Manusia

Ini Golongan Manusia yang Jauh dari Rahmat Allah

Sebenarnya, perjalanan hidup manusia tidak lama di dunia ini. Karena itu, menjalani kehidupan ini adalah pilihan. Artinya, bagaimana dia menjalani kehidupannya, maka itulah kelak buah yang akan dia petik di akhirat nanti. Di antara manusia ada yang merasa bahagia dengan kehidupan dunianya, dan dia tidak berfikir tentang bagaimana kehidupan akhiratnya kelak. Mereka teramat cinta dengan dunia sehingga lupa pada akhirat. Mereka yang lupa pada kehidupan akhirat ini termasuk dalam golonga orang-orang yang merugi.

Terkait dengan hal di atas, Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالاً الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعاً

Katakanlah: Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Qs. Al-Kahfi : 103-104).

Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,

مَن يَهْدِ اللّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي وَمَن يُضْلِلْ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

“Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan siapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi.” (Qs. Al-A’raaf : 178).

Allah Ta’ala juga berfirman,

مَّن كَانَ يُرِيدُ ثَوَابَ الدُّنْيَا فَعِندَ اللّهِ ثَوَابُ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَكَانَ اللّهُ سَمِيعاً بَصِيراً

Siapa yang menghendaki pahala di dunia saja (maka ia merugi), karena di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Qs. An-Nisaa’: 134).

Berikut ini adalah ciri-ciri manusia yang jauh dari rahmat Allah Ta’ala,

Pertama, orang-orang yang lalai. Allah Ta’ala mengunci mati hati, pendengaran dan penghlihatan kelompok ini dari semua kebaikan dan kemuliaan. Sebenarnya Allah Ta’ala sudah memberikan waktu untuk mereka bertaubat, hanya saja karena mereka lebih memilih kelalaian, maka Allah kunci hati mereka. Kelak mereka ini akan menjadi orang-orang yang benar-benar merugi.

Firman ALLAH Ta’ala :

أُولَـئِكَ الَّذِينَ طَبَعَ اللّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ وَأُولَـئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ لاَ جَرَمَ أَنَّهُمْ فِي الآخِرَةِ هُمُ الْخَاسِرونَ

Mereka itulah orang-orang yang hati, pendengaran dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang lalai. Pastilah bahwa mereka di akhirat nanti adalah orang-orang yang merugi. (Qs. An-Nahl : 108-109).

Kedua, golongan syaithan (lupa pada Allah). Ini adalah golongan manusia yang selalu mengikuti hawa nafsunya. Dalam kehidupannya mereka lebih memilih syaithan menjadi temannya. Syaithan menghias segala keburukan agar terlihat baik di mata mereka. Pada akhirnya mereka lupa kepada Sang Pencipta, Allah Ta’ala yang selalu mencurahkan rahmat kepada setiap orang yang bertaubat.

Allah Ta’ala berfirman,

اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَأَنسَاهُمْ ذِكْرَ اللَّهِ أُوْلَئِكَ حِزْبُ الشَّيْطَانِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ الشَّيْطَانِ هُمُ الْخَاسِرُونَ

Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah golongan syaitan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan syaitan itulah golongan yang merugi.”  (Qs. Al-Mujaadilah : 019).

Kedua, berburuk sangka kepada Allah. Oleh karena mereka mengira bahwa Allah Tabaraka wa Ta’ala telah memberi mereka keburukan dan menjauhkan daripada mereka kebaikan yang mereka kehendaki, dan itulah seburukburuk persangkaan kepada Allah. Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala senantiasa memberi kebaikan kepada sekalian manusia bahkan kepada manusia yang tiada menyembah-Nya sekalipun (kafir).

Allah Ta’ala berfirman,

وَذَلِكُمْ ظَنُّكُمُ الَّذِي ظَنَنتُم بِرَبِّكُمْ أَرْدَاكُمْ فَأَصْبَحْتُم مِّنْ الْخَاسِرِينَ

“Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka terhadap Tuhanmu, prasangka itu telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi.”  (Qs. Fushslhilat : 23).

