Dokter spesialis bedah asal Yerusalem, Wael Abu ‘Arafa, telah 9 kali menginjakkan kaki di Jalur Gaza untuk menjalankan misi kemanusiaan.
Namun sejak perang meletus, ia hanya bisa menyaksikan dari kejauhan, menahan rasa perih karena tak mampu masuk dan membantu para korban yang terluka.
Sejak kecil, Gaza bukanlah tempat asing bagi dr. Wael Abu ‘Arafa. Ia kerap menemani sang ayah yang berprofesi sebagai pedagang sayuran untuk mengambil barang dagangan dari Gaza.
Kini, sebagai dokter spesialis urologi dan bedah onkologi, Abu ‘Arafa menjadi saksi langsung atas penderitaan medis yang membelenggu warga Gaza akibat perang dan blokade.
Dalam wawancara khusus bersama Al Jazeera, dokter yang kini bertugas di Rumah Sakit St. Joseph (RS Prancis) di Yerusalem dan RS Spesialis Nablus ini mengisahkan perjuangannya, keterbatasan yang dihadapi, dan kecintaan mendalamnya pada Gaza.
Siapakah dr. Wael Abu ‘Arafa?
Saya anak Yerusalem dan anak Palestina. Lahir di kawasan Kota Tua Yerusalem pada 8 September 1958, saya dibesarkan di lingkungan Al-Qirami.
Lulus SMA dari Al-Ma’had Al-Arabi di Abu Dis pada tahun 1977, saya lalu menempuh studi kedokteran umum di Rumania dan lulus tahun 1984.
Setelah itu, saya mendalami bedah umum, dan kemudian mengambil spesialisasi lanjutan dalam bidang bedah urologi anak dan dewasa, serta bedah tumor di ginjal dan saluran kemih.
Pendidikan lanjutan saya tempuh di Yerusalem, London, dan New York. Sejak tahun 2000 hingga kini, saya bertugas di RS Prancis Yerusalem dan RS Spesialis Nablus.
Mengapa memilih spesialisasi urologi?
Dulu sangat sedikit dokter di bidang ini. Saya ingin bersama rekan-rekan membangun basis keilmuan dan pelayanan bedah urologi di seluruh Palestina.
Apakah kini jumlah spesialis sudah mencukupi? Dan bagaimana dengan fasilitas medis yang tersedia?
Jumlah dokter urologi kini sudah mencukupi. Fasilitasnya bervariasi, ada yang baik, ada pula yang masih sangat terbatas.
Di RS Prancis, kami rutin melakukan operasi yang setara dengan rumah sakit besar di dunia, baik untuk pasien dewasa maupun anak-anak.
Banyak kasus rujukan kompleks dari wilayah lain di Palestina karena operasi semacam itu memerlukan keahlian dan peralatan khusus.
Sekitar 60 persen pasien kami berasal dari Tepi Barat dan Gaza. Namun sejak perang terakhir, arus pasien dari Gaza terputus total.
Mereka yang kami tangani biasanya menderita tumor ginjal, kelainan bawaan saluran kemih, atau luka tembak dan luka bakar akibat serangan militer.
Bahkan, 80 persen dari pasien Gaza yang kami terima adalah untuk operasi urologi.
Berapa banyak pasien asal Gaza yang anda tangani tiap tahun? Dan kasus apa yang paling umum?
Kami menerima antara 100 hingga 150 pasien dari Gaza setiap tahun. Mayoritas datang dengan kasus tumor atau kelainan bawaan—terutama pada anak-anak.
Kelainan tersebut bisa disebabkan oleh pernikahan antarkerabat, tetapi banyak juga yang disebabkan oleh dampak perang dan paparan senjata berbahaya.
Kini kami bahkan menerima pasien anak berusia 10–12 tahun dengan kanker ginjal atau saluran kemih.
Kasus seperti ini sebelumnya sangat jarang, namun meningkat drastis sejak penggunaan senjata seperti fosfor putih dan uranium terdeplesi di Gaza.
Berapa kali anda berkunjung ke Gaza dan dalam kerangka apa?
