Tuesday, September 9, 2025
HomeBeritaAnalis: Trump dan Netanyahu ajukan tawaran yang pasti ditolak Hamas

Analis: Trump dan Netanyahu ajukan tawaran yang pasti ditolak Hamas

Apa sebenarnya yang diinginkan Donald Trump dan Benjamin Netanyahu di Gaza? Pertanyaan itu mencuat setelah keduanya kini menawarkan hal-hal yang sebelumnya mereka tolak sendiri, sembari menuntut pihak Palestina untuk menerima syarat-syarat yang sejak awal sudah diketahui mustahil diterima.

Bagi sejumlah pengamat, situasi ini kembali menegaskan dominasi Israel atas posisi Amerika Serikat (AS).

Trump, dalam pernyataannya, menyebut kemungkinan tercapainya sebuah “kesepakatan yang sangat baik” dalam waktu dekat.

Namun, ia tidak memberikan detail, selain menyebutkan bahwa kesepakatan itu mencakup pembebasan semua sandera Israel, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal.

Seperti biasanya, Trump juga melontarkan peringatan kepada Hamas agar tidak menolak.

Yang menarik, menurut analis, bukan hanya karena Trump sepenuhnya mengadopsi sudut pandang Israel dan berupaya melucuti semua kartu tawar menawar Hamas tanpa menyebut apa pun soal penghentian perang, melainkan juga karena ia menyingkirkan peran para mediator—bahkan utusannya sendiri, Steven Witkoff.

Kini, kata para pengamat, Trump tampil seolah-olah memegang kendali bersama menantunya, Jared Kushner, di satu sisi, serta Menteri Urusan Strategis Israel Ron Dermer dan Netanyahu—yang sedang diburu Pengadilan Kriminal Internasional atas tuduhan kejahatan perang—di sisi lain.

Usulan Israel diumumkan oleh Trump

Sementara Palestina menegaskan bahwa penghentian perang harus menjadi bagian tak terpisahkan dari kesepakatan pertukaran sandera, Trump justru menawarkan formula Israel.

Yaitu, semua sandera dan jenazah dikembalikan pada hari pertama gencatan senjata, lalu isu-isu lain dinegosiasikan kemudian.

Bagi peneliti isu Israel, Mohannad Mustafa, itu tidak lebih dari salinan mentah usulan Israel.

“Trump tidak melakukan apa-apa kecuali mengumumkan rencana yang disusun Israel. Mereka tahu Hamas pasti menolaknya. Tujuannya hanya untuk membeli waktu agar Israel bisa meratakan Gaza, bukan hanya secara historis, tetapi juga secara fisik, sehingga tak ada yang bisa dibangun kembali,” ujar Mustafa dalam sebuah program diskusi.

Bahkan, sejumlah analis Israel pun heran mengapa sebuah kesepakatan yang tidak mungkin diterima justru diangkat secara serius oleh Trump.

Mereka menilai pengaruh Ron Dermer di balik usulan itu sangat besar. Rencana tersebut, kata Mustafa, hanya akan memastikan Israel bisa mengembalikan sandera mereka, lalu membiarkan negosiasi gagal dan perang dilanjutkan kembali.

Hossam Shaker, peneliti hubungan internasional, menyebut langkah Amerika ini sebagai sebuah “komedi politik.”

Menurutnya, tawaran tersebut hanyalah upaya untuk mewujudkan semua keinginan Israel yang ditolak Hamas, sementara pada saat yang sama Gaza benar-benar dilenyapkan.

Ia menambahkan, hal ini bukan sekadar analisis, melainkan sudah dinyatakan secara terbuka oleh sejumlah pejabat Israel.

Pernyataan Trump pada Senin lalu soal penghancuran 50 “menara teror” dianggap Shaker sebagai gambaran doktrin penghancuran yang mengarah pada genosida.

Sebab, di antara bangunan yang diratakan itu ada yang menjadi kantor lembaga hak asasi manusia.

Tuduhan itu, menurut Shaker, tak lebih dari propaganda untuk menimpakan tanggung jawab kepada korban atas tindakan yang dilakukan Israel.

Kendati demikian, Hamas tetap menyatakan kesiapan untuk melakukan negosiasi segera terkait pembebasan semua sandera sekaligus penghentian perang.

Namun, gerakan itu menegaskan bahwa syaratnya adalah penarikan penuh pasukan pendudukan dari Gaza serta pembentukan komite independen dari kalangan warga Palestina untuk segera mengambil alih pengelolaan wilayah tersebut.

