Ketika anak-anak di berbagai belahan dunia sibuk kembali ke sekolah dan melanjutkan pendidikan, ribuan anak di Jalur Gaza justru terjebak dalam spiral kebodohan yang dipaksakan oleh perang.
Selama hampir dua tahun agresi militer Israel yang tiada henti, satu generasi di Gaza mulai tumbuh tanpa bisa membaca atau menulis.
Anak-anak yang seharusnya kini duduk di bangku kelas tiga SD belum pernah mencicipi pendidikan dasar.
Saban pagi, alih-alih menuju ruang kelas, anak-anak Gaza berangkat untuk mencari air bersih, makanan sisa, atau potongan kayu untuk menyalakan api setelah bahan bakar benar-benar habis.
Suara deru pesawat dan desingan rudal menjadi pengganti lonceng sekolah yang tak lagi terdengar.
Menurut pengakuan sejumlah ibu, anak-anak mereka belum pernah belajar membaca huruf Arab ataupun berhitung dasar karena tidak sempat menjalani pendidikan kelas satu dan dua.
“Mereka sudah kehilangan dua tahun emas dalam hidup mereka,” ujar salah satu ibu kepada Al Jazeera Net.
Pendidikan hancur total
Selama perang yang dimulai pada Oktober 2023, hampir seluruh fasilitas pendidikan di Gaza hancur dibom atau dijadikan target.
Ribuan siswa dan guru tewas. Bahkan, upaya warga sipil untuk menyelenggarakan pendidikan darurat di tempat-tempat pengungsian pun tak lepas dari ancaman serangan.
Kondisi ini mengingatkan kembali pada dampak perang-perang sebelumnya di Palestina.
“Sejak tujuh dekade lalu, perang telah melahirkan generasi yang buta huruf. Sekarang sejarah itu berulang,” kata seorang ibu lainnya.
Dalam upaya mempertahankan secercah harapan, sejumlah ibu berusaha mengajarkan anak-anak mereka huruf dan angka.
Namun, suasana tidak memungkinkan. Guncangan bom, suara drone, serta ketakutan akan kehilangan anggota keluarga membuat proses belajar nyaris mustahil dilakukan.
Yang lebih mendesak adalah bertahan hidup: mencari air, mencari makan, dan berlindung dari serangan.
Kalaupun perang berhenti dalam waktu dekat, kerusakan yang ditimbulkan terhadap sistem pendidikan amat besar.
Ribuan anak harus mengulang dua tahun pelajaran yang telah hilang. Ribuan lainnya bahkan mungkin tidak akan pernah kembali ke bangku sekolah karena kehilangan tempat tinggal, keluarga, atau motivasi untuk belajar.
Sekolah diganti tenda
Sementara itu, para guru yang selamat dari serangan mulai mengambil inisiatif. Meski kehilangan gedung sekolah, perlengkapan, dan perangkat elektronik, mereka mencoba menghidupkan kembali semangat belajar.
Di kamp-kamp pengungsian dan tenda-tenda darurat, mereka mendirikan papan tulis sederhana dan membuat kelas darurat di bawah langit terbuka.
Beberapa guru membentuk kelompok pembelajaran daring melalui media sosial, berharap bisa menjangkau siswa yang masih memiliki akses ke ponsel atau jaringan internet, betapapun terbatasnya.
Namun, tantangan tetap besar. Menurut data dari Wakil Menteri Pendidikan Gaza, Khaled Abu Nada, sekitar 90 persen fasilitas pendidikan di Gaza telah hancur.
Sebanyak 785.000 siswa dan siswi kehilangan haknya atas pendidikan. Lebih dari 13.000 pelajar dan 800 guru serta tenaga pendidik dilaporkan gugur dalam agresi ini.
Jumlah ini termasuk 150 akademisi dan ilmuwan, sebagian besar dari mereka adalah dosen dan peneliti universitas.
Pendidikan yang diputus dengan sengaja
Abu Nada menegaskan bahwa serangan terhadap sektor pendidikan dilakukan dengan sengaja.
“Ini bukan kerusakan sampingan. Ini adalah kebijakan untuk memutus masa depan Gaza,” ujarnya.
Generasi muda Gaza, yang seharusnya menjadi tulang punggung kebangkitan bangsa Palestina, kini menghadapi risiko nyata menjadi generasi buta huruf, miskin keterampilan, dan penuh trauma.
Dan ini, bagi sebagian pengamat, adalah salah satu tujuan tersembunyi dari agresi panjang Israel: menghapus masa depan sebuah bangsa lewat penghancuran sistematis terhadap lembaga-lembaga pendidikannya.
Dalam diam dan debu reruntuhan, Gaza sedang kehilangan anak-anak yang seharusnya menjadi harapan.
Di tengah perang yang menghancurkan rumah, rumah sakit, dan sekolah, satu lagi yang hampir musnah: masa depan.