Keempat, mengada-adakan dusta Kepada Allah. Yaitu mereka yang didunia bersusah payah untuk menampakkan kepada manusia, bahwa adalah ia orang yang paling baik ucapannya dan perbuatannya dan yang mengatakan sesuatu yang baik sedang sesuatu yang baik yang ia sampaikan itu tiadak ada pada dirinya. Atau seorang pemimpin yang memiliki kekuasaan yang dengan kekuasaannya ia berbuat dengan sekehendak hatinya dan tiada berbuat adil kepada umatnya sedang di hatinya tidak ada Allah, dan padahal sesungguhnya Allah Maha Mengetahui atas sekalian gerangan yang ia sembunyikan didalam hatinya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ إِن تَأْمَنْهُ بِقِنطَارٍ يُؤَدِّهِ إِلَيْكَ وَمِنْهُم مَّنْ إِن تَأْمَنْهُ بِدِينَارٍ لاَّ يُؤَدِّهِ إِلَيْكَ إِلاَّ مَا دُمْتَ عَلَيْهِ قَآئِماً ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ لَيْسَ عَلَيْنَا فِي الأُمِّيِّينَ سَبِيلٌ وَيَقُولُونَ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Di antara Ahli Kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu Dinar, tidak dikembalikannya padamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaran mereka mengatakan: “Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummi. Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui.  (Qs. Ali-Imraan : 075).

Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,

فَمَنِ افْتَرَىَ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ مِن بَعْدِ ذَلِكَ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Maka siapa mengada-adakan dusta terhadap Allah sesudah itu, maka merekalah orang-orang yang zalim. (Qs. Ali-Imraan : 094).

Kelima, aniaya. Yaitu mereka yang tiada berlaku adil terhadap sesama, yang cenderung merugikan orang lain demi keuntungan yang ia akan peroleh untuk dirinya sendiri atau seumpama manusia berbuat kecurangan yang nyata dalam kehidupannya dan manusia yang kerap menganiaya orang lain dan dirinya sendiri walaupun karena kesalahan-kesalahan yang diakibatkan oleh perbuatannya.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَاناً وَظُلْماً فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَاراً وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللّهِ يَسِيراً

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Qs. An-Nisaa’ : 29-30).

Keenam, menaati pemimpin yang zhalim. Menaati pemimpin yang zalim akan membuat seseorang jauh dari rahmat Allah Ta’ala. Pemimpin yang zalim hanya akan menggiring umatnya pada lembah kebinasaan dan orang seperti itu tidak perlu ditaati. Pemimpin zalim hanya akan menambah buruk keadaan dan menjatuhkan seseorang dalam kehinaan. Tidak ada kebaikan pada pemimpin yang zalim.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَئِنْ أَطَعْتُم بَشَراً مِثْلَكُمْ إِنَّكُمْ إِذاً لَّخَاسِرُونَ

Dan sesungguhnya jika kamu sekalian mentaati manusia yang seperti kamu, niscaya bila demikian, kamu benar-benar (menjadi) orang-orang yang merugi. (Qs. Al-Mu’minuun : 034).

Ketujuh, percaya pada kebatilan dan ingkar kepada Allah. Padahal Allah Tabaraka wa Ta’ala telah menetapkan sesuatu putusan itu atas kamu, bahwa yang sedemikian ini dan sedemikian itu..maka beginilah hukumnya. Namun, sebahagian kamu lebih menyukai untuk mengingkari putusan Allah, sedang kamu lebih menyukai segala putusan yang bathil yang ada pada manusia sedang kamu berkata bahwa itulah suatu putusan yang sebaik-baiknya.

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ كَفَى بِاللَّهِ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ شَهِيداً يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالَّذِينَ آمَنُوا بِالْبَاطِلِ وَكَفَرُوا بِاللَّهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

Katakanlah: “Cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dan diantara kamu. Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi. Dan orang-orang yang percaya kepada yang batil dan ingkar kepada Allah, mereka itulah orang-orang yang merugi. (Qs. Al-Ankabuut’ : 52).

Orang yang ingkar kepada Allah dan percaya pada keburukan adalah orang-orang yang sudah menzalimi dirinya sendiri. Kelak orang-orang semacam ini akan mendapatkan siksa di hari kiamat kelak. Allah Ta’ala berfirman,

وَتَرَاهُمْ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا خَاشِعِينَ مِنَ الذُّلِّ يَنظُرُونَ مِن طَرْفٍ خَفِيٍّ وَقَالَ الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ الْخَاسِرِينَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنفُسَهُمْ وَأَهْلِيهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَلَا إِنَّ الظَّالِمِينَ فِي عَذَابٍ مُّقِيمٍ

Dan kamu akan melihat mereka dihadapkan ke neraka dalam keadaan tunduk karena (merasa) hina, mereka melihat dengan pandangan yang lesu. Dan orang-orang yang beriman berkata: “Sesungguhnya orang-orang yang merugi ialah orang-orang yang kehilangan diri mereka sendiri dan (kehilangan) keluarga mereka pada hari kiamat. Ingatlah, sesungguhnya orang-orang yang zalim itu berada dalam azab yang kekal. (Qs. Asy – Syuura : 045).