Hamas terbuka pada negosiasi, tetapi tolak usulan

Sikap Hamas yang terbuka untuk bernegosiasi, tetapi menolak proposal yang sama sekali tidak memberi keuntungan bagi Palestina, menimbulkan dilema baru.

Menurut analis Hossam Shaker, kondisi ini memang bisa menggagalkan manuver Israel, tetapi sekaligus menempatkan perlawanan Palestina dalam posisi serba sulit.

Sementara itu, mantan pejabat Departemen Luar Negeri AS, Thomas Warrick, menilai ada dimensi baru dalam rencana Trump kali ini.

Ia menunjuk pada penyebutan kemungkinan berdirinya negara Palestina yang hidup berdampingan dengan Israel, meski tanpa kejelasan detail.

Warrick juga berpendapat bahwa Trump telah menugaskan menantunya, Jared Kushner, untuk menyiapkan “rencana hari setelah perang” di Gaza.

Sesuatu yang diyakini berbeda dalam beberapa aspek dari apa yang diinginkan Netanyahu.

Dalam komentarnya, Warrick berusaha membenarkan penghancuran gedung-gedung tinggi di Gaza dengan dalih bahwa Hamas menolak menyerah dan meletakkan senjata.

Ia pun menjelaskan pernyataan Trump yang seakan berbicara mewakili Israel sebagai wujud “kesamaan pandangan yang besar antara kedua pihak tentang hal-hal yang perlu disepakati.”

Namun yang dianggap janggal adalah penegasan Warrick bahwa pihak Palestina tidak berhak memperoleh keuntungan apa pun sebagai imbalan atas pembebasan sandera Israel.

Menurutnya, penghentian penghancuran Gaza sudah menjadi “harga” yang harus diterima, meski ia sendiri menyadari bahwa syarat-syarat yang diajukan Israel mustahil diterima Hamas.

Di lapangan, tensi perang tetap tinggi. Media penyiaran Israel melaporkan bahwa Kepala Staf Eyal Zamir menggelar pembahasan dengan para komandan keamanan mengenai perkembangan operasi militer, moral pasukan, serta dampak berkepanjangan dari perang terhadap para prajurit.

Di sisi lain, perlawanan Palestina melancarkan serangan yang menimbulkan korban signifikan.

Pada Senin, diumumkan bahwa empat tentara Israel tewas setelah tiga pejuang menyerang sebuah tank di kawasan Sheikh Radwan, Kota Gaza.

Menurut analis militer Elias Hanna, operasi ini mencerminkan perebutan ruang antara kedua belah pihak.

Tentara Israel berusaha merebut wilayah dan menghancurkan infrastruktur perlawanan, sementara Hamas berupaya menyeimbangkan situasi dengan menimbulkan kerugian di kubu lawan.

Bukan kali ini saja serangan semacam itu terjadi. Sebelumnya, pejuang Hamas meledakkan kendaraan lapis baja jenis Puma dengan memasukkan bahan peledak ke dalamnya.

Serangan itu menewaskan komandannya serta enam tentara lain. Hanna menyebut, penggunaan kendaraan semacam itu merupakan bagian inti dari operasi penghancuran Gaza.

Mengenai klaim Netanyahu bahwa penghancuran gedung-gedung tinggi dilakukan karena digunakan perlawanan, Hanna berpendapat sebaliknya.

“Secara praktis, itu tidak logis. Perlawanan tidak bertempur dari atas menara atau gedung-gedung tinggi. Mereka bergerak di terowongan bawah tanah dan di permukaan,” ujarnya.

Hanna menambahkan, masalah utama yang dihadapi militer Israel adalah kecenderungan untuk mengulang pola operasi yang sama dengan nama berbeda, berharap hasil yang berlainan, padahal kenyataannya tidak berubah.

Situasi diperparah oleh menurunnya keyakinan tentara terhadap perang, meningkatnya angka kerugian, bahkan bertambahnya kasus bunuh diri di kalangan prajurit.

“Zamir menghadapi dilema. Jika menambah jumlah pasukan, maka daftar target penting bagi perlawanan akan semakin besar. Jika mengurangi jumlah pasukan dan bergerak lambat, maka tentara menjadi sasaran empuk,” jelas Hanna.

Ia menutup analisanya dengan menyoroti pendekatan Trump yang dinilai “linear” dan tidak peduli terhadap kompleksitas konflik Arab-Israel maupun dampak mengerikan dari perang di Gaza.

Karena itu, ia meragukan akan ada kesepakatan berarti, sebab semua perjanjian yang pernah ditandatangani Israel dengan negara-negara Arab selalu dibangun di atas lampiran keamanan yang menjamin kepentingan Tel Aviv.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular