Menjelang tengah malam Sabtu (21/6) hingga Ahad (22/6), aparat kepolisian Israel kembali menyerbu kompleks Masjid Al-Aqsha.
Mereka menggeledah sejumlah ruangan di area masjid, termasuk ruang pemadam kebakaran dan beberapa musala beratap.
Dalam operasi tersebut, empat penjaga ditangkap dan belakangan dibebaskan dengan syarat wajib hadir jika dipanggil kembali untuk diperiksa.
Keempat penjaga yang dibebaskan itu adalah Ramzi Al-Za’anin, Basem Abu Jum’ah, Iyad Udeh, dan Muhammad Arbash.
Mereka bertugas dalam shift malam dan berada di bawah wewenang Waqf Islam—lembaga keagamaan Islam yang mengelola situs suci tersebut.
Pusat Informasi Wadi Hilweh di Yerusalem melaporkan bahwa pembebasan mereka bersifat bersyarat.
Dalam penggeledahan itu, polisi Israel diduga merusak sejumlah perlengkapan dan properti masjid, termasuk melempar mushaf Al-Qur’an ke lantai dan merusak lemari penyimpanan.
Foto-foto dari Musala Al-Qibli memperlihatkan kondisi ruang yang porak-poranda akibat tindakan yang digambarkan oleh otoritas lokal sebagai “brutal dan penuh pelanggaran.”
Eskalasi di tengah ketegangan regional
Serbuan tersebut terjadi di tengah pengetatan pengawasan di sekitar Masjid Al-Aqsa, yang sudah memasuki hari ke-10 sejak diberlakukan pembatasan ketat.
Pemerintah Israel mengklaim pembatasan ini dilakukan berdasarkan instruksi Komando Dalam Negeri militer, dengan dalih keamanan terkait konflik yang sedang berlangsung antara Israel dan Iran.
Meskipun sempat ada pelonggaran pada Rabu malam lalu, yang memungkinkan masuknya sekitar 450 jemaah ke kompleks Al-Aqsha, situasi kembali diperketat setelah Amerika Serikat (AS) melancarkan serangan terhadap tiga fasilitas milik Iran pada malam Ahad.
Seluruh gerbang menuju masjid kembali ditutup, dan hanya warga tertentu yang diizinkan memasuki area Kota Tua Yerusalem.
Reaksi keras dari tokoh agama
Sheikh Ikrimah Sabri, khatib Masjid Al-Aqsa sekaligus Ketua Dewan Tertinggi Islam di Yerusalem, mengecam keras penggerebekan tersebut.
Kepada Al Jazeera, ia menyatakan bahwa tindakan aparat Israel itu merupakan “penodaan terhadap kesucian tempat ibadah serta pelanggaran terhadap kewenangan Waqf Islam.”
“Ini adalah langkah yang sangat berbahaya dan belum pernah terjadi sebelumnya. Tujuannya jelas: menebar ketakutan dan melumpuhkan peran para penjaga malam yang seharusnya bebas menjalankan tugasnya,” ujar Sheikh Sabri.
Ia juga menilai bahwa Israel memanfaatkan situasi perang regional untuk semakin menekan penduduk Yerusalem Timur dan mengisolasi kota itu dari wilayah Palestina lainnya.
Pembatasan terhadap jumlah jemaah, khususnya pada hari Jumat, disebutnya sebagai bentuk pelanggaran terhadap kebebasan beragama umat Muslim.
Kekhawatiran akan rencana lebih besar
Abdullah Marouf, akademisi dan mantan Kepala Humas Masjid Al-Aqsa, mengungkapkan kekhawatirannya bahwa serbuan tersebut merupakan bagian dari skenario lebih besar.
Ia menyebutkan kemungkinan adanya upaya untuk mengosongkan masjid dari penjaga, sebagai persiapan untuk tindakan yang lebih ekstrem.
“Jumlah penjaga saat ini sudah sangat minim karena larangan penambahan personel oleh otoritas Israel. Kini mereka bahkan mengancam untuk melarang para penjaga yang tersisa untuk bertugas,” ujarnya.
Lebih jauh, Marouf menilai bahwa kelompok-kelompok Zionis beraliran ekstrem di pemerintahan Israel melihat konflik dengan Iran sebagai peluang untuk memperkuat cengkeraman mereka atas Masjid Al-Aqsha.
“Ada obsesi terhadap mitos-mitos keagamaan seperti nubuwwah dan akhir zaman. Mereka mencoba menerapkannya secara paksa di lokasi suci ini,” tegasnya.
Seruan perlawanan sipil
Menurut Marouf, tanggung jawab untuk melindungi Al-Aqsha kini berada di tangan masyarakat Yerusalem.
Ia menyerukan peningkatan tekanan dari masyarakat sipil demi menggagalkan rencana-rencana yang dianggap berbahaya bagi status quo masjid.
Saat ini, Kota Tua Yerusalem berada dalam kondisi tertutup hampir sepenuhnya sejak konflik antara Israel dan Iran meletus.
Hanya penduduk yang terdaftar yang diizinkan masuk, membuat akses menuju Masjid Al-Aqsha nyaris terputus.
Penduduk Palestina semakin menyadari bahwa situs suci ini kerap menjadi sasaran politik dalam setiap eskalasi militer atau ketegangan di kawasan.
Sementara itu, kelompok-kelompok Yahudi ekstrem yang mendorong pembangunan kembali “Bait Suci Ketiga” terus memanfaatkan situasi ini demi mendekatkan agenda mereka.
Dalam situasi yang makin tak menentu ini, masa depan salah satu situs tersuci umat Islam tampak kian dipertaruhkan.