Sebagai warga biasa dan sebagai dokter, saya telah mengunjungi Gaza berkali-kali. Secara profesional, misi pertama saya dimulai pada tahun 2011 lewat organisasi “Palestine Children’s Relief Fund.”
Selanjutnya saya bekerja sama dengan “Physicians for Human Rights” dan “Doctors Without Borders.”
Kunjungan terakhir saya adalah dua bulan sebelum perang terkini meletus. Saya seharusnya kembali ke Gaza dalam misi kemanusiaan Desember 2023, tetapi rencana itu otomatis dibatalkan akibat perang.
Pasien di Gaza memerlukan banyak intervensi bedah, baik karena komplikasi dari operasi sebelumnya, cedera akibat agresi militer, maupun tumor. Ada pula anak-anak yang lahir dengan kelainan bawaan.
Dalam setiap kunjungan yang berlangsung 3–7 hari, saya biasa melakukan antara 15 hingga 20 operasi per hari bersama tim medis di sana.
Bagaimana anda memandang Gaza sebagai seorang warga Yerusalem?
Gaza sudah saya kenal sejak kecil. Bersama ayah saya, seorang pedagang sayur, kami sering ke sana mengambil barang dagangan. Gaza selalu punya tempat khusus di hati saya.
Dulu, Gaza adalah lumbung pangan Palestina, dengan tanah yang melimpah hasil panennya. Namun perang telah menghancurkan lahan-lahan itu. Kini banyak tanah menjadi tandus dan tak bisa digarap lagi.
Saya masih ingat, kami biasa tiba di Gaza pukul 08.00 pagi dan kembali ke Yerusalem pukul 13.00 siang. Gaza dulu dan sekarang tetap menjadi jantung Palestina.
Masyarakatnya sangat nasionalis, sopan, dan dermawan. Mereka sungguh layak mendapatkan yang terbaik.
Apa yang membedakan orang Gaza dibanding warga Palestina di wilayah lain?
Warga Gaza sangat berbeda. Mereka punya cinta luar biasa terhadap hidup, kerja, keluarga, dan solidaritas sosial.
Hal yang paling membekas bagi saya adalah kemurahan hati mereka. Di Gaza, Anda akan merasa seolah berada di rumah sendiri—bahkan lebih dari itu.
Siapa pun yang Anda sapa di jalan bisa langsung mengajak Anda makan siang di rumahnya, dengan tulus, bukan sekadar basa-basi.
Bahkan saat mereka tidak punya cukup makanan untuk anak-anaknya, mereka tetap menjamu tamu.
Karena itu, saya sangat terluka melihat kondisi kelaparan sekarang. Saya tahu betul kemurahan hati macam apa yang mereka miliki.
Saya menjalin hubungan yang sangat baik dengan para dokter, staf medis, dan masyarakat umum di sana.
Sampai sekarang, banyak pasien yang tetap menghubungi saya, meminta saran medis. Tapi saya merasa lumpuh sebagai dokter, karena hanya bisa menjawab lewat telepon, tanpa bisa benar-benar membantu mereka yang terkurung dan kesakitan.
Saya menyaksikan langsung profesionalisme para dokter di sana. Meski minim sarana, mereka memiliki kompetensi dan semangat luar biasa.
Banyak dari mereka yang bekerja 24 hingga 48 jam tanpa henti, tanpa keluhan. Mereka bahkan tak memikirkan apakah akan digaji di akhir bulan atau tidak.
Ada rasa tanggung jawab yang sangat dalam terhadap profesi mereka dan pasien yang mereka rawat.
Mengapa Gaza masih membutuhkan dokter dari luar? Apakah karena blokade dan hambatan mobilitas?
Betul. Banyak dokter Gaza tidak bisa keluar untuk menempuh pendidikan lanjutan, atau tidak bisa kembali setelah menyelesaikannya.
Selain itu, keterbatasan alat dan pasokan medis membuat mereka tak mampu menjalankan operasi tertentu.
