Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) mendesak Israel untuk segera mengakhiri blokade terhadap Jalur Gaza, yang kini memasuki bulan kedua. UNRWA menuduh Israel menggunakan bantuan kemanusiaan sebagai “alat tawar-menawar dan senjata perang” terhadap penduduk Palestina di wilayah tersebut.
Melalui pernyataan yang diunggah di platform X (sebelumnya Twitter), UNRWA menyebut bahwa masyarakat Gaza menghadapi “siklus kekerasan mematikan dan kekurangan yang ekstrem”.
“Bantuan kemanusiaan dan pasokan komersial telah diblokir dari memasuki Jalur Gaza sejak 2 Maret oleh otoritas Israel,” tulis UNRWA.
Sejak runtuhnya kesepakatan gencatan senjata bulan lalu, aktivitas militer kembali meningkat dan menyebabkan ratusan korban sipil, baik yang tewas maupun terluka.
“Blokade ini harus dihentikan,” tegas UNRWA.
Kepala Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) di Gaza, Jonathan Whittall, juga memperingatkan bahwa wilayah tersebut berada di ambang kondisi kelaparan total.
“Beberapa hari ke depan akan sangat kritis. Saat ini, warga Gaza tidak sedang bertahan hidup. Mereka yang tidak terbunuh oleh bom dan peluru sedang perlahan mati,” ujar Whittall dalam konferensi pers di Gaza City, Sabtu (27/4).
Ia menambahkan, “Sebagai pekerja kemanusiaan, kami melihat bahwa bantuan telah dijadikan senjata melalui penolakannya. Tidak ada pembenaran untuk menahan bantuan kemanusiaan.”
Program Pangan Dunia (WFP) menyatakan pada Jumat lalu bahwa mereka telah menyalurkan pasokan terakhir ke dapur umum di Gaza, yang diperkirakan akan kehabisan bahan makanan dalam beberapa hari ke depan.
Pemerintah Gaza juga mengonfirmasi bahwa kelaparan kini mulai menjadi kenyataan bagi 2,3 juta penduduk di wilayah tersebut.
Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, sebelumnya menegaskan bahwa konvoi bantuan tidak akan diizinkan masuk ke Gaza, sebagai bagian dari strategi menekan Hamas.
“Tidak akan ada bantuan kemanusiaan yang diizinkan masuk ke Gaza. Ini adalah alat tekanan utama yang menghentikan Hamas menggunakan jalur tersebut terhadap populasi,” kata Katz dalam pernyataan di X.
Sejak 1 Maret, Israel telah memberlakukan blokade total terhadap pasokan makanan, air, bahan bakar, obat-obatan, dan bantuan penting lainnya. OCHA menyebut krisis ini sebagai “krisis kemanusiaan terburuk dalam 18 bulan terakhir sejak perang dimulai”.
“Anak-anak kini makan kurang dari satu kali sehari dan berjuang untuk mendapatkan makanan berikutnya,” ujar Bushra Khalil, Kepala Kebijakan dari Oxfam.
“Semua orang hanya mengandalkan makanan kaleng… Malnutrisi dan kelaparan di beberapa wilayah benar-benar sedang terjadi,” tambahnya.
Amande Bazerolle, Koordinator Darurat di Gaza dari Lembaga Dokter Tanpa Batas (MSF), menyebut bahwa para pekerja kemanusiaan kini menghadapi beban yang mustahil, dengan pasokan yang menipis dan ancaman keselamatan yang terus meningkat.
“Ini bukan kegagalan kemanusiaan — ini adalah pilihan politik, serangan yang disengaja terhadap kemampuan suatu masyarakat untuk bertahan hidup,” tegas Bazerolle.
MSF juga mengecam serangan berkelanjutan Israel di Gaza yang disebut menunjukkan “pengabaian terang-terangan” terhadap keselamatan para pekerja kemanusiaan.
“Gaza telah berubah menjadi kuburan massal bagi warga Palestina dan mereka yang datang untuk membantu mereka. Kami menyaksikan secara langsung kehancuran dan pengusiran paksa terhadap seluruh populasi Gaza,” tambahnya.
Liz Allcock dari organisasi Medical Aid for Palestinians (MAP) menyatakan bahwa pasokan bantuan sudah sangat menipis. “Kami benar-benar kehabisan segalanya,” ujarnya.
Sementara itu, juru bicara WFP, Abeer Etefa, menyebut situasi di Gaza “semakin buruk”. Seluruh dapur umum yang didukung WFP telah tutup sejak stok tepung gandum habis pada 31 Maret. Stok paket makanan untuk dibagikan juga telah habis sejak awal April.
Etefa menambahkan bahwa lebih dari 85.000 ton makanan masih menunggu untuk dapat masuk ke wilayah Gaza.
Data dari Global Nutrition Cluster menunjukkan bahwa pada Maret 2025 saja, 3.696 anak di Gaza dirawat karena malnutrisi akut, meningkat dari 2.027 kasus pada Februari.
Sementara itu, pasokan medis terus menipis di tengah terus bertambahnya jumlah korban luka. Sejak dimulainya kembali serangan Israel pada 18 Maret lalu, lebih dari 2.060 warga Palestina tewas, mayoritas di antaranya adalah anak-anak dan perempuan.
Total korban tewas sejak 7 Oktober 2023 telah melebihi 51.400 orang, dengan lebih dari 117.400 lainnya terluka.