Ancaman Israel untuk membunuh para pemimpin Hamas di luar negeri semakin menguat, bersamaan dengan persiapan kunjungan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu ke Gedung Putih pekan depan.
Di tengah upaya Amerika Serikat (AS) mendorong gencatan senjata baru di Jalur Gaza, muncul spekulasi bahwa Tel Aviv tengah menyiapkan serangkaian operasi pembunuhan terhadap tokoh-tokoh Hamas di Gaza, Aljazair, Lebanon, bahkan Qatar.
Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, bulan lalu secara terbuka mengancam akan membunuh Khalil al-Hayya, anggota Biro Politik Hamas yang kini bermukim di Doha, Qatar.
Ia juga menargetkan komandan sayap militer Hamas di Gaza, Izz al-Din al-Haddad.
Situs berita Israel Maariv melaporkan bahwa pemerintah Israel telah menyusun “daftar target” Hamas yang mencakup Hayya, Osama Hamdan (mantan juru bicara Hamas yang berbasis di Lebanon), dan Sami Abu Zuhri (perwakilan Hamas di Aljazair).
Struktur Hamas sendiri terbagi antara sayap politik dan militer. Kepemimpinan politiknya sempat berbasis di Damaskus, Suriah, sebelum meninggalkan negara itu pada 2012 karena konflik dengan pemerintahan Bashar al-Assad.
Qatar kemudian menerima para pemimpin eksil Hamas atas permintaan Presiden AS saat itu, Barack Obama, pada tahun 2011.
Hamas juga sempat memiliki kantor di Kairo, Mesir, dan diketahui para pejabat politiknya sering berkunjung ke Turki, meski belum jelas apakah keberadaan mereka di sana bersifat resmi.
Kamis lalu, harian The Times melaporkan bahwa pemerintah Qatar telah memerintahkan sejumlah pejabat Hamas, termasuk Hayya, untuk menyerahkan senjata pribadi mereka.
Di antara nama-nama yang disebut ikut diminta menyerahkan senjata adalah Muhammad Ismail Darwish, kepala Dewan Syura Hamas, dan Zaher Jabareen, anggota biro politik kelompok tersebut. Namun laporan ini belum dapat diverifikasi secara independen.
Qatar: Sekutu utama AS
Jika Israel benar-benar melakukan pembunuhan terhadap tokoh Hamas di Qatar, seperti yang direncanakan Katz, hal itu akan menjadi eskalasi besar dalam kampanye global Israel terhadap kelompok tersebut.
Selama ini, Israel fokus pada operasi militer di Gaza, Tepi Barat, Iran, dan Lebanon.
Namun melakukan serangan di Qatar—sekutu utama AS di kawasan yang juga menjadi markas Pusat Komando Militer AS (CENTCOM) di pangkalan al-Udeid—akan menimbulkan konsekuensi diplomatik yang sangat serius.
Al-Udeid sendiri sempat menjadi target serangan Iran bulan lalu, sebagai respons terhadap pemboman AS terhadap fasilitas nuklir Iran, yang dilakukan dalam rangka mendukung serangan mendadak Israel ke wilayah Republik Islam itu.
Menurut laporan Middle East Eye, serangan tersebut didahului oleh koordinasi tidak langsung antara pejabat AS dan Iran, dengan Qatar bertindak sebagai perantara.
AS bahkan sempat memindahkan sejumlah pesawat dan peralatan berat dari pangkalan di Qatar ke pos militer di Arab Saudi.
Sepanjang perang Gaza yang berlangsung sejak Oktober 2023, Qatar dan Mesir telah muncul sebagai dua mediator kunci yang menjembatani komunikasi antara AS, Israel, dan Hamas.
Namun, terlepas dari posisi strategisnya, pemerintahan Trump tahun ini mengambil langkah tak lazim dengan melakukan negosiasi langsung dengan Hamas—organisasi yang selama ini dikategorikan sebagai kelompok teroris oleh Washington—demi membebaskan seorang warga berkewarganegaraan ganda AS-Israel.
Tangan panjang operasi pembunuhan Israel
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dikenal memiliki pola khas dalam mengoordinasikan serangan militer terhadap lawan-lawannya: dari AS.
Dalam beberapa tahun terakhir, ia beberapa kali memerintahkan pembunuhan tokoh penting perlawanan saat melakukan kunjungan resmi ke AS.
Momen yang tampaknya sengaja dimanfaatkan untuk menegaskan simbol kekuatan militer Israel yang menjangkau jauh melintasi batas negara.
Pada September 2024, hanya berselang beberapa jam setelah Netanyahu berpidato di Sidang Umum PBB, Israel membunuh pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah.
Kantor Netanyahu bahkan merilis foto dirinya bersama para penasihat di sebuah kantor sederhana di New York, tengah memberi perintah operasi militer.
Juli 2024, mantan pemimpin Hamas Ismail Haniyeh dibunuh di Teheran, Iran, hanya seminggu setelah Netanyahu berbicara di hadapan gabungan dua kamar Kongres AS.
Sejak pecahnya perang besar di Gaza pada Oktober 2023, Israel terus melakukan operasi intensif yang menewaskan puluhan tokoh senior Hamas, terutama para komandan militer.
Mei lalu, Tel Aviv mengklaim telah membunuh Muhammad Sinwar, pendahulu Izz al-Din al-Haddad sebagai komandan Brigade al-Qassam di Gaza.
Target paling dicari Israel sejak serangan Hamas ke wilayah selatan Israel pada 7 Oktober 2023 adalah Yahya Sinwar, saudara Muhammad dan tokoh utama Hamas di Jalur Gaza.
Setelah satu tahun pencarian yang melibatkan bantuan intelijen dari AS, Yahya akhirnya tewas dalam baku tembak di Rafah, Gaza Selatan, Oktober 2024, saat pasukan Israel secara tidak sengaja menemukannya bersama sejumlah rekannya.
‘Rintangan besar’ masih ada
Pembunuhan demi pembunuhan terhadap tokoh Hamas dilakukan bersamaan dengan upaya diplomasi baru yang didorong Washington untuk mencapai gencatan senjata 60 hari di Gaza.
Presiden AS Donald Trump mengatakan pekan ini bahwa Israel telah setuju terhadap usulan gencatan tersebut.
Namun, masih belum jelas apakah Hamas akan menerima proposal ini.
Laporan Channel 14 Israel mengungkap bahwa dalam draf kesepakatan terdapat “surat sampingan rahasia” dari pihak AS yang memberikan izin kepada Israel untuk melanjutkan kembali operasi militer jika diperlukan.
Meskipun kesepakatan serupa pernah dicapai pada Januari 2025, gencatan senjata itu runtuh hanya dua bulan kemudian ketika Israel secara sepihak kembali menggempur Gaza.
Kini, muncul keraguan apakah Israel benar-benar membutuhkan persetujuan tertulis dari AS untuk memulai kembali operasi militer.
Dua diplomat Arab yang diwawancarai The Times of Israel menyatakan bahwa masih ada sejumlah “hambatan besar” dalam negosiasi gencatan senjata.
Salah satu isu utama adalah sistem distribusi bantuan yang saat ini dijalankan oleh lembaga baru bernama Gaza Humanitarian Foundation (GHF).
Sebuah sistem bantuan kemanusiaan hasil kerja sama AS-Israel yang mulai beroperasi akhir Mei lalu setelah tiga bulan blokade total terhadap Gaza.
Hamas menolak sistem ini dan menuntut kembalinya koordinasi bantuan melalui mekanisme PBB yang sebelumnya digunakan.
Penolakan tersebut diperkuat oleh kritik tajam dari masyarakat sipil global: Selasa lalu, lebih dari 170 LSM internasional menyerukan dihentikannya sistem GHF yang mereka sebut sebagai “mematikan”, serta menuntut agar PBB kembali memimpin distribusi bantuan di Gaza.
Sebab penolakan ini bukan tanpa dasar. Sejak GHF beroperasi, lebih dari 580 warga Palestina tewas dan lebih dari 4.200 lainnya terluka akibat serangan pasukan Israel saat mereka mencoba mengakses bantuan makanan dan medis.
Seiring berlanjutnya perang yang kini telah memasuki tahun kedua, jumlah korban jiwa terus meningkat drastis.
Sejak Oktober 2023, lebih dari 56.000 warga Palestina dilaporkan tewas di Jalur Gaza, termasuk ribuan anak-anak, perempuan, dan tenaga medis.