Semoga Allah Ta’ala membimbing setiap langkah kita agar selalu dimudahkan menggapai rahmat dan kasih sayang-Nya, aamiin.[]

Jadilah Manusia Tawadhu

Allah SWT berfirman, “Dan berendah dirilah (tawadhu) kamu terhadap orang-orang yang beriman.(QS 15: 88). Dalam Ihya’ Ulumuddin, diriwayatkan bahwa suatu ketika Yunus bin ‘Ubaid, Ayyub As-Sakhtiani dan al-Hasan al- Basri mendiskusikan arti tawadhu. Hasan berkata, “Tahukah kamu apa itu tawadhu? Tawadhu ialah saat kamu keluar dari rumah dan menjumpai seorang Muslim lalu kamu melihat bahwa orang tersebut memiliki kelebihan daripada dirimu sendiri.”

Hakikat tawadhu ialah merasa hina dengan tetap berpegang teguh pada kebenaran yang merujuk pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Tawadhu bukanlah rendah diri, melainkan rendah hati. Orang yang tawadhu tidak akan merasa tinggi hati ketika dipuji. Dan sebaliknya, tidak merasa hina ketika dicaci. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun pernah bersabda, Siapa bertawadhu karena Allah, maka Allah akan mengangkat derajatnya.”

Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad dalam Risalatul Mu’awanah wa al-Muwazarah menguraikan indikator orang yang memiliki karakter tawadhu. Di antaranya ialah lebih menyukai tidak dikenal ketimbang terkenal, menerima kebenaran dari siapa pun, mencintai orang-orang fakir dan bersosialisasi dengannya, serta bersifat altruistis (lebih mementingkan orang lain dibanding dirinya sendiri).

Adapun lawan dari tawadhu ialah sifat takabur (sombong). Ciri utama takabur ialah menolak kebenaran dari siapa pun (bathar al-haq) dan meremehkan sesama manusia (ghamthu an-nas). Abdullah bin ‘Amr pernah bersua dengan Abdullah bin Umar di atas Bukit Shafa, lalu keduanya berhenti sejenak. Kemudian Abdullah bin ‘Amr pergi, sementara Abdullah bin Umar masih berdiri di atas bukit dan menangis. Lantas orang-orang bertanya, “Apakah yang menyebabkanmu menangis?” Ia menjawab, “Sebab Abdullah bin ‘Amr pernah mendengar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa siapa dalam hatinya ada sifat takabur seberat biji sawi, niscaya Allah akan membenamkan mukanya dalam api neraka.”

Sejarah telah membuktikan, kesombongan akan selalu berakhir pada jurang kebinasaan. Fir’aun, Namrud, dan Qarun adalah contoh manusia yang hancur karena keangkuhannya. Ingatlah selalu nasihat Lukman al- Hakim pada anaknya yang terekam abadi dalam Al Quran, “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS 31: 18).

Dalam Ihya’ diceritakan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala  pernah berfirman kepada Nabi Musa, “Sesungguhnya Aku menerima shalat orang yang merendahkan dirinya karena kebesaran-Ku, ia tidak menyombongkan dirinya atas makhluk-Ku, serta hatinya senantiasa takut dan berzikir kepada-Ku, serta ia mengekang nafsunya karena-Ku.” Oleh karena itu, janganlah Anda berbangga hati akan keelokan fisik, jabatan, kekayaan, gelar kesarjanaan, serta berbagai atribut keduniaan lainnya. Sadarilah sedini mungkin bahwa semuanya itu ada rentang batasnya.

Jauhkanlah jiwa kita dari haus eksistensi diri dan ketamakan penghargaan dari sesama manusia. Hargailah sesama karena kemanusiaannya sembari menihilkan diri kita sendiri. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari menegaskan, esensi tawadhu adalah menampakkan diri lebih rendah pada orang yang ingin memuliakannya.[]

Mereka yang Diperbudak Harta

Bagaimana mungkin orang bisa dikatakan menyembah harta? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ ، إِنْ أُعْطِىَ رَضِىَ ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ . (رواه الترمذي وأحمد وابن الحبان)

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Celakalah hamba (orang yang diperbudak) dinar, dirham, beludru dan kain bergambar. Jika dia diberi dia ridha, jika tidak diberi dia tidak ridha.” (HR. Tirmidzi, no. 2336; Ahmad 4/160; Ibnu Hibbân no. 3223)

Dalam hadits di atas, setidaknya bisa memberikan beberapa pelajaran berharga bagi kita, antara lain sebagai berikut.

Pertama, seharusnya seorang hamba tidak membiarkan dirinya diperbudak harta dalam kehidupannya. Tidak pula ia selalu berangan-angan bahkan bermimpi untuk mendapatkannya, mencintai dan membenci karenanya, membela dan memusuhi hanya demi harta. Karena hal itu hanya akan membawa kepada kehancurannya.

Tidak ada kehancuran yang buruk bagi seorang manusia kecuali ia hancur karena membawa nafsu serakah, menghalalkan segala cara untuk bisa mendapat dan mengumpulkan harta dunia. Memang dunia ini begitu menyilaukan. Namun, jika pandangan mata sudah terus melekat ke hati tentang harta dunia, maka sulit rasanya ia akan lepas dari harta dunia itu.

Kedua, harta itu adalah ujian, padahal manusia sangat menyukainya. Oleh karena itu, banyak orang yang gagal dalam menghadapi ujian besar ini. Sedikit sekali orang yang bisa bersyukur kepada Allah SWT. Atas limpahan nikmat-Nya yang tidak terhitung banyak dan nilainya.

Begitulah dunia, ia hanya tempat tinggal dan mati sementara sebelum sampai ke alam akhirat. Semua laku yang pernah terukir di lembaran sejarah dunia, kelak akan dimintai pertanggungjawaban sebagi bukti keadilan Sang Maha Pencipta, Allah Ta’ala.

Ketiga, banyak orang yang keliru. Di matanya, jika Allah memberikan harta yang banyak kepadanya, itu bertanda Allah mencintainya. Sebaliknya, jika Allah mengurangi rizkinya, itu pertanda Allah menghinakannya. Dua hal yang saling bertengan inilah yang sering jadi kekeliuran dalam memandang. Karena semua itu merupakan ujian dari Allah Azza wa Jalla.

Jadi, jangan menduga bentuk sayang Allah Ta’ala kepada hamba-Nya itu selalu diukur dari melimpahnya harta dan banyaknya kekayaan yang dititipkan kepadanya.

Keempat, Allah memberikan harta kepada siapa yang disukai atau yang dibenci. Itulah bentuk keadilan Allah kepada setiap hamba-Nya. Tiada seorangpun yang bisa menghalangi rezeki orang lain, jika Allah menghendakinya. Begitu juga Allah Ta’ala bisa menarik lagi setiap rezeki yang sudah diberikan kepada hamba-Nya kapanpun Dia mau.

Kelima, setiap hamba harus menyadari bahwa semua yang terjadi di dunia ini adalah ujian. Karena itu akan terlihat nanti siapa hamba-Nya yang taat dan yang ingkar saat ujian itu datang menghampirinya.

Di mata Allah Ta’ala, kemuliaan dan kehinaan seseorang tidak bisa diukur dari banyak sedikitnya harta yang dimiliki seseorang. Hal itu seperti difirmankan Allah Ta’ala dalam firman-Nya,

فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ ۞ وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَن ۞

“Adapun manusia, jika dia diuji oleh Rabbnya, dimuliakan dan diberi kesenangan, maka dia akan berkata, “Rabbku telah memuliakanku”. Sedangkan bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rizkinya, maka dia berkata, “Rabbku telah menghinakanku.” (Qs. Al-Fajar: 15-16)

Jangan merasa bangga dengan banyaknya harta yang Allah titipkan. Namun juga jangan terlampau sedih karena sedikitnya harta yang Allah Ta’ala berikan. Hal itu seperti dalam firman Allah Ta’ala,

أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مَالٍ وَبَنِينَ ۞ نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ ۚ بَلْ لَا يَشْعُرُونَ ۞

“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka ? tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (Qs. Al-Mukminun: 55-56)

