Friday, July 4, 2025
HomeBeritaWawancara - IUMS serukan bentuk aliansi Islam bela Yerusalem dan Palestina

Wawancara – IUMS serukan bentuk aliansi Islam bela Yerusalem dan Palestina

Ketua Persatuan Ulama Muslim Internasional, Ali Mohieddin Al-Qaradaghi, mengungkapkan bahwa pihaknya telah mengajukan sebuah inisiatif kepada negara-negara Islam dan Arab.

Inisiatif itu untuk membentuk “Aliansi Islam Ekonomi dan Keadilan” guna membela Yerusalem dan seluruh wilayah Palestina yang diduduki.

Ia menyebutkan bahwa proyek ini telah ditawarkan secara resmi dan kini tengah menanti kesempatan bertemu beberapa kepala negara untuk membahasnya lebih lanjut.

Dalam wawancara bersama Al Jazeera Net, Al-Qaradaghi juga menyampaikan bahwa apa yang tengah terjadi di Gaza dan kompleks Masjid Al-Aqsha merupakan pelanggaran luar biasa yang terjadi di tengah ketidakberdayaan dan kebungkaman dunia.

Situasi ini, menurutnya, dimanfaatkan Israel untuk menyelesaikan persoalan Palestina dan mengukuhkan dominasi regionalnya dengan dukungan Amerika Serikat (AS).

Berikut petikan wawancaranya:

Bagaimana anda melihat eskalasi pelanggaran Israel yang berbahaya di Masjid Al-Aqsha di tengah situasi perang dan perhatian dunia yang teralihkan?

Rezim pendudukan Israel, yang kini dipimpin Benjamin Netanyahu, telah menemukan kesempatan emas untuk menghapus sepenuhnya isu Palestina dan membentuk tatanan baru di Timur Tengah sesuai visinya.

Netanyahu secara terbuka menyatakan niatnya ke Washington dalam rangka pengaturan ulang tersebut.

Dari sudut pandangnya, momentum ini sangat tepat untuk menuntaskan proyek pendudukan dan menguasai kawasan Timur Tengah secara penuh, dengan koordinasi dan kemitraan bersama AS.

Israel ingin menjadi semacam “polisi kawasan” mewakili Amerika, sekaligus menjadi mitra utamanya. Hal ini terjadi karena lemahnya respons Arab yang sangat mencolok, bahkan—berbicara tentang pemerintah-pemerintah Arab—kondisinya antara benar-benar tidak berdaya dan bungkam.

Begitu pula dunia Barat, dan bahkan negara-negara besar seperti Cina dan Rusia, belum menunjukkan sikap yang kuat. Mereka hanya mengeluarkan kecaman biasa, tanpa tindakan nyata.

Dalam kondisi aneh seperti ini, sangat wajar jika rezim pendudukan memanfaatkan situasi dan meningkatkan semua bentuk pelanggaran.

Kelompok “Gugus Kuil” yang didukung otoritas pendudukan telah mengambil langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya di Al-Aqsha belakangan ini. Apakah kita bisa bangun suatu hari tanpa Al-Aqsha? Apa yang akan terjadi jika itu terjadi?

Ya, kita benar-benar menghadapi risiko yang besar. Kelompok “Gugus Kuil” memang telah mengambil langkah ekstrem dalam beberapa waktu terakhir. Dan benar, bisa saja suatu pagi kita bangun dan mendapati Al-Aqsha sudah tidak ada.

Kita telah menyaksikan hal yang belum pernah terjadi sebelumnya, seperti dibatalkannya salat Jumat karena serangan terhadap Teheran, sementara demonstrasi dan perayaan-perayaan keagamaan Yahudi berlangsung semarak di dalam pelataran Al-Aqsha.

Bahkan pernyataan Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben Gvir, sangat jelas:

“Yerusalem adalah milik kami. Tidak ada pembagian Al-Aqsha. Semua milik kami. Gaza milik kami. Timur Tengah pun milik kami.” Begitulah mereka berbicara.

Sementara itu, dunia Arab diam. Israel tidak hanya hadir di Gaza, tetapi juga telah mencaplok wilayah di Suriah dan leluasa beroperasi di langit Lebanon, membunuh dan menghancurkan sesuka hati. Ini adalah pendudukan total.

Apakah respons dari kalangan ulama, masyarakat, dan pemerintah sebanding dengan eskalasi tindakan kelompok “Gugus Kuil” dan otoritas pendudukan?

Gerakan rakyat di dunia Arab sangat lemah, baik terhadap Gaza, Al-Aqsha, maupun pelanggaran-pelanggaran serius oleh Israel.

