secara signifikan. Hingga menggunakan perang sebagai alat politik domestik untuk meredam tekanan terhadap pemerintah Israel.
Sejak awal agresi, para pejabat Israel berulang kali menyatakan bahwa tujuan utama adalah menghancurkan Hamas, sebuah slogan yang terus diulang sejak 2008. Namun belum pernah benar-benar tercapai dalam perang-perang sebelumnya.
Operasi militer Israel kali ini tampak lebih brutal dan meluas, namun pertanyaan tetap ada. Apakah ada niat politik nyata untuk menghapus perlawanan sepenuhnya? Ataukah dinamika internasional membatasi Israel agar tidak melampaui batas tertentu yang dapat menimbulkan dampak diplomatik dan keamanan yang tidak diinginkan?
Selain itu, pembicaraan mengenai rencana pengusiran massal warga Gaza ke Sinai atau wilayah lain semakin sering terdengar.
Meskipun belum ada dokumen resmi yang menyatakan bahwa Israel secara terbuka mengadopsi strategi ini.
Sejarawan dan analis mencatat bahwa dalam sejarah militernya, Israel telah melakukan pengusiran paksa secara luas sejak Nakba 1948.
Israel juga secara berkelanjutan menerapkan kebijakan “penyempitan kehidupan” untuk mendorong warga Palestina melakukan migrasi sukarela, melalui blokade ketat, penghancuran infrastruktur, dan menjadikan hidup di Gaza hampir mustahil.
Namun, pelaksanaan pengusiran paksa secara langsung bisa memicu reaksi internasional yang tak terduga. Terutama jika beberapa negara besar memutuskan untuk campur tangan secara politik atau menjatuhkan sanksi terhadap Israel.
Meski dunia Arab tengah lemah, Israel menyadari bahwa memaksa warga Palestina meninggalkan tanah mereka dengan kekerasan bisa menciptakan krisis diplomatik besar yang mungkin tidak sanggup ditanggung Tel Aviv saat ini.
Konteks politik internal
Di ranah domestik, pemerintahan Benjamin Netanyahu menghadapi salah satu masa paling bergejolak dalam sejarah pemerintahan Israel.
Terjadi protes dalam negeri yang besar, pertikaian antara lembaga keamanan, serta tekanan politik dan diplomatik terkait perang.
Dalam situasi ini, Netanyahu memanfaatkan eskalasi militer sebagai alat politik domestik untuk menyatukan kembali opini publik di belakang pemerintahannya.
Netanyahu juga mengalihkan perhatian dari krisis internal, khususnya konflik dengan Mahkamah Agung dan kasus-kasus korupsi yang membelitnya.
Namun, pertanyaan tetap terbuka. Sejauh mana strategi ini akan berhasil dalam jangka panjang? Apakah benar-benar akan memperkuat posisinya secara politik, ataukah biaya militer dan politik yang tinggi justru akan mengikis dukungan rakyat Israel terhadapnya, dan akhirnya menggagalkan tujuannya sendiri?
Lingkungan regional dan internasional serta dampaknya terhadap konflik
Lingkungan regional dan internasional memainkan peran krusial dalam menentukan arah perang yang sedang berlangsung di Gaza.
Posisi negara-negara Arab dan dunia internasional mencerminkan keseimbangan kekuatan dan kepentingan yang saling terkait di kawasan tersebut.
Di dunia Arab, rezim-rezim pemerintahan menghadapi dilema ganda. Di satu sisi, mereka tidak mampu menanggung beban menghadapi Israel secara politik atau militer mengingat situasi domestik yang rapuh dan perpecahan regional.
Namun, di sisi lain, setiap penerimaan diam-diam terhadap rencana pengusiran paksa warga Palestina bisa menjadi bencana politik yang dapat mengancam legitimasi pemerintahan mereka di mata rakyat.
Sementara itu, negara-negara yang paling terikat dengan isu Palestina seperti Mesir dan Yordania, telah mengadopsi sikap penolakan terhadap skenario pengusiran.
Tetapi posisi ini masih bersifat verbal tanpa memiliki alat yang efektif atau keputusan tegas untuk menghentikannya jika itu terjadi.
Di sisi Eropa, perhatian terhadap isu Palestina telah merosot karena Eropa kini disibukkan dengan konflik Ukraina, yang telah menjadi prioritas utama dalam kebijakan luar negeri dan pertahanan negara-negara Barat.
Hal ini menyebabkan lemahnya sikap ibu kota Eropa terhadap eskalasi Israel di Gaza, di mana terlihat jelas standar ganda dalam menangani krisis global.
Sementara Ukraina didukung melawan Rusia atas nama “hak membela diri”, serangan Israel terhadap Palestina juga dibenarkan dengan alasan yang sama.
Namun, beberapa negara Eropa seperti Spanyol dan Irlandia mulai mengkritik kebijakan Israel secara lebih terbuka.
Walaupun langkah ini belum mencapai tingkat yang dapat mempengaruhi jalannya konflik atau kebijakan Israel secara nyata.
Adapun AS, tetap memberikan dukungan tradisionalnya kepada Israel, namun pada saat yang sama, ia menangani perang ini dengan perhitungan strategis yang cermat.
Pernyataan-pernyataan dari Washington menegaskan bahwa Amerika masih menjadi pendukung utama Israel, tetapi tanpa memberikan mandat terbuka.
