Sebuah investigasi yang dirilis kanal televisi Israel Channel 13 mengungkap adanya pola sistematis berupa disinformasi dan penggagalan yang dijalankan pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu terhadap upaya perundingan gencatan senjata di Gaza.
Netanyahu, yang kini berstatus buronan Mahkamah Pidana Internasional (ICC), disebut secara sengaja menggagalkan sedikitnya lima peluang kesepakatan yang berpotensi menyelamatkan tawanan Israel sekaligus mengakhiri perang lebih dini.
Laporan tersebut juga menyoroti sikap pemerintahan Amerika Serikat (AS) yang memilih bungkam meski mengetahui betul pola penggagalan itu.
Alih-alih menekan Israel, Washington justru melempar tuduhan kepada Hamas sebagai pihak yang dianggap bertanggung jawab.
Investigasi Channel 13 bersandar pada kesaksian sejumlah pejabat Israel, termasuk Gadi Eisenkot, anggota mantan Dewan Perang Israel, serta mantan wakil kepala tim perundingan Israel.
Mereka menegaskan bahwa kepemimpinan politik Israel kerap berbohong kepada publik, bahkan menyebarkan kabar menyesatkan tentang perundingan—bahkan sebelum perundingan itu benar-benar berlangsung.
Nama dua menteri ultranasionalis, Itamar Ben-Gvir dan Bezalel Smotrich, turut disebut sebagai bagian dari lingkaran yang mendorong penggagalan.
Tujuan utamanya, menurut laporan itu, adalah memastikan perang berlanjut.
Kontroversi semakin mencuat setelah Matthew Miller, mantan juru bicara Kementerian Luar Negeri AS, mengakui bahwa Washington mengetahui berbagai upaya Netanyahu untuk menggagalkan perundingan.
Israel bahkan disebut terus mencari cara untuk menambahkan syarat-syarat baru agar perundingan kandas.
Meski begitu, AS memilih diam dengan alasan tidak ingin memberi keuntungan bagi Hamas.
Politik tepi jurang
Pengamat hubungan internasional, Husam Shaker, menilai temuan ini memberikan gambaran jelas tentang “mesin disinformasi politik” yang dijalankan Israel dengan dukungan atau pembiaran dari Washington.
“Pemerintahan Netanyahu sejak awal memang berkepentingan memperpanjang perang. Semua retorika soal perundingan hanyalah panggung semu untuk menutupi agenda perang kelaparan dan genosida,” ujarnya dalam program Ma Wara’ al-Khabar (Beyond the News).
Sementara itu, penulis dan pengamat isu Israel, Ihab Jabareen, menilai Netanyahu mahir memanfaatkan kelemahan 2 pemerintahan AS—baik Donald Trump maupun Joe Biden.
Jika Trump cenderung menghindari kritik terbuka terhadap Netanyahu, maka kini Netanyahu justru diuntungkan oleh kesesuaian kepentingannya dengan pemerintahan Biden.
Di sisi lain, Thomas Warrick, mantan pejabat Departemen Luar Negeri AS, mencoba membela sikap Washington dengan menyebut fokus AS lebih pada taktik jangka pendek.
Baik di era Trump maupun Biden, Hamas tetap dijadikan pihak yang disalahkan atas kematian tawanan, bukan Israel.
Namun Jabareen membantah argumen itu. Menurut dia, setelah perang memasuki tahun ketiga, jelas bahwa persoalan bukan sekadar taktik melainkan strategi besar.
Genosida di Gaza, disertai kampanye yang menyerupai pembersihan etnis di Tepi Barat, ekspansi permukiman, dan upaya mengubah realitas kawasan.
Ia bahkan menilai posisi Duta Besar AS untuk Israel, Mike Huckabee, kerap tampak lebih sebagai “duta Israel di Palestina”.
“Ini pola lama lintas pemerintahan AS, tetapi kian telanjang sejak era Trump,” ucapnya.
Meski situasi terlihat suram, Jabareen menilai ada ruang untuk memanfaatkan temuan ini.
“Netanyahu berusaha memaksakan perjanjian menyerah penuh pada setiap pihak yang menentang Israel,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa medan perang dan meja perundingan digerakkan oleh aktor yang sama.
Karena itu, setiap perubahan lapangan dan tambahan syarat yang dilontarkan Netanyahu sesungguhnya dirancang untuk menggagalkan proses perundingan, bukan sebaliknya.