Karena itu, kami para dokter dari luar datang sambil membawa semua yang diperlukan untuk operasi—dari benang jahit hingga peralatan khusus. Dan jumlah pasien yang butuh penanganan itu sangat besar.
Selama di Gaza, saya bekerja di banyak rumah sakit besar, termasuk RS Al-Shifa, RS Eropa, dan RS Syuhada Al-Aqsha.
Kini sebagian besar rumah sakit Gaza lumpuh. Apa pandangan anda sebagai dokter, terlebih dalam konteks merebaknya wabah penyakit?
(Sambil memotong) Bukan sebagian—semuanya lumpuh. Saya merasa seolah kehilangan milik pribadi. Ini bukan sekadar keruntuhan sistem, tapi bencana.
Banyak rekan kerja saya gugur, terluka, kehilangan keluarga, atau terpaksa keluar dari Gaza saat perang pecah.
Saya pernah bekerja bersama mereka—dokter-dokter hebat yang menerima kami dengan tangan terbuka selama misi kemanusiaan.
Salah satunya adalah dr. Marwan Sultan, direktur RS Indonesia, yang gugur bersama keluarganya.
Ada juga dr. Hossam Abu Safiyeh yang kini ditahan, dr. Adnan Al-Barsh yang gugur dalam penahanan, dan dr. Muhammad Abu Salmiya, direktur RS Al-Shifa.
Setiap dokter yang gugur, ditahan, atau dipaksa keluar dari Gaza adalah kehilangan besar bagi masyarakat medis dan rakyat Palestina secara umum.
Bayangkan, kini tak ada cairan rehidrasi untuk anak-anak di seluruh Gaza. Klinik, ambulans, bahkan gudang bantuan pun disingkirkan bersama rumah sakit.
Ini bukan sekadar kehancuran—ini eksekusi massal, genosida terang-terangan.
Sudah dua tahun tak ada pasien dari Gaza yang masuk ke Yerusalem. Apa risiko medis dari penundaan operasi urologi dan ginjal?
Penundaan pengobatan adalah vonis mati. Pasien-pasien ini butuh penanganan segera, tapi kini mereka bahkan tak bisa mencari pengobatan—mereka hanya mencari air dan roti.
Selama perang, layanan cuci darah untuk pasien gagal ginjal terganggu. Apa risikonya secara medis?
Mesin cuci darah nyaris tak lagi beroperasi sejak awal perang. Kalau pun ada yang masih berfungsi, jumlahnya sedikit dan membutuhkan bahan yang sangat sulit diperoleh.
Padahal, cuci darah adalah kebutuhan rutin. Jika dihentikan, tubuh akan keracunan oleh limbah cair dan elektrolit.
Kadar kalium dalam darah bisa meningkat tajam, mengganggu irama jantung, lalu menyebabkan jantung berhenti.
Banyak yang sudah meninggal hanya karena tak bisa menjalani prosedur penyelamat jiwa ini.
Jika perang berhenti, meski hanya sejenak, apakah anda akan kembali ke Gaza? Atau itu tak lagi mungkin karena fasilitas sudah hancur?
Kalau perang berhenti hari ini, saya akan ke Gaza besok. Selama perang, saya berusaha masuk, tapi tak berhasil.
Banyak teman saya—dokter dari Kuwait dan diaspora Palestina di Eropa—berhasil masuk. Saya tetap terhubung dengan mereka.
Apa yang paling anda rindukan dari Gaza?
Saya rindu Gaza dan warganya. Rindu setiap orang yang pernah saya temui di sana. Saya juga rindu menginap di Hotel Al-Mathaf, tempat saya biasa tinggal.
Di dekatnya ada Hotel Al-Mushtal—keduanya rusak karena perang. Di seberang hotel berdiri Masjid Al-Khalidi, yang kini juga hancur dibom. Semua bangunan itu berada di tepi laut, dekat Kamp Pengungsi Al-Shati.
Apa harapan terbesar anda?
Saya berharap perang ini segera berakhir. Saya ingin kembali ke Gaza secepatnya. Dan bukan hanya saya—banyak dokter lainnya juga ingin kembali melayani rakyat Gaza.