Pemerintahan AS tidak menginginkan perang di Gaza berkembang menjadi krisis regional besar yang dapat menggerus pengaruhnya di Timur Tengah.
Dengan meningkatnya operasi perlawanan di Laut Merah, tampaknya waktu eskalasi Israel bisa menjadi bagian dari rencana yang lebih luas.
Eskalasi itu untuk mempertahankan Israel sebagai kekuatan penangkal terhadap kekuatan yang menentang AS di kawasan, memperkuat aliansi keamanan AS-Israel di tengah perubahan keseimbangan kekuatan regional.
Masa depan perang, ke mana arah situasi Ini?
Dengan terus berlangsungnya eskalasi militer Israel di Gaza, pertanyaan yang terus bergema adalah sejauh mana kemungkinan tercapainya “kemenangan tuntas” dalam perang ini.
Sejak 2008, pengalaman militer Israel menunjukkan bahwa perang yang berulang di Gaza tidak menghasilkan kemenangan final. Melainkan hanya mengubah sementara keseimbangan kekuatan tanpa mengeliminasi perlawanan sepenuhnya.
Bahkan jika kemampuan militer faksi-faksi Palestina dilemahkan, infrastruktur perlawanan selalu menunjukkan kemampuan membangun kembali dalam waktu singkat, sebagaimana terjadi dalam konflik sebelumnya.
Oleh karena itu, setiap kemenangan Israel bersifat sementara dan kemungkinan besar tidak akan mengubah strategi jangka panjang.
Mengenai skenario pengusiran paksa, meskipun ada indikasi tentang upaya Israel mendorong warga Gaza untuk keluar, pelaksanaan rencana ini secara luas menghadapi tantangan besar.
Secara politik, pengusiran akan menimbulkan krisis diplomatik internasional yang belum pernah terjadi. Terutama jika negara-negara tetangga menolak menerima pengungsi Palestina, yang bisa meningkatkan tekanan internasional terhadap Israel.
Dari sisi logistik, pengusiran lebih dari 2 juta warga Palestina membutuhkan infrastruktur dan persetujuan internasional yang kompleks, hal yang sulit untuk direalisasikan dengan mudah.
Karena itu, ide pengusiran mungkin lebih merupakan alat tekanan psikologis dan politik dibanding rencana nyata yang bisa segera dijalankan.
Negara-negara Arab kemungkinan besar akan menanggung beban terbesar berupa biaya rekonstruksi Gaza. Dengan gaya “shock and awe” ala Trump, yang mengangkat tuntutan setinggi mungkin dalam negosiasi demi memperoleh keuntungan maksimal.
Di sisi lain, meski menghadapi kerugian besar dalam hal korban jiwa, perlawanan Palestina membuktikan daya tahannya, sehingga menyulitkan Israel untuk meraih semua tujuannya.
Jika Israel gagal mencapai “kemenangan strategis”, perang ini bisa menjadi pemicu meningkatnya perekrutan dalam barisan perlawanan, bukan malah melemahkannya.
Dalam skenario ini, kemenangan militer hanya akan menjadi ilusi jangka pendek, dan Gaza akan tetap menjadi tantangan strategis permanen bagi perhitungan Israel. Terlepas dari intensitas serangan atau luasnya operasi militer.
Antara realita dan ekspektasi
Dengan berlanjutnya agresi terhadap Gaza, masa depan perang ini tetap diselimuti ketidakjelasan,
Karena tampaknya tidak ada skenario kemenangan yang jelas, baik secara militer maupun politik, bagi pihak manapun.
Meskipun Israel menggunakan kekuatan penghancur yang sangat besar, eliminasi total terhadap perlawanan Palestina tampaknya tidak realistis. Mengingat kemampuan mereka yang berulang untuk membangun kembali dan beradaptasi dengan situasi.
Sementara itu, skenario pengusiran, meskipun tetap menjadi kemungkinan dalam wacana politik Israel, masih belum pasti karena kompleksitas logistik dan politik yang menghambat pelaksanaannya.
Tantangan utama adalah bahwa setiap upaya untuk memaksa warga Gaza pergi dapat memicu krisis diplomatik besar.
Hal itu membuat Israel lebih cenderung mengejar “pengusiran sukarela” melalui tekanan ekonomi dan kondisi hidup yang buruk, alih-alih pengusiran langsung yang bisa memicu reaksi tak terduga secara regional maupun internasional.
Sebaliknya, negara-negara besar masih memanfaatkan konflik ini untuk melayani agenda mereka yang lebih luas. Mereka menjadikannya sebagai alat tekanan atau tawar-menawar dalam kebijakan regional dan internasional yang lebih kompleks.
Di tengah perubahan perhitungan politik dan militer, Gaza tetap menjadi korban utama dari keseimbangan kekuatan global ini. Warga sipil Palestina menanggung beban terbesar dari eskalasi yang terus berlanjut.
Putaran baru agresi ini dimulai dengan ancaman dan peringatan dari Trump saat ia berbicara dengan lidah Ibrani. Ia mengatakan “Shalom Hamas”.
Keterlibatan langsung sang presiden AS dalam detail taktik perang psikologis dan media membuat skenario masa depan menjadi jauh lebih rumit dari sebelumnya.