Harian Wall Street Journal menilai, perang Israel di Gaza memang menghasilkan capaian militer, namun sekaligus melemahkan simpati dunia terhadap Tel Aviv.
Israel kini menghadapi risiko menjadi negara yang terisolasi, bahkan di mata para sekutunya, akibat jatuhnya korban sipil dalam jumlah besar dan penyebarannya yang luas melalui media sosial.
Laporan yang ditulis David Luhnow dan Joshua Chaffin itu mengingatkan kembali pada solidaritas dunia Barat di hari-hari awal pasca serangan 7 Oktober 2023.
Kala itu, gedung-gedung ikonik seperti Empire State Building di Amerika Serikat, Menara Eiffel di Prancis, hingga Gerbang Brandenburg di Jerman, dihiasi cahaya biru-putih—warna bendera Israel—sebagai simbol dukungan.
Namun, hampir dua tahun berlalu, simpati itu kian terkikis. Serangan udara, blokade, serta operasi darat yang berkepanjangan di Gaza menewaskan dan mengusir puluhan ribu warga sipil.
Selain itu juga memperparah kelaparan, dan menimbulkan penderitaan luas. Seluruh tragedi itu terus-menerus disiarkan lewat miliaran ponsel ke seluruh penjuru dunia.
Howard Wolfson, seorang strategi veteran Partai Demokrat, dalam sebuah podcast terbaru, mengakui perubahan besar itu.
“Kita sudah kalah dalam pertarungan hati dan pikiran. Fakta di lapangan menunjukkan opini publik bergeser sangat cepat, dan menjauh jauh dari Israel,” ujarnya.
Di tengah situasi itu, keputusan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk mengizinkan serangan terhadap kepemimpinan politik Hamas di Qatar memunculkan kontroversi baru.
Operasi yang dilancarkan pekan ini memperlihatkan sikap Israel yang semakin berani menyerang musuh-musuhnya tanpa mengindahkan opini dunia.
Israel sebelumnya memang melakukan operasi serupa di wilayah musuh, seperti Lebanon dan Iran.
Namun, kali ini berbeda: serangan dilakukan di wilayah Qatar, sekutu dekat Amerika Serikat (AS).
Lebih jauh, sasaran adalah para pemimpin Hamas yang sedang membahas proposal gencatan senjata yang diusulkan Washington. Pesannya jelas: Israel tidak menaruh minat untuk bernegosiasi.
Presiden AS Donald Trump, meski mengaku memahami alasan Israel untuk menghancurkan Hamas, mengecam keras langkah tersebut.
“Serangan itu tidak menguntungkan kepentingan Amerika maupun Israel,” kata Trump.
Kritik serupa juga datang dari Jerman dan Inggris, sementara Kanada bahkan menyatakan tengah “mengevaluasi hubungan” dengan Israel.
Dari Daud ke Goliat
Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengingatkan risiko yang kini dihadapi Israel.
“Mereka mungkin memenangkan perang, tetapi tidak memenangkan dunia opini publik. Itu merugikan mereka, kalian tahu,” ujarnya.
Kekhawatiran itu muncul seiring hasil jajak pendapat yang menunjukkan 60 persen warga AS tidak setuju dengan operasi militer Israel di Gaza.
Wall Street Journal mencatat, perang yang berkepanjangan di Gaza telah memicu peningkatan sentimen antisemit di berbagai belahan dunia, sehingga menyulitkan kehidupan jutaan warga Yahudi.
Di Inggris, hampir separuh orang dewasa menilai Israel memperlakukan warga Palestina sebagaimana Nazi memperlakukan orang Yahudi saat Holocaust.
Michael Koplow, analis dari Forum Kebijakan Israel, menilai perang ini akan meninggalkan jejak panjang.
“Ketika perang berhenti, keadaan tidak akan kembali seperti semula. Citra Israel akan berubah permanen di mata dunia, dan itu akan berimbas pada banyak hal: ekonomi, diplomasi, bahkan militer,” katanya.
Bagi Israel, reputasi internasional selalu menjadi hal vital. Negara itu membutuhkan sekutu kuat untuk menopang posisinya di kawasan yang dianggap penuh permusuhan, serta dukungan moral sebagai satu-satunya negara Yahudi di dunia.
Namun, menurut laporan tersebut, perang di Gaza telah menggerus citra Israel sebagai “Daud” yang lemah dan penuh simpati, lalu mengubahnya menjadi “Goliat” yang perkasa namun ditakuti.
Bahkan, beberapa negara Barat yang selama ini dikenal sebagai pendukung setia Israel mulai mengambil jarak.
Sejumlah pemerintah menyatakan tekadnya untuk mengakui negara Palestina. Jerman—pemasok senjata terbesar kedua bagi Israel—sudah menangguhkan sebagian ekspor persenjataannya.
Sinyal serupa datang dari Italia. Perdana Menteri Giorgia Meloni, yang selama ini dikenal pro-Israel, menyatakan bahwa pihaknya tidak pernah ragu membela Israel.
Namun, pada saat yang sama, kami tidak bisa lagi berdiam diri menyaksikan respons yang melampaui prinsip proporsionalitas.”
Masalah isolasi
Dalam setiap perang, selalu ada dua medan yang mesti dikuasai: medan tempur dengan senjata, serta medan informasi dan opini publik untuk merebut hati dan pikiran.
Menurut Wall Street Journal, dalam konflik di Gaza, Israel memang unggul di medan pertempuran, tetapi justru kesulitan besar di medan informasi.
Perbedaan persepsi itu terasa jelas. Bagi masyarakat Israel, perang dipandang dari kacamata ancaman eksistensial.
Namun, di luar negeri, pandangan berbeda berkembang. Banyak warga Israel sulit memahami mengapa dunia begitu gusar.
Peter Lerner, mantan juru bicara militer Israel, menyebut negaranya memiliki argumen kuat untuk membantah tuduhan kejahatan perang dan genosida di Gaza.
Namun, tuduhan genosida itu kian memperoleh bobot, antara lain karena bahasa yang digunakan para pemimpin Israel sejak 7 Oktober 2023.
Pernyataan-pernyataan mereka bahkan dijadikan rujukan oleh Afrika Selatan dalam gugatan di Mahkamah Internasional (ICJ) terhadap Israel.
Eliyahu Stern, profesor sejarah Yahudi di Universitas Yale, menilai Israel dulu dikenal lihai dalam strategi: piawai menyeimbangkan ambisi dengan realitas politik global.
Tetapi, menurutnya, perang kali ini melabrak prinsip itu.
“Israel tidak pernah menggunakan bahasa yang bersifat eksklusif seperti sekarang,” ujarnya.
Stern mengingatkan, meski Israel kelak mungkin menolak putusan ICJ jika terbukti melakukan genosida, konsekuensinya bisa panjang.
“Apa yang terjadi bila seorang mantan tentara Israel suatu hari hendak bepergian ke Eropa atau Amerika Selatan?” tanyanya.
Ia menutup dengan refleksi tajam: Israel mungkin benar dalam keinginannya memberantas Hamas hingga ke akar, tetapi apa artinya kebenaran jika akhirnya hanya menyisakan isolasi?