Respons resmi dari negara-negara Arab terbagi menjadi 3: ada yang berupaya sesuai kemampuannya, namun tidak mampu berbuat banyak; ada yang memilih diam, dan itu yang paling dominan; serta ada yang justru memberikan dukungan.

Itulah kenyataan pahit dari sikap resmi terhadap Al-Aqsha di tengah percepatan langkah-langkah kelompok “Gugus Kuil” dan otoritas Israel.

Sementara itu, respons masyarakat global justru jauh lebih kuat dibandingkan dengan umat Islam sendiri.

Tapi sayangnya, sikap pemerintah-pemerintah dunia, baik yang Barat maupun non-Barat, belum berada pada level yang diharapkan.

PBB sendiri sudah hampir lumpuh. Bahkan badan seperti UNRWA pun tidak mampu dilindungi. Jika lembaga-lembaga PBB tidak bisa menjaga dirinya sendiri, lalu apa yang bisa kita harapkan darinya?

Bagaimana anda melihat peran para ulama saat ini? Apakah mereka telah menjalankan perannya dalam membela Al-Aqsha?

Para ulama, seperti halnya pemerintah, juga terbagi menjadi tiga kelompok: pertama, mereka yang berpihak pada rezim pendudukan, yang mengenakan jubah dan berjenggot namun menyuarakan retorika yang menyalahkan Hamas—narasi yang persis seperti Netanyahu.

Kedua, para ulama yang saleh dan tulus membela isu Palestina. Ketiga, para ulama yang memilih diam demi melindungi kepentingan mereka.

Kami di Persatuan Ulama Muslim Internasional termasuk kelompok yang berupaya aktif sejak serangan “Thaufan Al-Aqsha” berlangsung.

Kami tidak berhenti mengeluarkan pernyataan, fatwa, dan berbagai inisiatif. Banyak asosiasi ulama dari Indonesia, Malaysia, Pakistan, Turki, dan negara-negara Islam lainnya telah bergabung bersama kami.

Kami bukan lembaga politik, militer, atau diplomatik. Kami adalah lembaga ulama dari kalangan rakyat.

Sejauh kemampuan kami, kami telah berusaha semaksimal mungkin. Jika ada kerja sama yang lebih baik dengan negara-negara Islam, kami tentu bisa berbuat lebih banyak.

Kami bahkan telah mengajukan sembilan proposal resmi kepada negara-negara Arab dan Islam, tetapi sejauh ini belum ada respons. Bahkan di beberapa negara Arab, ruang gerak kami pun masih dibatasi.

Menurut anda, apa tanggung jawab utama para ulama dalam membela dan membangkitkan kesadaran umat terkait Masjid Al-Aqsha?

Para ulama harus memikul tanggung jawab untuk menggerakkan rakyat, meningkatkan kesadaran, dan melakukan mobilisasi.

Seperti yang saya sampaikan, para ulama terdiri dari mereka yang normalisasi, yang diam, dan yang bergerak.

Dan insya Allah, kami di Persatuan Ulama Muslim Internasional termasuk dalam kelompok yang bergerak, sesuai kemampuan kami.

Bagaimana kita dapat menebus kelalaian dan kekurangan dalam membela Masjid Al-Aqsha?

Saya sudah mengusulkan hal ini sejak 9 Januari 2024. Saat itu, saya mengajukan sebuah inisiatif kepada dunia Islam, bahkan kepada komunitas internasional, yang saya beri nama “Hilf al-Fudhul”—sebuah gagasan yang mirip dengan Gerakan Non-Blok.

Proyek ini telah saya sampaikan kepada Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan, Perdana Menteri Malaysia, dan sejumlah pemimpin lainnya.

Tujuannya adalah membentuk aliansi yang terdiri dari perwakilan 120 hingga 140 negara untuk membela hak-hak rakyat Palestina. Itu saya ajukan lebih dari satu setengah tahun lalu, namun sampai hari ini belum ada respons—sayangnya.

Belakangan, saya menyempurnakan inisiatif itu dengan mengusulkan pembentukan “Aliansi Islam Ekonomi dan Keadilan.”

Proposal terkait sudah saya ajukan pula, dan kami berharap dapat bertemu langsung dengan sejumlah kepala negara untuk membahasnya lebih lanjut.

Kini, tangan kekuasaan Israel telah menjangkau ke mana-mana. Mereka menghancurkan siapa saja yang menolak tunduk kepada mereka.

Satu-satunya jalan keluar bagi umat ini adalah dengan kembali bersatu dan membebaskan diri dari kelemahan dan perpecahan yang melumpuhkan.