Karena harta itu merupakan ujian, tak sedikit orang yang gagal ketika dia diuji dengan harta itu. Kegagalan manusia saat di uji Allah dengan harta sudah disampaikan Allah Ta’ala dalam firman-Nya,

وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ … ۞

“Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi.” (Qs. Asy-Syura: 27)

Begitulah harta yang akan Allah berikan kepada Bani Adam. Terkadang, dengan harta yang dititipkan Allah itu seorang insan menjadi lupa daratan, sehingga harta itu kelak di akhirat akan menjadi beban berat baginya. Di sisi lain, tak sedikit orang yang dititipi harta oleh Allah, tapi ia tetap sadar bahwa semua itu adalah milik Allah, sehingga ia bisa menggunakan harta itu sesuai aturan Allah dan Rasulnya, wallahua’lam.[]

Lima Kelemahan Manusia yang disebutkan Al-Quran

MANUSIA adalah makhluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah swt. Manusia juga dituntut untuk selalu beribadah kepada Allah SWT. Seperti yang telah Allah katakan dalam Al-Quran :

Dan tidaklah Aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali untuk beribadah kepadaku.” (Q.S adz-Dzaariyaat ayat 56).

Selain untuk menyembah Allah SWT, manusia juga dijadikan Khalifah dimuka bumi Allah, sebagai mana Allah telah berfirman dalam AL-Quran :

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ”Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, ”Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana. Sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, ”Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 30) 

Kesempurnaan yang dimiliki manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi dan tugas mereka sebagai khalifah di muka dumi ini. Al-Quran menerangkan bahwa manusia berasal dari tanah.

Namun, dibalik itu setiap insan manusia pasti memiliki kekurangan dan kelemahan. Karena Allah SWT tidak membebani umatnya diluar batas kesanggupannya.

“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (Q.S An-Nisa ayat 28).

Berikut kelemahan yang dimiliki manusia dalam dirinya :

Pertama, manusia yang sifatnya membantah | Allah berfirman: “Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Alquran ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah (makhluk) yang paling banyak membantah.” (Q.S al-Kahfi ayat 54).

“Imam Ahmad meriwayatkan bahwa ‘Ali bin Abi Thalib memberitahukan bahwa Rasulullah pernah mengetuk pintu rumahnya pada malam hari yang ketika itu ia bersama Fathimah binti Rasulullah seraya berkata: “Tidakkah kalian berdua mengerjakan shalat?” Lalu aku menjawab: “Ya Rasulullah, sesungguhnya jiwa kami berada di tangan Allah, jika Dia berkehendak untuk membangunkan kami, maka kami bangun.” Maka beliau pun kembali pada saat kukatakan hal itu kepadanya, sedang beliau sama sekali tidak melontarkan sepatah kata pun kepadaku. Kemudian ketika beliau membalikkan pungungnya sambil menepuk pahanya, beliau membacakan: wa kaanal insaanu aktsara syai-in jadalan (“Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak menibantah.”). (HR. Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab ash-Shahihain).

Kedua, Manusia selalu Zalim dan Bodoh | Amanat berat yang telah disematkan pada manusia itu berupa perintah dan larangan dari Allah SWT. Akan tetapi, ada manusia yang bisa memikul beban ini secara lahir dan batin, merekalah orang-orang beriman. Dan ada yang menerimanya dengan melakukan kemunafikan dan kesyirikan.

Sebagaimana yang telah disebutkan dalam Al-Quran, sungguh manusia itu aman Zalim dan bodoh.

“Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikkullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (Q.S Al Ahzab ayat 72).

Ketiga, Manusia bersifat melampaui batas | “Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.” (Q.S. Yunus Ayat 12).

“Dan janganlah kalian melampaui batas. Sesungguhnya Alah tidak mencintai orang-orang yang melampaui batas,” (Q.S Al Maidah Ayat 87).

Keempat, Manusia bersifat keluh kesah dan kikir |  “Sesungguhnya manusia itu diciptakan bertabiat keluh kesah lagi kikir. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah. Dan apabila dia mendapat kebaikan dia amat kikir.” (Q.S. Al-Ma’arij Ayat 19 – 21).

Kelima, Manusia Bersifat tergesa-gesa | “Dan manusia itu berdoa untuk kejahatan sebagaimana dia berdoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia itu cenderung tergesa-gesa.” (QS al-Isra Ayat 11).

Mudah-mudahan Allah SWT menghilangkan sifat kelemahan yang ada dalam diri kita. Amin. []