Rencana penjajah Israel untuk mengambil alih pengelolaan bantuan kemanusiaan di Jalur Gaza melalui skema baru yang disebut Gaza Humanitarian Foundation (GHF) menuai kritik luas, termasuk dari sekutu-sekutu terdekatnya.
Menurut laporan The Washington Post, rencana tersebut kini menghadapi berbagai kendala serius, mulai dari persoalan teknis hingga kekhawatiran mengenai militerisasi bantuan.
Sumber internal menyebutkan bahwa perencanaan dalam badan yang akan menjadi tulang punggung distribusi bantuan itu penuh ketidakpastian. Selain itu, terjadi perbedaan pandangan di tubuh militer Israel sendiri mengenai tujuan akhir dari skema tersebut.
Pemerintah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu semula berencana memulai implementasi sistem ini pekan ini, namun pelaksanaannya ditunda karena peluncuran awal dinilai tergesa-gesa dan kacau.
Rencana yang disusun sejak November 2024 dan disetujui bulan ini menyebutkan bahwa GHF akan bekerja bersama militer Israel dan kontraktor keamanan asing dari Amerika Serikat.
Dari ratusan titik distribusi bantuan yang selama ini dioperasikan lembaga kemanusiaan, hanya akan tersisa empat pusat distribusi yang dikelola GHF, seluruhnya terletak di wilayah selatan Gaza.
Keberadaan pusat-pusat ini dinilai akan memaksa warga Palestina yang tersisa di utara untuk berpindah ke selatan, memperkuat tudingan bahwa Israel menggunakan skema ini untuk memfasilitasi pemindahan massal.
Dokumen internal yang diperoleh The Washington Post menunjukkan bahwa teknologi biometrik akan digunakan di pusat-pusat distribusi, memberikan militer Israel kendali atas siapa saja yang berhak menerima bantuan.
Selain itu, dalam rencana tersebut juga disebutkan pembangunan “zona transisi kemanusiaan” yang dijaga ketat dan berpotensi menampung puluhan ribu warga Palestina. Para perencana bahkan mengantisipasi bahwa publik akan menyebut zona-zona ini sebagai “kamp konsentrasi”.
Lima sumber yang terlibat dalam perencanaan menyampaikan kekhawatiran tentang militerisasi bantuan, penggunaan tenaga keamanan swasta asing, dan pemantauan warga sipil dengan biometrik.
Rencana ini juga memicu penolakan dari sejumlah organisasi kemanusiaan internasional dan negara-negara sekutu Israel, yang menilai skema tersebut bertentangan dengan prinsip dasar bantuan kemanusiaan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan bahwa rencana ini didesain untuk mendukung pemindahan paksa warga Palestina. Tuduhan ini secara tidak langsung dikonfirmasi oleh beberapa pejabat Israel yang menyatakan tujuan mereka adalah mendorong seluruh populasi Gaza ke selatan dan, pada akhirnya, keluar dari wilayah tersebut.
Israel berdalih bahwa sistem baru ini diperlukan karena Hamas dituduh mencuri bantuan untuk membiayai operasinya—meski hingga kini belum ada bukti konkret yang disampaikan.
Pemerintah juga menyebut langkah ini sebagai bagian dari upaya kemanusiaan untuk menyelamatkan warga Palestina dari ancaman kelaparan akibat blokade total selama lebih dari 11 pekan.
Namun, bantuan yang mulai masuk pekan ini masih sangat terbatas. Sekretaris Jenderal PBB menggambarkan jumlah bantuan yang masuk hanya setara “satu sendok teh” dibanding kebutuhan yang ada.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), puluhan anak-anak telah meninggal akibat kekurangan gizi. Rumah sakit kewalahan, dan lebih dari 70.000 anak kini berisiko mengalami malnutrisi akut. Lembaga kemanusiaan memperkirakan diperlukan 500 hingga 600 truk bantuan setiap hari untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk.
Penolakan organisasi bantuan untuk terlibat dalam skema GHF telah membuat badan tersebut belum memiliki rencana distribusi yang jelas. Kekhawatiran meningkat setelah bocoran dokumen menunjukkan GHF hanya akan melayani 60 persen populasi pada tahap awal.
Pendanaan untuk GHF juga belum jelas. Uni Emirat Arab yang disebut sebagai salah satu calon penyokong dana menolak berpartisipasi. Uni Eropa, Inggris, dan Jerman telah menandatangani pernyataan bersama yang mengkritik rencana ini.
Seorang juru bicara GHF mengklaim pihaknya telah menerima donasi senilai 100 juta dollar AS, tetapi menolak mengungkap identitas penyumbangnya. Hingga kini, organisasi tersebut belum memiliki direktur. Mantan kepala WFP, David Beasley, dikabarkan tengah dalam pembicaraan, namun ragu untuk terlibat karena banyaknya ketidakjelasan.
Kebingungan mengenai pelaksanaan rencana ini juga merambah ke tingkat tertinggi militer Israel. Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel, Eyal Zamir, dilaporkan mengaku belum memahami bagaimana pasukan militer akan bekerja sama dengan kontraktor keamanan asing.
Beberapa perwira disebut menentang rencana ini dan lebih memilih sistem distribusi bantuan yang saat ini dijalankan PBB tetap dipertahankan.
“Ini tidak akan berhasil,” ujar mantan kepala intelijen militer Israel kepada The Washington Post.
“Tinggalkan dulu soal kemanusiaan dan moralitas, secara logistik saja, memindahkan orang secara permanen—itu adalah pemindahan besar-besaran atas orang-orang yang sebelumnya sudah dipaksa mengungsi.”