Bagaimana cara membangkitkan kesadaran publik terhadap situasi yang dihadapi Al-Aqsha?

Kesadaran publik harus dibangkitkan lewat pendekatan keagamaan, melalui penjelasan yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, serta warisan ucapan para ulama dan pemimpin terdahulu kita yang telah memperingatkan bahaya situasi seperti ini.

Jika kita terus diam, maka semuanya akan berakhir. Kita tak akan lagi punya kekuatan, bahkan untuk mengatur keuangan sendiri pun tidak.

Segala macam bentuk pungutan atau pajak akan dipaksakan kepada kita dalam nama lain.

Karena itu, kesadaran ini harus disebarluaskan bukan hanya di tingkat masyarakat umum, tapi juga hingga ke para pemimpin negara-negara Islam dan Arab.

Kita perlu memanfaatkan sejarah, realitas sekarang, serta energi dan emosi umat untuk mendorong perubahan nyata.

Apa saja langkah konkret yang bisa dilakukan umat Islam di seluruh dunia untuk membela Al-Aqsha?

Menurut saya, langkah-langkah itu bisa dibagi sesuai dengan komponen umat Islam sendiri.

Bagi negara-negara, diperlukan tindakan nyata untuk membentuk aliansi Islam yang terorganisasi.

Bagi para ulama, yang dibutuhkan adalah persatuan dan penguatan peran lembaga-lembaga keulamaan di tingkat lokal dan internasional.

Bagi masyarakat umum, perlu ada pengembangan dan penguatan sarana-sarana tekanan, seperti demonstrasi damai yang tertib, efektif, dan terorganisir—tekanan kepada pemerintah, kepada perwakilan diplomatik, dan sebagainya.

Semua langkah ini harus terstruktur dalam kerangka rencana strategis yang jelas, dengan pembagian peran yang sistematis.

Bagaimana arah dukungan dari masyarakat dan lembaga-lembaga dapat disalurkan secara efektif bagi perjuangan Al-Aqsha?

Dukungan masyarakat dan lembaga tentu bisa diarahkan secara sistematis melalui sebuah rencana strategis menyeluruh yang mencakup berbagai bentuk dukungan: politik, diplomatik, ekonomi, sosial, kemanusiaan, pendidikan, hingga dukungan berupa aksi massa.

Kita perlu perluasan dan diversifikasi dukungan dalam semua lini itu, karena medan perjuangan ini tidak bisa ditopang oleh satu sektor saja.

Apa pesan anda kepada umat Islam, kepada para ulama, dan kepada lembaga-lembaga keagamaan dalam menghadapi situasi kritis Masjid Al-Aqsha saat ini?

Pesan saya: Kita sekarang menghadapi ancaman eksistensial, terutama di Palestina.

Wahai umat Islam, apakah kalian rela jika isu ini berakhir? Apakah kalian rela kiblat pertama kalian—yang dibebaskan oleh Umar bin Khattab RA, yang perjanjiannya ditandatangani bersama umat Kristen waktu itu, dan yang kemudian dibebaskan kembali oleh Salahuddin Al-Ayyubi dengan darah puluhan ribu ulama, pemimpin, dan pejuang terbaik umat—diberikan begitu saja kepada para penjajah biadab ini?

Itulah hal pertama yang saya sampaikan.

Kedua, di mana rasa solidaritas keislaman kalian? Bukankah Rasulullah SAW telah bersabda:

“Perumpamaan kaum mukmin dalam kasih sayang dan kepedulian di antara mereka, seperti satu tubuh: jika satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh akan turut merasakan sakitnya dengan tidak bisa tidur dan demam.”

Kita dan Palestina, kita dan Gaza, memiliki hubungan seperti tubuh yang satu. Kita tidak bisa berlepas diri dari mereka.

Pesan saya kepada para pemimpin dunia Islam: Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, jika kalian tidak bergerak, jika kalian tidak membela, jika kalian tidak bersatu dan membentuk aliansi sejati—baik secara militer maupun ekonomi—maka, demi Allah, peta Timur Tengah akan benar-benar berubah.

Dan kalian akan menjadi korban pertama dari perubahan ini, oleh tangan para penjajah yang tak mengenal hak dan belas kasihan.

Mereka akan memulai dengan menyerang pihak yang menentang, lalu yang diam, hingga akhirnya mereka pun akan menyerang para pendukungnya sendiri.

Karena mereka tidak akan menerima keberadaan negara atau kekuatan apa pun yang bisa menghalangi langkah mereka.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular